KOMPAS/HERU SRI KUMORO

A Prasetyantoko
Rektor Unika Atma Jaya Jakarta
Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM)
12-09-2017

Bagi perekonomian kita dengan ketergantungan tinggi pada konsumsi domestik, daya beli menjadi kunci. Pada 2018, proporsi pengeluaran konsumsi rumah tangga terhadap perekonomian atau Produk Domestik Bruto sebesar 55,74 persen atau turun dari tahun sebelumnya yang 56,14 persen. Secara umum dari tahun ke tahun, perekonomian kita terus didominasi aktivitas konsumsi domestik. Akibatnya, kita terjebak pada pola pertumbuhan moderat.

Menilik kondisi struktural perekonomian Indonesia, ada dua agenda besar yang harus dipikirkan. Pertama, dalam jangka pendek, memastikan daya beli masyarakat terkendali melalui kebijakan menjaga inflasi. Kedua, dalam jangka menengah dan panjang, mendorong kenaikan pendapatan dan daya beli melalui peningkatan investasi. Hanya melalui peningkatan investasi, efek pengganda akan tercipta, yaitu peningkatan pendapatan, daya beli dan konsumsi. Jika konsumsi naik, maka produksi akan meningkat. Inilah esensi perubahan struktural perekonomian dari ekonomi berbasis konsumsi menuju basis produksi.

Pengalaman China menghela perekonomian melalui investasi bisa menjadi rujukan, meski harus disadari perbedaan konteks cukup mendasar. China berhasil merombak perekonomian domestik melalui dorongan besar investasi asing. Derasnya investasi asing mempercepat kenaikan pendapatan masyarakat, sehingga ketika perekonomian mulai melambat seperti saat ini mereka sudah memiliki tingkat pendapatan yang jauh lebih baik dari 20 tahun sebelumnya.

Dari sisi domestik, selain faktor besarnya penduduk, pola kebijakan pemerintah merupakan kunci penting keberhasilan strategi menarik investasi asing dalam mendorong perekonomian domestik.

Pendapatan masyarakat
Apa ujung dari seluruh usaha perombakan perekonomian? Tak lain, meningkatkan pendapatan masyarakat. Tanpa peningkatan pendapatan masyarakat, perekonomian akan stagnan seperti kecenderungan yang kita alami sekarang. Pertanyaannya, bagaimana mengungkit perekonomian kita agar bergerak lebih maju dan mendorong pertumbuhan lebih tinggi agar pendapatan masyarat juga meningkat.

Ekspansi ekonomi tak bisa dilepaskan dari dinamika global yang sedang lesu. Tak mudah keluar dari pelambatan pertumbuhan ekonomi global yang mencengkeram kita. Perlu cara tak biasa untuk keluar dari jebakan pertumbuhan 5 persen dengan fokus pada peningkatan investasi. Agenda jangka menengah-panjang pemerintah lima tahun mendatang harus rinci soal ini.
Dalam jangka pendek, kebijakan harus fokus menjaga stabilitas harga melalui inflasi terkendali. Dengan demikian, kendati pendapatan masyarakat stagnan, namun beban tak meningkat. Kebijakan ini sangat diperlukan, kendati tak mencukupi. Kemampuan menjaga inflasi relatif rendah merupakan salah satu prestasi pemerintah 4 tahun terakhir, sehingga perlu dilanjutkan pada 5 tahun berikutnya.

Pada April 2019, inflasi mencapai 0,44 persen atau naik dari bulan sebelumnya sebesar 0,11 persen. Jika dibandingkan dengan inflasi bulan April dalam tiga tahun terakhir, tahun ini tertinggi. Pada April 2018 inflasi mencapai 0,10 persen, sementara April 2017 hanya 0,09 persen. Kenaikan harga kelompok bahan makanan menjadi penyumbang tertinggi sebesar 1,45 persen, disusul kelompok manakan jadi, minuman, rokok dan tembakau sebesar 0,19 persen dan disusul kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 0,12 persen.

Inflasi April banyak dipengaruhi kelangkaan beberapa komoditas seperti bawang putih dan bawang merah sehingga harganya melambung.

Kecenderungan kenaikan harga masih akan terus terjadi hingga Hari Raya Lebaran pada Juni mendatang. Jika tak segera ditangani, kenaikan harga bisa menjadi risiko penting bagi perekonomian kita pada beberapa bulan mendatang.
Bagi perekonomian kita, inflasi biasanya bersumber dari dua hal saja, yaitu bahan pangan dan energi. Sejak harga minyak turun dan subsidi dicabut, tak ada gejolak harga energi. Oleh karena itu, faktor harga pangan jadi dominan, yang ditentukan dua faktor, yaitu ketersediaan barang dan distribusinya. Soal ketersediaan esensinya adalah kemampuan melakukan kalkulasi kebutuhan dengan cara menghitung jumlah produksi nasional dan kebutuhan impor.

Secara umum, target inflasi tahun ini 3,5 persen nampaknya akan tercapai. Namun, dari fluktuasi harga beberapa komoditas utama, terlihat manajemen penyediaan bahan kebutuhan pokok perlu diperhatikan. Apalagi jika pangkal persoalannya tak terlepas dari perilaku pemburuan rente yang masih marak, baik dalam rantai pasok nasional maupun impor. Kebobrokan dalam manajemen penyediaan bahan pokok harus dibereskan.

Selain soal harga, faktor lain yang perlu mendapat perhatian adalah soal keyakinan konsumen serta kemampuan konsumsi masyarakat. Survei Konsumen Bank Indonesia menunjukkan penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) sebesar 0,6 poin dari Februari menjadi 124,5 pada Maret. Meski masih dianggap baik (masih di atas 100), namun ekspektasi kondisi perekonomian di masa depan tak sebaik sebelumnya.

Pelemahan IKK diikuti penurunan pengeluaran konsumsi masyarakat dari 68,3 persen pada Februari menjadi 68,1 persen pada Maret 2019. Secara umum, masyarakat cenderung mengurangi konsumsi dan memilih menyimpan dalam bentuk tabungan. Kecenderungan ini terlihat dari kenaikan rata-rata pendapatan yang disimpan menjadi 20,1 persen pada Maret, atau naik dari Februari sebesar 19,1 persen.

Situasi ini sejalan dengan ekspektasi konsumen tentang kondisi perekonomian masa depan yang dianggap tak pasti cenderung memburuk. Jika ekspektasi ini menjadi kenyataan, maka akan terjadi dampak berganda yang membuat siklus perekonomian melambat. Jika situasi ini terjadi, diperlukan kebijakan guna memompa konsumsi agar tak turun lebih jauh, bisa melalui kebijakan moneter berupa penurunan suka bunga maupun fiskal melalui kebijakan perpajakan.
Navigasi kebijakan perlu diarahkan agar siklus harga dan konsumsi terkendali.

Namun, agenda lebih besar adalah meningkatkan daya beli masyarakat melalui peningkatan pendapatan. Perekonomian kita membutuhkan perombakan struktural yang mendasar agar tak tersandera riak-riak siklus jangka pendek.

Meningkatkan daya beli masyarakat merupakan kunci bagi perekonomian kita yang basis pendapatan domestiknya besar. China berhasil melakukan transformasi struktural melalui pembukaan akses investasi asing seluas mungkin disertai kewajiban melakukan transfer teknologi untuk mendorong investasi domestik. Kombinasi ini tentu sangat ideal, meskipun pendekatan ini sekarang tengah mendapat "perlawanan" dari Pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Trump.

Meski demikian, esensi mengundang investasi asing disertai peningkatan kapasitas investasi domestik merupakan pilihan strategi yang perlu diadaptasi agar basis produksi domestik meningkat tajam.

A Prasetyantoko