Sonia adalah pemimpin Partai Kongres yang kala itu memenangi pemilu di India. Istri mendiang PM Rajiv Gandhi dan menantu mendiang PM Indira Gandhi, seperti dilaporkan The Economist, 22-28 Mei 2004, itu memilih tak mengambil haknya untuk memimpin negara berpenduduk lebih dari 1,1 miliar itu karena ia menyadari posisinya. Padahal, pemimpin partai pemenang pemilu lazimnya menjadi perdana menteri.
Sonia bukanlah warga negara asli India. Dia keturunan Italia. Edvige Antonia Albina Maino, nama asli Sonia, menyerahkan kursi PM kepada ekonom Manmohan Singh. Dia menyadari, jika memaksakan diri menjadi PM, latar belakangnya bisa terus dipersoalkan lawan politiknya dan membuat India berada dalam ketidakpastian. Warga asli India boleh saja menilainya melakukan ketidakadilan.
Accipere quam facere praestat injuriam. Begitu pesan filsuf asal Romawi, Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), kepada siapa pun pemimpin. Pemimpin yang baik dan adil, lebih baik menderita ketidakadilan daripada berbuat ketidakadilan. Nasib rakyat, bangsa, dan negara yang dipimpinnya menjadi yang utama, bukan kepentingan diri atau golongan yang terdepan.
Harapan kita saat ini, sikap seperti Sonia Gandhi atau pesan dari Cicero bisa dilaksanakan oleh siapa pun pemimpin, tokoh masyarakat di negeri ini, tidak hanya calon presiden-calon wakil presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin atau Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Hanya kepentingan rakyat, dengan tidak ingin melakukan ketidakadilan kepada siapa pun, seharusnya yang menjadi dasar bagi siapa pun elite politik dalam melangkah. Jangan menambah beban rakyat.
Wakil Presiden Jusuf Kalla; wapres ke-6 RI, Try Soetrisno; presiden ke-3 RI, BJ Habibie; serta sejumlah tokoh lain menebar suasana damai dan sejuk dengan melakukan sejumlah lobi dan komunikasi politik. Penyikapan hasil Pemilu 2019, oleh sebagian orang, dengan unjuk rasa, bahkan bentrokan dengan aparat, diharapkan mereda. Keakraban tokoh itu, melintasi berbagai perbedaan, diharapkan menenangkan rakyat serta mendorong Jokowi dan Prabowo, sebagai pusat kontestasi politik kali ini, juga bertemu dan mengisyaratkan persaudaraan di antara mereka.
Keduanya menempatkan kepentingan rakyat, bangsa, serta negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. Keduanya juga memberikan kesempatan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus sengketa hasil pemilu itu sesuai dengan fakta dan mengedepankan keadilan.
Pemimpin harus bisa tak hanya ngayahi (mengurus) yang dipimpin, tetapi juga ngayemi (menenangkan), ngayomi (melindungi), dan ngayani (menyejahterakan). Pada tingkat nasional, tentu saja yang dipimpin adalah rakyat. Kalau belum bisa menyejahterakan rakyat, setidaknya harus bisa mengurus, menenangkan, dan melindungi rakyat. Bukan justru membuat rakyat marah, gerah, dan terbelah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar