Bangga pada Pemilu 2019
Menjelang 17 April, kekhawatiran akan terjadinya berbagai gangguan keamanan membayang di benak saya. Ingar-bingar di media sosial menjadi indikatornya.
Pada 18 April selain merasa lega, saya merasa malu kepada diri sendiri. Saya teracuni pikiran sebagai "orang kota". Saya keliru menilai sikap orang Indonesia. Beredar foto perjuangan orang-orang mengirimkan kotak suara sampai di tempat terpencil. Foto Kompas (20/4/2019) di halaman muka berbicara banyak. Pengangkut kotak suara dikawal anggota TNI. Tulisan I Suharyo, Uskup Agung Jakarta, dapat dibaca di halaman yang sama: "Renungan Paskah-Kita Berhikmat, Bangsa Bermartabat". Tulisan itu inspiratif menyikapi ingar-bingar prapemilu.
Syukur, itulah yang pertama kali saya rasakan; kemudian kekaguman pada bangsa Indonesia yang ternyata dapat melaksanakan haknya dengan tertib dan penuh gairah serta bertanggung jawab. Apresiasi juga patut kita berikan kepada seluruh jajaran TNI dan kepolisian; yang tanpa perilaku berlebihan, tetapi tegas menyiratkan kesiapan dan semangat menjaga keamanan selama pemilu berlangsung.
Meskipun ada perbedaan pendapat di antara kontestan utama, imbauan untuk menahan diri oleh para kontestan kepada pendukungnya juga membantu kesejukan ini. Memang ada segelintir orang yang menyampaikan suara keras, malah dapat ditafsirkan sebagai hasutan; juga sampai saat ini dapat dikendalikan dengan elegan oleh aparat keamanan. Semoga presiden terpilih dan anggota parlemen terpilih mengupayakan "yang terbaik" dalam masa pelayanan mereka: 2019-2024.
Hadisusdjono Sastrosatomo
Jl Pariaman, Pasar Manggis,
Setiabudi, Jakarta Selatan
Möller yang Keren
André Möller, penyusun Kamus Swedia-Indonesia, membahas tentang kacaunya istilah kok, bulu tangkis, dan badminton dalam Kolom Bahasa Kompas (6/4/2019).
Lagi-lagi Kolom Bahasa menambah wawasan pembacanya karena orang Indonesia sendiri tak pernah hirau tentang asal-usul istilah kok, badminton, dan bulu tangkis yang dianggap aneh karena kok tak sekadar ditangkis, tetapi dikembalikan dengan raket ke daerah lawan.
Möller juga merasa "aneh" dengan istilah Persatuan Bulu Tangkis (PBSI) tetapi situsnya badmintonindonesia.org, bukan bulutangkisindonesia.org.
Mungkin ia akan lebih kaget jika tahu bahwa orang Sunda di Jawa Barat menyebut olahraga tersebut badingdong, pelesetan dari kata badminton itu. Perkara pelesetan, orang Indonesia memang kreatif. Tetapi, badingdong harap tak dimasukkan ke dalam kamus.
Suyadi Prawirosentono
Selakopi Bogor, Jawa Barat
Dangkal Versus Mendalam
Tulisan A Fauzi Yahya, "Pelayanan Medis Manusiawi Era Kecerdasan Buatan", di Kompas (27/4/2019), mengungkapkan bahwa kesalahan diagnosis terhadap pasien tak hanya merugikan kondisi fisik pasien individual, tetapi juga meningkatkan biaya kesehatan masyarakat.
Fauzi mengungkapkan lima contoh kesalahan diagnosis dan tindakan yang terjadi di luar negeri. Pengabaian terhadap riwayat penyakit pasien, penggunaan tak seperlunya atas pemeriksaan CT scan, tes rutin mamografi, pemeriksaan PSA (prostate specific antigen), dan katerisasi jantung, termasuk pemasangan stent. Contoh pemeriksaan mahal dan tak perlu itu ia sebut sebagai pendangkalan layanan medis.
Fauzi dengan merujuk pada pendapat Dr Eric Topol mengusulkan untuk meningkatkan pelayanan medis mendalam dengan menggunakan kecerdasan buatan. Melalui teknologi medis 4.0, penghematan triliunan rupiah dari kantong BPJS dapat dilakukan.
Rupanya pelayanan medis nasional selama ini via BPJS cenderung ke pendangkalan layanan medis. Konstatasi Fauzi itu layak dipertimbangkan kebenarannya.
Wim K Liyono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar