Apa yang mendorong orang itu mau membunuh orang lain? Manusia macam apakah dia ini?

Video itu beredar setelah polisi, Densus 88, menangkap sejumlah terduga teroris. Sepanjang bulan Mei 2019, tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri telah menangkap 29 terduga teroris. Namun, ancaman teror tetap tidak boleh dianggap remeh.

Menurut Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal M Iqbal, 11 orang ditangkap karena terkait dengan jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Bekasi dan pernah ke Suriah, bergabung dengan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Lainnya ditangkap karena terlibat pembuatan bom.

Terbongkarnya jaringan ini perlu terus diwaspadai di tengah maraknya terorisme lone wolf di Eropa dan di Selandia Baru beberapa waktu lalu. Serangan pengebom bunuh diri di Sri Lanka, yang menewaskan tak kurang dari 320 orang, April lalu, memang diklaim NIIS. Namun, klaim semacam ini sebenarnya untuk menunjukkan diri bahwa mereka masih ada.

Menurut para pakar terorisme, sejak awal aksi kaum Zelot Yahudi (zaman Romawi), para Ismaili Assassin, para perusuh Viking, dan anarkis pelempar bom abad ke-19 hingga awal abad ke-20, terorisme telah muncul sebagai alat dan taktik dalam perjuangan militer, politik, ekonomi, dan agama. Label yang mereka gunakan macam- macam: dari pejuang pembela hak asasi manusia, gerilyawan, pemberontak, nasionalis, radikal, separatis, hingga tentara.

Evolusi terorisme

Belakangan aksi terorisme berubah dramatis. Serangan kelompok-kelompok yang tergabung dalam satu rantai komando sangat jarang. Ini terjadi karena prevalensi jaringan teroris, sel otonom, dan aksi individual telah tumbuh. Evolusi ini memunculkan lone wolf (Jason Burke; 2017).

Lone wolf menjadi salah satu tren terpenting terorisme saat ini. Selama September 2014, Abu Muhammad al-Adnani, juru bicara kelompok Negara Islam (IS), mendesak para pengikut dan simpatisannya di negara-negara Barat untuk "membunuh dengan cara apa pun".

Ancaman terorisme lone wolf yang tidak terdeteksi dan tidak dapat diprediksi adalah bentuk terorisme yang tumbuh paling cepat yang mengancam peradaban Barat (Lewis W Dickson: 2015) dan dunia.

Istilah lone wolf baru digunakan akhir abad ke-20 oleh Tom Metzger dan Alex Curtis—ekstremis Amerika. Menurut Harvey W Kushner dalam Encyclopedia of Terrorism (2003), mereka mendorong para pengikutnya bertindak mandiri. Oleh karena itu, terorisme semacam ini dirasionalisasi sebagai terorisme "tanpa pemimpin" atau "lepas" atau "perlawanan tanpa pemimpin" (leaderless resistance).

Salah satu teori lone wolf yang paling populer dikemukakan Ramón Spaaji (2010) yang kemudian disebut teori Spaaji. Ia menganalisis pelakunya dan menemukan tiga karakteristik utama: beroperasi secara individual, bukan milik kelompok atau jaringan teroris terorganisasi, dan modus operandinya diarahkan oleh individu tanpa ada komando atau hierarki langsung di luar.

Definisi kedua diajukan oleh Stratfor, platform intelijen geopolitik terkemuka dunia. Stratfor mendefinisikan terorisme lone wolf sebagai seseorang, yang bertindak atas nama sendiri tanpa perintah atau koneksi ke suatu organisasi (F Burton dan S Stewart: 2008). Dalam definisi yang diajukan Stratfor, ruang lingkup pelaku berpotensi diperluas, yakni tidak hanya pria tetapi juga wanita. Selain itu, lone wolf bukan bagian dari jaringan teroris.

Raffaello Pantucci (Maret 2011) mengidentifikasi empat jenis teroris model ini. The loner, the lone wolf, the lone wolf pack, dan the lone attacker.

The loner adalah individu yang melakukan aksi terorisme dengan sampul ideologi ekstrem. Meski mengklaim patuh pada keyakinan radikalnya, mereka tidak memiliki ikatan dengan ekstremis, kecuali melalui apa yang mereka akses melalui konsumsi pasif ideologi via buku atau internet.

The lone wolf melakukan aksi individu tanpa dorongan nyata dari luar meskipun pernah kontak atau ikut pelatihan.

The lone wolf pack sangat berbeda karena tipe ini melibatkan sel kecil teroris yang beroperasi independen dan meradikalisasi sendiri. Meski mereka tidak terlibat dalam jaringan hierarkis, mereka menunjukkan beberapa arah dan kendali melalui agenda publik individu atau kelompok terkenal, seperti Al Qaeda atau ISIS (NIIS). Adapun the lone attacker beroperasi sendiri, tetapi menunjukkan komando ataupun hubungan kontrol yang jelas dengan Al Qaeda atau kelompok yang berafiliasi.

Pendek kata, terorisme lone wolf adalah tindakan kekerasan oleh individu yang meradikalisasi diri dan merancang serangan untuk memperjuangkan ideologinya. Jenis terorisme ini, yang telah lama digunakan oleh gerakan ekstremis, terinspirasi oleh kelompok revolusioner Rusia yang memperjuangkan konsep "propaganda dengan perbuatan" abad ke-19.

Karakteristik pelaku

Iskren Ivanov dalam Lone Wolf Terrorism: Nature, History and Motivation yang mengutip pendapat R Bates (2012), menulis teroris lone wolf memiliki karakteristik radikal, berani mengambil risiko, egois, dan mengejar serangkaian konfrontasi pribadi.

Para lone wolves lebih suka serangan tunggal dalam satu titik untuk memaksimalkan jumlah korban. Mereka pernah dilatih dan menjalani indoktrinasi terbatas. Mereka biasanya diradikalisasi dari luar.

Menurut Iskren Ivanov, beberapa teroris dilatih dengan baik dan dilengkapi perlengkapan baik pula. Namun, kebanyakan dari mereka hanya memiliki pengetahuan dasar kemiliteran sehingga motivasi ideologis lebih berperan.

Dalam Dancing with the wolves: Today's Lone Wolf Terrorists (2012), Rodger A Bates menyatakan bahwa para lone wolve ini menganggap diri mereka bagian dari komunitas (komunitas teroris), tetapi mereka memisahkan diri dan hanya memikirkan misi sendiri.

Tidak seperti teroris kelompok atau yang disponsori jaringan, lone wolf sangat sulit diidentifikasi. Oleh karena itu, kewaspadaan dan kemampuan tinggi sangat diperlukan untuk menghadapi dan mengatasi "para serigala kesepian" ini di tengah kerumunan massa.