Kebetulan pada debat tersebut penulis diberikan kepercayaan menjadi salah satu panelis. Dalam debat terakhir, masalah ketimpangan aset, khususnya penguasaan tanah, kembali terungkap. Hal ini memberi angin segar, setidaknya bahwa kedua pasangan capres-cawapres telah memosisikan bahwa ketimpangan agraria adalah masalah penting sekaligus genting.

Setelah pemilu serentak dilaksanakan, Presiden Joko Widodo baru-baru ini (3/5) menggelar rapat terbatas dengan para menteri. Secara khusus rapat membahas percepatan penyelesaian konflik agraria dan masalah tumpang tindih konsesi tanah oleh swasta dan BUMN di atas tanah-tanah masyarakat.

Langkah cepat

Sesungguhnya konflik agraria yang meletus adalah cermin adanya ketimpangan struktur agraria. Telah diketahui bahwa terdapat keadaan di mana 1 persen penduduk menguasai 62 persen aset kekayaan, khususnya tanah, di Indonesia. Tak heran, di tahun 2018 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 410 kejadian konflik di atas tanah lebih dari 870.000 hektar dan melibatkan 87.568 kepala keluarga (KK).

Di tahun 2019, tercatat telah tiga kali Presiden memberikan perintah percepatan penyelesaian konflik agraria melalui rapat kabinet, dan satu perintah langsung kepada Gubernur Bengkulu. Bahkan, berulang kali pula rapat semacam ini dilaksanakan pada tahun sebelumnya.

Penting untuk memastikan harapan penyelesaian konflik agraria tidak menghilang begitu saja setelah rapat karena tidak ada langkah lanjutan di kementerian dan lembaga (K/L), juga pemerintah daerah. Sebenarnya langkah ini bisa dimulai dengan hal-hal yang terbilang mudah.

Beberapa kewenangan K/L yang dapat segera dilakukan adalah eksekusi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia untuk mengeluarkan desa-desa definitif yang jumlahnya lebih dari 19.200 (data lain menyebutkan 33.000 desa) dari dalam kawasan hutan termasuk dalam konsesi hutan tanaman industri (HTI), Perhutani, hutan lindung, hutan register, dan taman nasional.

Desa-desa ini telah hadir jauh sebelum keberadaan konsesi-konsesi itu, sangat penting untuk segera dikeluarkan dari klaim kawasan hutan.

Langkah serupa dapat dilakukan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Republik Indonesia dengan merevisi atau mencabut hak guna usaha (HGU) perkebunan swasta dan BUMN yang di dalamnya terdapat desa, permukiman, dan garapan masyarakat. Bahkan, lebih dari itu, pemerintah wajib memastikan jalan-jalan yang menghubungkan desa dan melintasi perkebunan bukanlah milik perusahaan. Sebab, banyak desa yang tidak dapat diakses dengan bebas karena perusahaan dapat membuka dan menutup jalan yang dianggap milik perkebunan.

Dalam merevisi HGU atau jenis konsesi lain pada BUMN, pemerintah juga harus memastikan beberapa langkah khusus untuk memastikan Kementerian Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, dan Kejaksaan memandang langkah ini sebagai usaha menyelesaikan konflik yang urgen. Dengan demikian, ketakutan birokrat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan KLHK dalam mengeluarkan tanah-tanah konflik dengan rakyat dari catatan aset negara dapat dilakukan.

Untuk memastikan langkah ini dijalankan dengan berhati-hati (prudent), wajib dibuka partisipasi masyarakat untuk terlibat dan mengawasi sehingga langkah ini tepat secara lokasi dan penerima manfaatnya, dan tidak menjadi ladang penyalahgunaan.

Untuk memastikan perintah penyelesaian konflik agraria ini berjalan, sebenarnya Presiden dapat melakukannya dengan langkah korektif yang cerdik.

Dalam setiap kunjungan daerah, selama ini Presiden Jokowi selalu membagikan sertifikat Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Sebaiknya langkah ini diganti atau dilengkapi dengan penyerahan sertifikat hasil penyelesaian konflik agraria dan keputusan-keputusan pengeluaran desa-desa dari wilayah konsesi tanah badan usaha.

Reforma agraria

Langkah penyelesaian konflik agraria semacam ini sebenarnya belum sepenuhnya ideal, sebab hanya melihat konflik agraria sebagai sebuah kesalahan administrasi, masalah hukum perdata. Padahal, konflik agraria adalah cermin dari ketimpangan struktur agraria yang terjadi sejak lama. Karena itu, langkah koreksi atas beberapa kesalahan hukum, dan menegakkan transparansi sistem pertanahan, haruslah diabdikan untuk mewujudkan keadilan agraria sebagai basis dari penciptaan keadilan sosial.

Idealnya, langkah penyelesaian konflik haruslah dalam bingkai pelaksanaan reforma agraria, yakni operasi sistematis dan berjangka waktu untuk melakukan penataan struktur agraria yang timpang menjadi lebih berkeadilan melalui program redistribusi tanah dan program penunjang lainnya.

Secara normatif tidak terdapat hambatan hukum dalam menjalankan ini. Optimalisasi peraturan presiden tentang reforma agraria untuk kepentingan rakyat harus diutamakan. Namun, masih terdapat hambatan politik berupa perbedaan kepentingan sehingga langkah ini tidak pernah benar-benar dijalankan secara komprehensif.

Karena itu, sebaiknya Presiden mulai memimpin dan mengajak semua lembaga negara dan kuasi negara membahas konsensus nasional untuk menjalankan reforma agraria secara lebih terencana.