KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)

Prasetyantoko, Rektor Universitas Atma Jaya Jakarta

Laman berita Bloomberg, Jumat (24/5/2019), menulis, kerusuhan di Jakarta pasca-pengumuman hasil Pemilihan Umum 2019 mengembalikan ketakutan atas kekerasan berbasis sektarian. Peristiwa Mei 2019 seperti déjà vu dari kejadian 21 tahun silam dalam gerakan Reformasi 1998. Seberapa pun roda sejarah ingin berputar kembali, tetap saja tak mungkin berulang seutuhnya.

Beruntung situasi segera terkendali dan aktivitas ekonomi pulih. Kepercayaan bisa diraih kembali dalam waktu singkat. Oleh karena itu, harus dijadikan momentum menata perekonomian domestik dalam tatanan mata rantai nilai baru global yang tercipta akibat perubahan konstelasi. Hari ini, menjaga kepercayaan ekonomi domestik merupakan salah satu kunci bertahan menghadapi kerapuhan situasi global.

Menyusul kebijakan Amerika Serikat memasukkan perusahaan Huawei dalam daftar hitam, dunia menghadapi babak baru ketidakpastian. Kali ini, kekacauan bersumber dari kebijakan yang langsung menusuk jantung industri. Jika 2013 gejolak disebabkan rencana kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Fed, kali ini tantrum dipicu kebijakan proteksionis yang eksesif. Dari situ, tatanan mata rantai nilai global akan mengalami perubahan.

Dampak kerusuhan
Meski sempat tertekan akibat aksi massa, nilai tukar kembali menguat dan bursa saham naik lagi begitu situasi terkendali. Kepercayaan pasar berangsur pulih.
Pekerjaan rumah sekarang, memastikan transmisi kepercayaan menjalar ke sektor riil. Ada dua jalur yang mesti dikelola. Pertama, memastikan kunjungan wisatawan mancanegara tak terkendala dinamika politik di dalam negeri. Kedua, memastikan investor (khususnya asing) tak mengubah rencana merealisasikan proyek di Tanah Air.

Hingga Maret 2019, kunjungan wisman ke Indonesia mencapai 3,82 juta atau naik 4,28 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Hal ini merupakan berita baik. Sebab, meskipun ada pemilu, jumlah wisman tetap naik.

Kita perlu memastikan larangan perjalanan beberapa negara ke Indonesia segera dicabut sehingga tak menyurutkan potensi wisman ke Tanah Air. Tanpa peristiwa kerusuhan, target kunjungan wisman tahun ini sebanyak 20 juta kunjungan sulit tercapai. Sebagai perbandingan, Thailand tahun ini diperkirakan menerima kunjungan 41 juta wisman. Perlu kerja keras meningkatkan kunjungan wisman ke Tanah Air.

Selain berpotensi menurunkan tingkat kunjungan wisman, gejolak politik dikhawatirkan memengaruhi realisasi investasi yang pada tahun ini berat. Pada triwulan I-2019, penanaman modal asing baru Rp 107,9 triliun atau 22,3 persen dari target Rp 483,7 triliun.

Jika dilihat pencapaian realisasi investasi secara umum, pada triwulan I-2019 sebesar Rp 185,3 triliun atau hanya tumbuh 5 persen. Pertumbuhan ini merupakan kinerja terburuk dalam lima tahun terakhir. Pada triwulan I-2014, realisasi investasi tumbuh 14,6 persen, sementara 2015 tumbuh 16,7 persen, 2016 tumbuh 17,6 persen, 2017 sebesar 14,17 persen, dan pada 2018 tumbuh 11,76 persen. Tahun ini, untuk pertama kali dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan triwulanan investasi di bawah 10 persen.

Baik kunjungan wisman maupun realisasi investasi memiliki peran sangat penting bagi perekonomian kita akhir-akhir ini. Kunjungan wisman akan mendongkrak penerimaan devisa melalui sektor jasa. Sementara investasi asing akan meningkatkan aliran modal yang akan mengungkit aktivitas perekonomian domestik. Investasi merupakan aktivitas ekonomi yang memiliki efek pengganda berlipat, mendorong sisi permintaan melalui peningkatan daya beli ataupun sisi penawaran melalui peningkatan produksi yang berpotensi meningkatkan ekspor. Keduanya merupakan penyangga transaksi berjalan yang terus tertekan.

Investasi global yang surut menjadi sumber kemerosotan aktivitas investasi domestik. Tanpa upaya menjaga kepercayaan perekonomian domestik, target investasi dan pertumbuhan ekonomi semakin sulit terealisasi. Dana Moneter Internasional pada April lalu kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan global menjadi 3,3 persen. Salah satu faktor utama pelambatan pertumbuhan ekonomi adalah sengketa dagang Amerika Serikat dan China yang berlanjut, yang ditandai dengan volume perdagangan yang anjlok. Selanjutnya, investasi akan surut dan pertumbuhan global melambat. Penurunan pertumbuhan global juga ditandai dengan perubahan mata rantai nilai global akibat relokasi industri dari China.

Perubahan ini harus disikapi dengan menata ulang sektor industri agar perekonomian kita semakin terintegrasi dengan mata rantai global. Data Organisasi Perdagangan Dunia 2017 menunjukkan, tingkat partisipasi Indonesia dalam mata rantai global 43,5 persen, ketinggalan dari Thailand (54,3 persen) dan Malaysia (60,4 persen). Dari sisi peranan ekspor dalam mata rantai global, Indonesia 12 persen, sedangkan Thailand 39 persen dan Malaysia 40,6 persen.

Perubahan konstelasi global ini menjadi peluang mengembangkan industri yang berperan penting dalam mata rantai global.

Selama ini, salah satu ekspor unggulan kita adalah alas kaki. Indonesia termasuk dalam 10 negara terbesar pengekspor alas kaki. Namun, pertumbuhan ekspor makin surut dan kalah dari Vietnam. Ekspor alas kaki Vietnam pada 2006-2016 tumbuh 17,2 persen, sedangkan Indonesia hanya 11,2 persen. Negara tujuan utama ekspor alas kaki Indonesia adalah AS, sebesar 28 persen dari total ekspor.

Dengan perubahan konstelasi global, mestinya ekspor alas kaki Indonesia ke AS bisa ditingkatkan. Hal ini hanya salah satu contoh kita memanfaatkan peluang akibat sengketa dagang dan persaingan supremasi teknologi China dan AS.

Strategi menata ulang mata rantai industri dengan memperhitungkan konstelasi global menjadi kunci keberhasilan kita menavigasi perekonomian domestik. Menjaga kepercayaan tak cukup dilihat dari dampak jangka pendeknya, tetapi perlu dilihat implikasi jangka panjang, terutama terkait peran kita dalam mata rantai global yang tengah berubah. Biarlah sejarah kelam peristiwa Mei 1998 menjadi peringatan bagi kita semua untuk tak mengulanginya.

A Prasetyantoko