Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 18 April 2019

Pendekatan Organisasional// Info Tambahan (Surat Pembaca Kompas)


Pendekatan Organisasional

Artikel Yudi Latif "Miskonsepsi Ideologi" (Kompas, 4/4/2019) menyatakan adanya tendensi sesat pikir, yakni menyetarakan pembangunan ideologi Pancasila dengan pembangunan bidang-bidang lain.

Padahal, Pancasila merupakan falsafah dasar, penuntun pembangunan nasional. Akibat miskonsepsi, kebijakan pembangunan kerap berjalan sesuka hati (pimpinan saat itu), tak terintegrasi, dan tak berkelanjutan.

Sinyalemen tentang kebijakan yang berjalan sendiri-sendiri ini berpotensi mengancam efisiensi dan efektivitas pembangunan nasional, lalu menggagalkannya.

Program normalisasi Kali Ciliwung di DKI Jakarta, misalnya, yang tidak berlanjut. Padahal, normalisasi Ciliwung tidak hanya mengurangi dampak banjir, tetapi juga menyejahterakan penduduk. Bagian yang telah dinormalisasi pun tampak rapi dan menyehatkan warga.

Saya mendukung sinyalemen Yudi Latif dengan pendekatan organisasional (organizational approach), bagian dari ilmu saya sebagai ekonom. Negara adalah suatu organisasi yang didirikan bersama untuk mencapai tujuan. Agar tujuan tercapai, negara mempunyai anggaran dasar berupa konstitusi, anggaran keuangan, serta visi-misi.

Seluruh aktivitas berurutan (sequencing) berdasarkan skala prioritas, terjadwal (scheduled) jelas kapan mulai dan kapan selesai, terukur (measurable) seluruh kegiatannya dengan satuan atau unit angka, terintegrasi (integrated) semua aktivitas berpadu dalam jaringan (net work), serta terkendali (controlable): kegiatan dapat dikendalikan.

Sederhananya, karena negara merupakan organisasi besar dan kompleks, seluruh kegiatan dipilah menjadi pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, masing-masing 30 tahun, lalu dipilah menjadi tiap 5 tahun, dan dirinci lagi menjadi satu tahun anggaran.

Untuk menjamin pembangunan nasional tepat sasaran dan berkelanjutan perlu semacam panduan pembangunan nasional yang dulu disebut sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Saatnya para pemangku kepentingan, seperti Bappenas, perguruan tinggi, LIPI, dan Watimpres, membuat semacam GBHN atau apa pun namanya, supaya tidak lagi terjadi sesat pikir seperti ditengarai Yudi Latif.

Suyadi Prawirosentono
Selakopi Pasir Mulya, Kota Bogor


Info Tambahan

Tulisan Teuku Kemal Fasya di harian Kompas (14 Maret 2019) berjudul "Bangsa Dilamun Lupa" menyebut tokoh Uleebalang Pidie yang dianggap "anti-kemerdekaan", yaitu Teuku Umar Keumangan, Teuku Cut Hasan, dan Teuku Muhammad Daud, yang lalu menjadi Komandan Barisan Penjaga Keamanan (BPK).

Teuku Umar Keumangan sudah tidak aktif lagi sebagai Uleebalang Keumangan sejak 1938 karena usia. Ia digantikan anaknya, Teuku Keumangan Muhammad.

Dalam pertemuan para uleebalang Pidie 22 Oktober 1945, ia menyatakan, "Kaum uleebalang tidak berselisih dengan gerakan kemerdekaan, tetapi perlu pengakuan hak-hak kekuasaan oleh pemerintahan baru" (Reid, 1987: 325-6).

Selanjutnya Reid juga menulis "Mungkin tidak lama sesudah ini para uleebalang Pidie mengirim telegram ke Soekarno, menyatakan dukungan kepada Republik asal kedudukan mereka terjamin".

Teuku Cut Hasan bukan uleebalang Pidie, tetapi adik uleebalang di Aceh Besar, yang menjadi Asisten Residen (Bupati) pertama Kabupaten Pidie, awal kemerdekaan. Di bawah Residen Teuku Nyak Arif (Jakobi, 1998: 203).

Pada masa penjajahan Belanda, Teuku Cut Hasan menjadi Konsul Muhammadiyah kedua daerah Aceh, masa pendudukan Jepang menjadi Guncho atau Wedana di Sigli.

Pimpinan BPK di antaranya adalah Teuku Muhamad Daud (Cumbok) sebagai Panglima, Teuku Mahmud sebagai Wakil Panglima, dan Teuku Abdullah Titeue sebagai Kepala Staf (Gaharu, 1995: 203).

Teuku Otman

Bumi Serpong Damai

Kompas, 19 April 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger