Terbanyak dari Jawa Barat, disusul Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta daerah-daerah lain. Selain itu, 3.668 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dilaporkan sakit. Jumlah petugas KPPS seluruh Indonesia memang cukup besar, sekitar 5,6 juta orang yang tersebar di 810.329 tempat pemungutan suara (TPS).
Banyaknya petugas KPPS yang meninggal dan sakit, belum lagi ditambah pengawas pemilu dan aparat keamanan, tentu tak dapat dipandang sebelah mata. Mereka para pahlawan demokrasi, orang-orang biasa yang berkiprah nyata menyukseskan pemilu. Mereka menghibahkan diri bagi terselenggaranya pemilu yang teknisnya demikian rumit.
Pemilu serentak 2019 memang sangat fenomenal, terlepas kekurangannya, mencatatkan sejarah baru sebagai yang terbesar penyelenggaraannya dalam sehari. Tak saja kerumitan teknis, pilpres yang hanya dua peserta, serta durasi kampanye yang panjang, menyisakan polarisasi politik yang meluas, melelahkan secara psikologis.
Secara teknis, karena proses penghitungan suara rata-rata bisa sampai dini hari, diperlukan para petugas yang berstamina fisik prima dan kematangan emosi yang baik. Mereka pekerja "sukarela", garda depan penyukses pesta demokrasi. Kalau tidak ada mereka, tak ada anggota masyarakat yang terpanggil sebagai petugas KPPS, demokrasi elektoral tak dapat berjalan. Kendati tak serta- merta dapat dikontraskan dengan para partisan yang sibuk memastikan kemenangan, peran dan tanggung jawab petugas dalam penunaian teknis pemilu sangat mulia.
Catatan di atas bagian dari evaluasi penting pemilu serentak 2019. Tampaknya semua setuju manakala ke depan, fenomena demikian harus diantisipasi lebih serius. Caranya bisa beragam, apakah perbaikan seleksi atau yang lain. Namun, bisa saja kejadian ini pintu masuk ke perubahan sistem pemilu dan penyelenggaraannya. Bisa juga sekadar menafsirkan ulang konsep serentak dalam pemilu nasional. Bisa saja muncul gagasan sistem zona atau yang lain, mencontoh India, misalnya.
Mengganti sistem?
Mengganti sistem penyelenggaraan pemilu memang memerlukan proses
politik yang tak sesederhana seperti kita bayangkan. Faktor ragam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya juga menjadi pertimbangan. Misalnya, gagasan mengembalikan sistem pemilu kembali ke proporsional tertutup, bagaimana prosesnya untuk bisa ke arah sana, tak sesederhana yang kita bayangkan. Namun, perubahan sistem di negara-negara demokrasi bukan hal yang tabu, bahkan lazim semata. Perspektif perekayasaan pemilu (electoral engineering) membuka peluang bagi ikhtiar mencari sistem pemilu yang cocok.
Dalam The Politics of Electoral Reform, Changing the Rules of Democracy (2010), Alan Renwick mengilustrasikan perubahan sistem pemilu di sejumlah negara demokrasi. Di Perancis, 1985, sistem pemilunya berubah dari two-round qualifed plurality menjadi list proportional representation. Namun, setahun kemudian kembali ke two-round qualifed plurality. Pada 1993, Italia yang sebelumnya bersistem pemilu list proportional representation, diganti mixed- member majoritarian with partial compensation dan pada 2005 berubah menjadi bonus-adjusted proportional representation. Selandia Baru, pada 1993, sistem pemilunya berubah dari single- member plurality ke mixed-member proportional. Jepang, tahun 1994, berganti dari single non-transferable vote ke
mixed-member majoritarian.
Mencari kecocokan sistem pemilu, kalau demikian, bukan harga mati kendati prosesnya tetap melibatkan dinamika "kekuatan-kekuatan politik" di parlemen dan pemerintahan, tanpa mengesampingkan MK. Melihat kecenderungannya, pemilu serentak kali ini, sebagian tujuannya tercapai, manakala yang diharapkan mencegah "pemerintahan yang terbelah" (divided government). Apabila hasil hitung cepat (quick count) lembaga-lembaga survei pasca-pemungutan suara 17 April 2019 dipakai sebagai asumsi, pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin akan didukung oleh mayoritas kursi di DPR. Ini menggambarkan efek ekor jas (coattail effect), kendati terbatas, terjadi. Selain itu, ia juga memberikan harapan bagi jalannya pemerintahan ke depan yang lebih stabil.
Namun, juga sebagai bahan evaluasi, paradoksnya dengan sisi kondisi masyarakat, terasa. Ketika divided government bisa dicegah, sisi masyarakat pasca-pemilu, residu keterbelahannya begitu sangat terasa (quasidivided society). Para elite pasca-pemilu selalu direpotkan dengan ikhtiar ke arah rekonsiliasi dan "normalisasi" sosial politik masyarakat yang tidak mudah. Polarisasi politik yang tajam di ranah elite biasanya bisa cepat reda ketimbang di level awam. Apalagi, manakala efek "demokrasi perasaan" (democracy of feeling), meminjam istilah William Davies, dalam bukunya, Nervous States, How Feeling Took Over The World (2018), terus mengecambah di media sosial.
Rekayasa ulang sistem pemilu
Ikhtiar para elite politik dan masyarakat untuk mewujudkan, yang diistilahkan William Davies, demokrasi akal (democracy of reason), tidaklah mudah dan perlu kegiatan ekstra. Davies menggarisbawahi, melonjaknya demokrasi perasaan selaras anjloknya pertimbangan akal, ketika yang dominan justru rasa khawatir, kecurigaan, ketidakpercayaan terus terpelihara melalui viral media sosial yang tak masuk akal dan sekadar hoaks belaka.
Demokrasi perasaan selaras dengan cepatnya masyarakat bergerak pada penyikapan yang sekadar didasarkan sentimen perasaan, bukan kejernihan akal dan kepandaian bersikap bijak.
Perasaan masyarakat terus diaduk- aduk oleh propaganda hoaks, termasuk memakai isu-isu identitas. Ulasan Devies berimpitan dengan penjelasan Francis Fukuyama dalam Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment (2018). Perkembangan politik dinilainya telah cenderung bergerak ke arah politisasi identitas menggusur isu-isu yang lebih mendasar. Geliat politisasi identitas yang begitu terasa dalam pemilu serentak kita hendaknya juga menjadi pertimbangan antisipasinya ke depan melalui perbaikan sistem.
Mencermati pemilu serentak kali ini, tampaknya memang sudah saatnya dilakukan perekayasaan ulang sistem pemilu secara mendasar ke arah kecocokan, bukan karena lebih didominasi kontestasi antarkekuatan politik. Pertimbangan utamanya, penyegaran kembali demokrasi agar praktik partisipatifnya semakin berkualitas, dalam suasana yang saling percaya dalam menjaga marwah demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar