Kaitan Nahdlatul Ulama dan politik bukan hal baru. NU sepenuhnya tak bisa melepaskan diri dari tarikan politik, bahkan khitah kelahirannya sudah sangat "politis". Ketika diselenggarakan pemilu pertama pada 1955, masa Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, NU—yang sudah terlepas dari Masyumi (1952)— dengan persiapan yang hanya tiga tahun mampu masuk dalam lima besar perolehan suara terbanyak, urutan ketiga setelah PNI dan Masyumi.

Lima partai besar, masing-masing Partai Nasional Indonesia (PNI) mendapatkan 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante (22,3 persen), Masyumi 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante (20,9 persen), NU 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4 persen), Partai Komunis Indonesia (PKI) 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante (16,4 persen), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 8 kursi DPR dan 16 kursi Konstituante (2,89 persen).

Partai  yang mendapat kursi di bawah 10: PSII (8), Parkindo (8), Partai Katolik (6), dan Partai Sosialis Indonesia (5). Dua partai mendapat empat kursi (IPKI dan Perti). Enam partai mendapat dua kursi (PRN, Partai Buruh, GPPS, PRI, PPPRI, dan Murba). Sisanya, 12 partai, mendapat satu kursi (Baperki, PIR Wongsonegoro, PIR Hazairin, Gerina, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia, Partai Persatuan Dayak, PPTI, AKUI, Partai Rakyat Indonesia Merdeka, Persatuan Rakyat Desa, ACOMA, dan R Soedjono Prawirosoedarso).

Tentu saja puncak karier politik aktivis NU adalah ketika kader terbaiknya, KH Abdurrahman Wahid, yang saat itu menjabat Ketua Tanfidiyah PBNU, terpilih menjadi presiden keempat Republik Indonesia.

Dalam Pemilu 2019, yang hasilnya resmi diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 21 Mei 2019 dini hari,  KH Ma'ruf Amin dinyatakan sebagai Wakil Presiden  Republik Indonesia 2019-2024. Hal ini semakin menegaskan betapa politik merupakan sesuatu yang melekat pada tubuh NU.

KH Ma'ruf Amin lahir di Kresek, Tangerang, pada masa pendudukan Jepang: 11 Maret 1943. Kita tahu KH Ma'ruf Amin, ketika dicalonkan sebagai calon wakil presiden, tengah menjabat sebagai Rais Aam PBNU dan Ketua Umum MUI pusat. Ia seorang kader NU sekaligus politikus yang merangkak dari bawah. Pernah menjadi anggota DPRD DKI Jakarta dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) (1977–1982), pemimpin Komisi A Fraksi PPP, anggota MPR dari PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) (1997–1999), anggota DPR dari PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) (1999– 2004), ketua Komisi VI DPR dari Fraksi PKB, dan Wantimpres.

Islam Nusantara

Salah satu pemikiran besar yang ditawarkan NU pada Muktamar NU 2015 di Jombang adalah Islam Nusantara. Salah seorang konseptornya tak lain KH Ma'ruf Amin. Bagi KH Ma'ruf, Islam Nusantara bukan hanya kebutuhan, tetapi keharusan: Islam yang mampu beradaptasi dengan kekuatan lokal dan satu napas dengan keindonesiaan.

Bagi Kiai Ma'ruf, ada tiga rukun yang melekat dalam Islam Nusantara. Pertama, pemikiran (fikrah), yakni cara berpikir moderat (tawassuth). Artinya, Islam Nusantara berada pada posisi tengah mendayung antara penafsiran tekstualis dan penafsiran liberalis. Sebagaimana  pernyataan Imam al-Qarafi, ulama ahli usul fikih, "al-jumûd 'alã al-manqûlãt abadan dalãl fi al-din wa jahl bi maqasidihi", pembacaan yang statis (tanpa tafsir) penafsiran pada hal-hal yang dalil-dalil yang selamanya adalah kesesatan di dalam agama dan kebodohan tentang maksud-maksud agama. Adagiumnya tidak sebatas al- muhafadhah 'alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (memelihara hal silam yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik), tetapi al-muhafadhah 'alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah wal ishlah ila ma huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah.

"Reformasi Islam Nusantara adalah reformasi menuju tahapan yang lebih baik dan secara terus-menerus. Jadi, posisi Islam Nusantara bukan hanya mengambil hal yang baik saja (al-akhdh bi al-jadid al-aslah) karena istilah mengambil itu pasif, tetapi juga melakukan inovasi, mencipta yang terbaik dan terbaik."

Kedua, gerakan (harakah), yakni semangat  menggerakkan  Islam Nusantara untuk melakukan perbaikan-perbaikan menuju terwujudnya kebajikan publik. Tugas Islam Nusantara adalah memastikan gerak  reformasi untuk jamiah (perkumpulan) dan jemaah (warga) yang  diacukan pada kekuatan tradisi sekaligus daya lentingnya ditautkan pada inovasi.

Ketiga, aktivisme (amaliyah), yakni pemuliaan pada tradisi yang telah mengakar sejak lama di tengah masyarakat. Praktik keagamaan demikian inilah pada dasarnya yang tempo hari dilakukan Wali Songo dan kemudian diwariskan para pendiri NU.

Tiga rukun tersebut, dalam pemaparan KH Ma'ruf Amin, ditancapkan pada lima penanda utamanya. Pertama, reformasi (islahiyyah), gerakan yang dilakukan selalu berorientasi pada perbaikan; kedua, tawazuniyyah, seimbang di segala bidang; ketiga, tatawwu'iyyah atau sukarelawan (volunterisme); keempat, keadaban (akhlaqiyyah); kelima, tasamuh atau  toleran, respek kepada pihak lain tanpa kehilangan sikap kritis.

Politik kewargaan

Tentu saja setelah menjadi wakil presiden, KH Ma'ruf Amin bukan lagi milik NU apalagi MUI, tetapi sudah seharusnya  menjadi milik seluruh warga negara Indonesia yang heterogen dan multikultural. Karena itu, politik dan pemikiran keagamaannya, saya kira, harus bergeser pada penguatan "kewargaan". KH Ma'ruf Amin, menurut saya, akan berhasil melakukan lompatan seperti ini.

Stigma sebagai ulama yang berada di belakang munculnya sekian fatwa yang berkecenderungan antipluralisme, antimultikulturalisme, dan eksklusif dengan tindakan politiknya yang lapang semuanya akan selesai dalam perjalanan waktu. KH Ma'ruf Amin akan mentransformasi dirinya menjadi seorang negarawan yang wujud posisi kehadirannya adalah payung segenap warga, memastikan rute inklusi sosial, keindonesiaan yang sejahtera dan setara.

Kepakarannya di bidang fikih dan ushul fikih menjadi nilai lebih untuk menghamparkan alasan teologis yang kuat bahwa keimanan dan keberagamaan yang otentik ditandai dengan kesediaan mengukuhkan "kekitaan" atau, dalam istilah Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945, jalan gotong royong, jalan "Ketuhanan yang berkebudayaan".

Sebagai wakil presiden dengan segala kewenangan politis yang dimilikinya, kesempatan membumikan "Islam Nusantara" semakin terbuka. Islam Nusantara bukan hanya milik NU, tetapi menjadi simbol  jalan keutamaan untuk meneguhkan bahwa kehadiran setiap agama sesungguhnya adalah menebarkan kasih sayang kepada semesta bahwa Indonesia sebagai negara demokratis dengan populasi Muslim terbesar di dunia harus memberikan contoh tentang cara beragama yang yang damai dan nondiskriminatif.

Dalam tekad yang disampaikan KH Ma'ruf Amin sendiri, "Kita ciptakan Indonesia yang utuh, rukun, dan damai. Bahkan, mari kita ciptakan Islam tak hanya rahmatan lil indunisiyyin (rahmat bagi warga Indonesia), tetapi juga rahmatan lil 'alamin, rahmat bagi seluruh alam".

Bahwa agama (Islam) yang utuh selaras dengan tujuan Negara Paripurna. "Kenusantaraan" semestinya dibaca sebagai metafora dari iktikad menebarkan kebaikan bersama sekaligus secara implisit sebagai bentuk pengakuan bahwa halaman depan negara kita adalah masyarakat majemuk yang satu sama lain harus saling menghormati dan memuliakan  sesuai dengan semangat semboyan Bhinneka Tunggal Ika.