Apa yang ada di kepala HS, anak muda asal Bogor yang menyatakan melalui media sosial berhasrat memenggal kepala Jokowi, adalah tindakan absurd secara nalar dan moral. Ia memancing bahasa kebencian sedemikian kencang berdentang di dalam benaknya.
Kebencian prima seperti itu hanya mungkin muncul dari orang yang sakit hati karena sayatan dendam yang membukit. Biasanya muncul dari jiwa korban kekerasan negara akibat genosida atau operasi militer. Sosok seperti Joseph Stalin, Benito Mussolini, Ferdinand Marcos, Idi Amin, Omar Hassan Bashir, dan Moammar Khadafy adalah pemimpin yang melakukan itu, melukai warga yang tak kunjung setuju dengannya. Mereka menjadi pemimpin yang dibenci oleh rakyat karena kebijakan anti- kemanusiaan dan represif, meninggalkan luka pada banyak jiwa.
Namun, apa yang telah dilakukan Presiden Joko Widodo? Ia hanya seorang sipil dengan latar belakang pengusaha mebel. Tak ada tampang bahkan secungkil pun untuk melakukan kekerasan terhadap warga secara personal. Jangankan menyiksa atau memukul, menyaksikan Jokowi berkata kasar kepada warga pun tak pernah ada dalam rekaman digital mana pun.
Ia hampir selalu memilih pendekatan dialogis dan "rasa" dibandingkan dengan pendekatan represif. Sekadar menyegarkan ingatan, ketika menjadi Wali Kota Solo, ia melakukan negosiasi melalui acara makan-makan dengan pedagang tradisional agar mau pindah ke pasar terpadu. Hal itu diulang hingga 50 kali! Belum ada pejabat di Indonesia yang melakukan itu.
Talenta kepemimpinannya telah mendapatkan banyak apresiasi dunia. Yang terbaru versi GZero Media yang menyebutkan Jokowi sebagai pemimpin paling populer di dunia mengalahkan Vladimir Putin, Narendra Modi, dan Donald Trump.
Intimasi media sosial
Jadi, dari mana ular kebencian bangkit dan melilit hati seorang pemuda yang bahkan tak pernah mengenal Jokowi? Jawaban tirus yang bisa diberikan ialah dampak media sosial. Seperti yang telah banyak diulas, media sosial menjadi titik munculnya pengetahuan palsu di tengah masyarakat yang dikenal dengan post-truth. Post-truth adalah "kebenaran era now" yang disuling tidak dari fakta empiris, rasional, dan obyektif, tetapi dari "imajinasi" dan "fantasi" yang mengendalikan perasaan dan emosi publik.
Pemilu serentak 2019 awalnya memang dirancang untuk mengurangi ketegangan seperti yang terjadi pada Pemilu 2014, nyatanya melahirkan titik api yang lebih buruk dari sebelumnya. Indikatornya ialah munculnya semangat populus ekstrem yang digerakkan untuk menolak pemilu ketika kalah melalui kontestasi elektoral. Dari model hitung manual dan quick count menunjukkan Jokowi-Amin adalah sosok yang memenangi Pilpres 2019 ini.
Pada fenomena post-truth, fakta ilmiah dan obyektif tidak diperlukan lagi. Wacana "pemilu curang" terus diulang tanpa bukti signifikan. Segala hal yang menjadi senjata untuk membunuh karakter personal Jokowi dilakukan, ketika membunuh karakter kepemimpinannya tak bisa dilakukan. Di sinilah kemudian benih-benih kebencian muncul.
Teknologi digital dan visual yang terhubung oleh internet mampu menyemburkan lebih banyak informasi dalam waktu sedikit untuk bisa dipertimbangkan pembaca.
Masyarakat dengan mudah terhubung menjadi kelompok sekutu dan seteru dalam pilihan informasi yang dihasilkan. Referensi dan keutamaan berpikir tidak lagi dipersyaratkan. Yang perlu hanya mengaduk-aduk emosi dan psikologi "pembaca" (sebenarnya lebih tepat pengintip) sehingga informasi yang membeludak itu memengaruhi sensor saraf yang malah meminggirkan kebenaran atau logosentrisme. Pengetahuan dan keahlian pun tumbang oleh semburan "ujaran palsu" (fakespeech). Praktik ini dilakukan bukan hanya awam, melainkan juga intelektual dan akademisi.
Makanya, ketika sosok seperti HS atau orang lain berani lancang mengata-katai pemimpin negeri dengan kalimat yang tidak senonoh seperti "memenggal, menggorok, membunuh, mencincang"—inspirasinya dari model komunikasi demagogi ISIS—menjadi kebiasaan dalam wacana di media sosial. Ujaran kebencian (hate speech) menjadi tradisi bermedia sosial, tanpa merasa salah secara moral, etika, dan hukum.
Buih-buih kebencian itu bersambut-gayung memenuhi ruang ungkap lainnya dengan variasi yang semakin brutal di ruang media sosial dan visual yang tidak bisa dikontrol oleh siapa pun. Ujaran kebencian menjadi seruan kebencian. Kalau sudah begini, ia dengan mudah digeser sedikit lagi pada ranah agama menjadi fatwa kebencian. Padahal, itu bukan pesan otentik semua agama.
Kebebasan brutal
Jika melihat bagaimana negara-negara di Timur Tengah dan Arab Afrika hancur pada dekade kedua milenium ketiga, sesungguhnya itu beroperasi pada model ujaran kebencian yang masuk dalam level pertama media sosial. Kita bisa melihat bagaimana "Revolusi Melati" di Tunisia itu menjadi gerakan kebebasan negatif yang merusak kemanusiaan, tatanan sosial dan hukum, termasuk merusak peradaban manusia. Mesir, Irak, Suriah, Yaman, Nigeria, dan Libya telah luluh lantak oleh model komunikasi kebencian.
Hawa kebencian menyebar di media sosial yang mengucilkan dan mencari musuh. Tak ada yang luput, termasuk generasi milenial. Kalangan milenial kerap menjadi penyalin dan penerus informasi hoaks melalui praktik banalitas bahasa. Bahasa yang tak lagi menjadi ungkapan luhur pikiran yang sehat, tetapi meracau dengan gaya sok jago dan sok pahlawan melalui status atau merespons status warganet yang dianggap lawan.
Tentu apa yang dihasilkan ini bukanlah ekspresi demokrasi. Demokrasi mempersyaratkan kebebasan tidak boleh menyakiti orang lain yang berbeda. Timbangan kebebasan berbicara ialah ketika ia tidak membungkam kebebasan orang lain melalui penggunaan bahasa teror, intimidasi, dan hasutan.
Demokrasi memilih pola komunikasi secara dialogis, deliberatif, dan ramah pada perbedaan. Komunikasi anti-demokrasi menggunakan kelihaian dan kelicikan pada bahasa retoris-demagogis, distortif, satu arah, dan Machiavellianis. Demokrasi mensyaratkan adanya partisipasi semua pihak untuk mengoreksi kesalahan dan kebohongan.
Hari ini hoaks dirayakan sehingga menutup ruang refleksi dan verifikasi atas sebuah wacana. Model ini berhasil membentuk demos menjadi true-
believers dengan komunikasi menghalalkan segala cara.
Jika fenomena ini tidak dihentikan, kebencian akan mencakar langit. Titik-titik apinya akan berurai, menuruni bumi, dan membuat kebakaran nalar secara meluas. Kita telah melihat cacat demokrasi yang dibawa oleh figur-figur politik
ekstrem, seperti Jair Bolsonaro, Geert Wilders, Fraser Anning, dan Donald Trump, yang membawa dalih kebebasan berbicara dan demokrasi untuk menyugesti kebencian, xenofobia, intoleransi, eksklusivisme, dan tribalisme agama.
Maka, tepat kebijakan Kementerian Komunikasi dan Informatika membatasi penggunaan media sosial sementara. Sebab, pancingan gambar dan video tanpa konteks bisa menimbulkan amarah dan kebencian. Semoga kita tidak menenun serat-serat kebencian yang akan menjadi pakaian perpecahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar