Sonia adalah pemimpin Partai Kongres yang kala itu memenangi pemilu di India. Istri mendiang PM Rajiv Gandhi dan menantu mendiang PM Indira Gandhi, seperti dilaporkan The Economist, 22-28 Mei 2004, itu memilih tak mengambil haknya untuk memimpin negara berpenduduk lebih dari 1,1 miliar itu karena ia menyadari posisinya. Padahal, pemimpin partai pemenang pemilu lazimnya menjadi perdana menteri.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Sejumlah tokoh dari Gerakan Suluh Kebangsaan menyampaikan pernyataan merespon kondisi kebangsaan terutama kerusuhan yang terjadi pascapenguman hasil Pemilu di Jakarta, Kamis (23/5/2019). Dalam pernyataannya mereka antara lain meminta dihentikannaya tindakan anarkisme dan provokasi yang meresahkan serta menyebabkan hilangnya rasa aman, mendukung aparat keamanan untuk bertindak tegas sesuai ketentuan perundangan yang berlaku dalam menghadapi perusuh, dan meminta para elit politik untuk menahan diri dari ucapan yang dapat memantik terciptanya ketegangan dan bentrokan antar anggota masyarakat. Sejumlah tokoh yang hadir seperti Frans Magnis Suseno, Amin Abdullah, Quraish Shihab, Abduk Mu'ti, Mahfud MD, Alwi Shihab, Komarudin Hidayat, Sarwono Kusumatmadja, Helmy Faisal, dan Erry Riyana.

Sonia bukanlah warga negara asli India. Dia keturunan Italia. Edvige Antonia Albina Maino, nama asli Sonia, menyerahkan kursi PM kepada ekonom Manmohan Singh. Dia menyadari, jika memaksakan diri menjadi PM, latar belakangnya bisa terus dipersoalkan lawan politiknya dan membuat India berada dalam ketidakpastian. Warga asli India boleh saja menilainya melakukan ketidakadilan.

Accipere quam facere praestat injuriam. Begitu pesan filsuf asal Romawi, Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), kepada siapa pun pemimpin. Pemimpin yang baik dan adil, lebih baik menderita ketidakadilan daripada berbuat ketidakadilan. Nasib rakyat, bangsa, dan negara yang dipimpinnya menjadi yang utama, bukan kepentingan diri atau golongan yang terdepan.

Harapan kita saat ini, sikap seperti Sonia Gandhi atau pesan dari Cicero bisa dilaksanakan oleh siapa pun pemimpin, tokoh masyarakat di negeri ini, tidak hanya calon presiden-calon wakil presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin atau Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Hanya kepentingan rakyat, dengan tidak ingin melakukan ketidakadilan kepada siapa pun, seharusnya yang menjadi dasar bagi siapa pun elite politik dalam melangkah. Jangan menambah beban rakyat.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Wakil Presiden Jusuf Kalla bersama sejumlah tokoh agama dan tokoh masyarakat seusai pertemuan di Rumah Dinas Wakil Presiden, Jalan Diponegoro, Jaklarta, Kamis (23/5/2019) malam. Pertemuan itu salahs atunya membahas situasi terkini pascapengumuman hasil pemilu 2019.

Wakil Presiden Jusuf Kalla; wapres ke-6 RI, Try Soetrisno; presiden ke-3 RI, BJ Habibie; serta sejumlah tokoh lain menebar suasana damai dan sejuk dengan melakukan sejumlah lobi dan komunikasi politik. Penyikapan hasil Pemilu 2019, oleh sebagian orang, dengan unjuk rasa, bahkan bentrokan dengan aparat, diharapkan mereda. Keakraban tokoh itu, melintasi berbagai perbedaan, diharapkan menenangkan rakyat serta mendorong Jokowi dan Prabowo, sebagai pusat kontestasi politik kali ini, juga bertemu dan mengisyaratkan persaudaraan di antara mereka.

Keduanya menempatkan kepentingan rakyat, bangsa, serta negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. Keduanya juga memberikan kesempatan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus sengketa hasil pemilu itu sesuai dengan fakta dan mengedepankan keadilan.

Pemimpin harus bisa tak hanya ngayahi (mengurus) yang dipimpin, tetapi juga ngayemi (menenangkan), ngayomi (melindungi), dan ngayani (menyejahterakan). Pada tingkat nasional, tentu saja yang dipimpin adalah rakyat. Kalau belum bisa menyejahterakan rakyat, setidaknya harus bisa mengurus, menenangkan, dan melindungi rakyat. Bukan justru membuat rakyat marah, gerah, dan terbelah.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO