UU demokrasi ini diikuti dengan UU No 2/1999 tentang Kehidupan Partai Politik, UU No 3/1999 tentang Pemilu, dan UU No 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan DPR dan DPRD. Melalui keempat UU politik itu, awal pemerintahan era Reformasi membuka koridor sistem demokrasi dan otonomi daerah. Untuk menata pemerintahan desentralisasi yang demokratis, dirancang UU tentang pemerintahan daerah. Kebetulan saya diminta Dirjen Otonomi Daerah Ryaas Rasyid ikut dalam tim penyusunan UU pemerintahan daerah karena UU tentang pemerintahan daerah era Orba perlu diperbaiki.
Sejak dikeluarkan sampai hampir 30 tahun, UU pemerintah daerah itu tak pernah ada aturan pelaksanaannya berupa peraturan pemerintah. UU itu adalah UU No 5/1974 yang diganti dengan UU No 22/1999 dan dikenal sebagai UU tentang Otonomi Daerah. UU No 22/ 1999 diganti dengan UU No 32/ 2004 yang kemudian direvisi lagi menjadi UU No 23/2014.
Dalam ketiga UU itu titik berat otonomi daerah ada di pemerintah daerah dan kota, sedangkan pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat. Ini mengingatkan awal kemerdekaan bahwa untuk melaksanakan Pasal 18 UUD 1945, pemerintah daerah yang pertama adalah provinsi. Ketika itu Ketua PPKI Soekarno menugasi Otto Iskandardinata memimpin tim kecil yang kemudian membagi wilayah administrasi Indonesia atas provinsi-provinsi. Jawa tiga provinsi: Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Sumatera satu provinsi beribu kota Medan. Borneo, Sulawesi, NTB, dan Maluku masing-masing satu provinsi. Provinsi sebagai wilayah pemerintah daerah yang luas bisa membawahkan atau menyubordinasi kabupaten dan kota. Maka, UU awal Reformasi mewakilkan pemerintah pusat ke gubernur kepala daerah provinsi.
Prinsip negara kesatuan
Sejak kemerdekaan, Indonesia merupakan negara kesatuan. Para pendiri negara telah memilih bentuk negara kesatuan berdasarkan Pancasila. Kesepakatan sebagai negara kesatuan itu karena Bung Karno dan Bung Hatta menyadari bahwa negara kita terdiri atas pelbagai perbedaan: luas wilayah, warna suku, adat kebiasaan, bahasa, agama, dan seterusnya. Bung Hatta menyatakan saat itu meski negara kita terdiri atas pelbagai aneka perbedaan, kita seikat; kedaulatan di tangan rakyat, bukan di tangan tuanku.
Inilah NKRI yang berdasarkan Pancasila; berbeda dengan negara federalistis yang sering menggoda kita mencobanya. Bahkan, Presiden Gus Dur, kalau tak salah, pernah mengata- kan bahwa praktik negara federal banyak kita lakukan meski kita berada dalam negara kesatuan.
Pemerintah federalistis meletakan semua wewenang di pemerintahan negara bagian. Negara bagian bersepakat menja- lankan pemerintahan nasional membentuk pemerintah federal. Wewenang pemerintahan federal hanya tiga: menjalankan kebijakan hubungan luar negeri, keuangan, dan pertahanan. AS adalah contoh negara berpemerintahan federalistis.
Sebaliknya, semua wewenang negara kesatuan berada di pemerintah pusat. Wewenang pemerintah daerah di subsidiary level melalui asas desentra- lisasi bukan otonomi (Encyclopedia Americana, 1995). Cara pemberian desentralisasi ke daerah melalui sistem atau bergantung pada keinginan dan kemurahan hati pemerintah pusat. Sejalan dengan cara desen- tralisasi yang dilakukan dan tiga UU pemerintahan daerah tadi, sebenarnya kaidah yang dijalankan mirip dengan pemerintahan federalistis. Salah satu pasal dalam UU No 22, 32, dan 23 menyebutkan wewenang pemerintah pusat ada enam: kebijakan luar negeri, kebijakan dalam negeri, keuangan, agama, serta pertahanan dan keamanan negara. Wewenang lain diti- tikberatkan pada pelaksanaan otonomi di pemerintah kabupaten dan kota. Wakil peme- rintah pusat di daerah di tangan gubernur kepala provinsi.
Pada awal era Reformasi, bupati merasa bukan dalam subordinasi provinsi. Pernah kepala daerah kabupaten diundang rapat oleh gubernur kepala daerah. Mereka tak mau datang karena merasa pemda kabupaten bukan di bawah provinsi yang, bahkan, merasa bukan wakil pemerintah pusat. Kabupaten dan kota merasa dipimpin orang-orang daerah melalui partai politik di daerah itu. Terasa bahwa pemda kabupaten dan kota menjalankan otonomi daerah seakan-akan merdeka dari tingkat hierarki pemerintahan.
Istilah otonomi daerah pada awal era Reformasi itu dimaksudkan memberi keleluasaan desentralisasi di negara kesatuan. Dengan prinsip by the pleasure of central government, otonomi itu bukan kemerdekaan, tetapi pemberian desentralisasi yang luas. Pemerintah daerah dan kota diberi wewenang mengatur pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan, jauh berbeda dengan desentralisasi pemerintah Orba.
Di sinilah letak masalah otonomi di negara kesatuan rancu dengan pemahaman otonomi di negara federalistis. Apalagi jika kita melihat UU pemerintahan daerah mulai dari awal reforma- si sampai sekarang ini dikenal sebagai UU Otonomi Daerah. Pada awal Reformasi, semangat dan keinginan berdesentralisasi sangat kuat sehingga tak kita sadari bahwa kalimat otonomi itu bukan perbendaharaan negara kesatuan. Itu sebabnya, kita perlu hati-hati, ingat pesan Bung Hatta tadi.
Pesan Bung Hatta itu menunjukkan kepada kita, negara kesatuan tetap seikat dan kedaulatan di tangan rakyat. Aneka perbedaan bukan membuat desentralisasi di negara kesatuan jadi otonomi dan kedaulatan di tangan tuanku. Praktik pemerintahan daerah yang kekuasaannya di tangan kepala daerah yang mewakili partai politik tertentu—bukan rakyat daerah secara keseluruhan —perlu diingatkan lagi ke pesan Bung Hatta.
Pemerintah daerah
Pasal 18 UUD 1945 menyatakan dalam susunan negara kita sebagai negara kesatuan, terdapat eksistensi lembaga pemerintahan daerah berupa provinsi. Total delapan provinsi di awal kemerdekaan. Karena luasnya wilayah dan kurang efektifnya gubernur mengelola wilayahnya, wilayah provinsi dirinci lagi jadi beberapa tingkat di bawah provinsi, seperti kabupaten dan kecamatan.
Kemudian berkembang pemikiran bagaimana bangunan lembaga daerah yang otoritas wewenang pemerintah pusat berada di daerah masing-masing dan setiap pemerintah daerah tetap menunjukkan kebutuhan, aspirasi, karakteristik, dan wewenang daerahnya. Berkembanglah istilah wilayah dan daerah; wilayah menunjukkan sifat wewenang pemerintah pusat diletakkan pada gubernur di wilayah provinsi dan bupati di wilayah kabupaten; daerah menunjukkan aspirasi dan wewenang daerah. Wilayah merupakan wujud wilayah pemerintah pusat di pemerintah daerah dan daerah merupakan kewenangan pemerintah daerah.
Ketika itulah sebutan untuk pemimpin pemerintah daerah provinsi disebut gubernur kepala daerah. Demikian pula untuk kabupaten, bupati kepala daerah. Sebutan gubernur dan bupati merupakan perwujudan perwakilan pemerintah pusat untuk wilayah provinsi dan kabupaten, sedangkan kepala daerah sebagai sebutan pejabat daerah yang dipilih dari orang daerah tersebut.
Dari sebutan gubernur dan atau bupati kepala daerah bahwa wewenang pemerintah daerah atau perwakilan wewenang pemerintah pusat tetap berada di pemerintah masing-masing. Tak tergambarkan adanya otonomi daerah di subsidiarylevel pemerintahan.
Pelaksanaan sistem desentralisasi sangat bergantung pada kemurahan hati pemerintah pusat. Kadang-kadang desentralisasi sulit dan menjadi sentralistis; kadang-kadang murah desentralisasinya.
Dewasa ini, dari awal era Reformasi sampai sekarang, UU pemerintah menekankan adanya titik berat otonomi daerah di kabupaten dan kota. Orang yang menjadi bupati dan wali kota dipilih dari tokoh partai politik dan putra daerah masing-masing. Namun, wakil pemerintah pusat di daerah berada di jabatan gubernur pemimpin pemerintah provinsi. Di sinilah letak kejanggalan titik berat otonomi di kabupaten dan kota sebagai lembaga pemerintah daerah yang terpisah dari jangkauan kewenangan pemerintah pusat.
Kebijakan bupati dan wakil bupati yang berasal dari partai politik, yang berbeda menurut catatan penelitian saya, banyak yang tak lagi mencerminkan kesatuan pemimpin daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar