Tentu itu semua bukan alasan menjadi ekstremis bahkan teroris; dua kebutuhan pertama yang disebut di atas sebetulnya adalah kebutuhan kita semua juga. Namun, dengan mengetahui hal ketiga sebagai pemicunya, kita bisa mencegah seorang anak tumbuh menjadi teroris. Jika sudah telanjur, selalu ada cara   menghentikannya: dimulai dengan pemahaman tentang akarnya, lalu strategi jangka panjang untuk merongrong penyebabnya.

Karena sebagian besar teroris "tumbuh di rumah" (dilahirkan dan dibesarkan di negara yang kemudian mereka serang sendiri), apa yang mereka dapatkan dalam pendidikan dasar menjadi sangat penting. Mengingat bahwa banyak teroris adalah kaum berpendidikan, berarti ada yang salah atau kurang dalam pendidikan ini.

Rasa memiliki adalah kebutuhan psikologis dasar dan kelompok dengan itu kita terafiliasi membentuk siapa dan menjadi apa kita. Sekolah yang hanya menghargai prestasi akademik yang tinggi akan menciptakan eksklusivitas, tempat perundungan, dan marginalisasi dapat berkembang.

Pengucilan sosial dari lingkungan yang tak inklusif akan mengikis perasaan memiliki, harga diri, persepsi kontrol atas lingkungan, dan mengantar pada krisis keberadaan.

Pada akhirnya semua siswa perlu percaya bahwa keberadaan mereka penting dan kontribusi serta opini mereka dihargai. Ini menjadi sulit jika satu sekolah berasal dari satu ragam agama, suku, atau pandangan tertentu.

Mereka boleh memakai seragam, tetapi keseragaman yang paling penting adalah keberagaman. Keberagaman bisa dipupuk dengan cara membebaskan mereka berekspresi.

Seni dalam pendidikan

Ekspresi yang paling bebas adalah melalui seni. Mereka tak perlu diarahkan bahwa  dalam menggambar, daun harus diwarnai dengan hijau, langit biru, dan seterusnya. Ada—bahkan banyak—yang lebih suka meronai langit dengan warna gelap atau berwarna-warni saat matahari terbenam. Apa mereka salah? Aneh?

Kalau Anda menjawab "ya", itu bukti bahwa ada bibit intoleransi dalam diri Anda. Saya yakin, sebagian besar pembaca ini akan menjawab "ya" karena memang bibit intoleransi itu ada dalam setiap diri kita. Hanya sebagian dari kita sudah disadarkan bahwa itu salah.

Pendidikan lebih dari sekadar menghafalkan fakta dan lulus ujian. Pendidikan adalah tentang mempelajari cara tumbuh menjadi pribadi dan belajar hidup bersama; bukan hanya apa yang dipercaya  tentang diri sendiri, tetapi juga apa yang kita percayai tentang orang lain. Kalau sekolah menggunakan pendekatan proaktif untuk pembelajaran sosial dan emosional, mereka mendorong anak-anak mencari tahu kesamaan apa yang mereka miliki dari perbedaan yang ada, menjadikannya lebih berat rasa menghakimi orang lain. Ini membawa kita kepada poin berikut ini: penajaman rasa empati

Sekolah harus bertujuan mengidentifikasi nilai-nilai dan kekuatan positif setiap anak, membantu anak-anak memahami bakat dan keterampilan masing-masing yang diperlukan untuk membangun hubungan yang sehat, termasuk pengembangan empati.

Kerja sama melalui seni adalah kerja sama paling efektif meruntuhkan tembok perbedaan. Misalnya, seorang anak menggambar, yang lain membuat cerita atau puisi dari gambar itu, dan yang lain lagi membuat musik dari gambar dan atau puisi itu. Tema yang sama diinterpretasi dengan berbeda. Tidak ada yang salah, bahkan semua indah.

Dalam bidang yang sama, musik misalnya, anak berlatar agama atau pandangan berbeda yang bermain bersama-sama membentuk grup atau orkes kecil akan bisa berkomunikasi dengan baik sebab tujuan utama mereka adalah bagaimana menghasilkan musik yang sin- kron dan harmonis. Itu berarti mereka harus saling mendengarkan; keras-lembutnya harus diatur sesuai dengan rekan sebelahnya, dan ekspresinya harus jelas—bukan dijelaskan dengan kata-kata, tetapi dengan musik.

Ketika anak-anak diberi kesempatan memahami lebih banyak tentang emosi mereka, mereka akan memahami lebih baik mengapa mereka merasakan apa yang mereka lakukan dan juga menemukan cara yang aman mengekspresikan perasaan tanpa dihakimi. Mereka juga mulai menghargai bagaimana emosi mereka dapat ditangkap oleh orang lain. Di sinilah empati mulai terasah.

Sayangnya, pemelajaran sosial dan emosional tak punya tempat di sebagian besar sekolah di Jakarta—kemungkinan besar seluruh Indonesia, ketika hasil akademik adalah prioritas utama.

Kaum muda sering kali adalah idealis yang ekstrem. Pada mereka, keinginan didengar dan kepercayaan bahwa "aku bisa membuat perbedaan" sangat kuat. Sering kali mereka sulit mendengar orang lain, apalagi kritik bahwa tidak semua pendapat mereka benar. Penelitian menunjukkan bahwa teroris muda memiliki motivasi yang sama, tetapi tersalurkan secara negatif karena tak diterimanya keberadaan dan opini mereka oleh kalangan mereka.

Sekolah dapat memberikan saluran konstruktif yang melibatkan murid secara positif dengan komunitas mereka dengan cara memberi mereka harga diri lewat kreasi seni mereka.

Dari kreasi itu kita bisa melihat aspirasi mereka yang terlalu dalam untuk bisa mereka ekspresikan lewat kata-kata: rasa kecewa, marah, sepi, dan lain-lain. Berbagai perasaan tersebut sebetulnya adalah bibit-bibit negatif yang bisa tumbuh ke arah terorisme jika tidak disalurkan, misalnya, lewat seni.

Keterlibatan aktif

Proses pemelajaran ini membutuhkan keterlibatan aktif baik dalam kegiatan ekstrakurikuler ataupun dalam kegiatan keluarga sebab ini bukan ilmu, melainkan kesadaran, empati, toleransi, dan "welas asih". Ini semua berdasarkan keinginan mereka menciptakan karya seni yang baru dan berkualitas serta akan menaikkan harga diri mereka tanpa harus membuktikannya dengan hal-hal negatif seperti mengumbar kebencian lewat media sosial, bahkan melukai atau membunuh orang lain.

Pengalaman saya sendiri dalam melibatkan para pemuda dan pemudi pada segala proyek kesenian ini adalah bahwa hal itu bersifat transformatif—dalam cara mereka melihat diri mereka sendiri, potensi mereka, komunitas yang bekerja dengan mereka, dan kemampuan mereka untuk berkontribusi pada sesuatu.

Seamatir apa pun dia, untuk pertama kalinya dia merasa menjadi signifikan dan itu akan meningkatkan kualitas kerjanya dalam proyek itu—dan, saya yakin—nantinya juga dalam kehidupannya.