Padahal, sejak di sekolah dasar kita selalu diingatkan dengan empat sehat lima sempurna. Namun, masuk akal juga ketika ada penjelasan, masyarakat, dalam hal ini orangtua, kurang terpapar informasi yang baik dan memadai dalam hal gizi. Dengan demikian, apa yang diberikan untuk anak-anak mereka pun lalu bisa kurang atau salah.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Petugas menimbang berat badan anak di Pos Pelayanan Terpadu, Kampung Dadap Meteseh, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (16/1/2019). Posyandu masih memegang peranan kawasan pelosok dalam memberikan layanan kesehatan dan gizi bagi anak. Selain itu juga mengedukasi pengetahuan ibu terhadap kesehatan anaknya.

Wilayah negara yang luas bisa kita sebut sebagai salah satu sebabnya, bersama tingkat kesejahteraan yang belum merata. Namun, realitas ini tetap mencengangkan setelah kita 73 tahun merdeka dan mengklaim berbagai keberhasilan ekonomi.

Dalam berita Kompas, Senin (27/5/2019), disebutkan, Indonesia adalah negara dengan jumlah anak tengkes (stunting) terbanyak kedua setelah Timor Leste di Asia Tenggara. Kita tahu, tengkes adalah anak yang tumbuh di bawah standar karena kurang gizi kronis.

Mengejutkan bahwa prevalensi tengkes Indonesia menurut Riset Kesehatan Dasar 2018 adalah 30,8 persen, di atas prevalensi global yang 21 persen. Penyebab utama masalah ini adalah ketidaktahuan warga terkait pemberian asupan bergizi dan pola makan baik. Padahal, pemerintah melalui berbagai kementerian terkait sudah menjalankan fungsi masing-masing, baik untuk advokasi maupun layanan di masyarakat.

Ada baiknya kita tengok kembali program yang ada, apakah sudah tepat sasaran atau belum. Bisa jadi skalanya belum cukup masif, seperti dituntut oleh tantangan persoalannya. Kita mendengar bahwa setelah menjalankan program pembangunan secara masif dalam bidang infrastruktur, program berikut adalah pembangunan sumber daya manusia (SDM).

Selain menurunkan prevalensi tengkes, kita juga harus mencetak SDM unggul yang cerdas dan juga tercerahkan. Hal itu masuk akal, mengingat tantangan di depan mata amat kompleks. Kalau SDM kita tidak unggul, bagaimana kita bisa bersaing dalam penguasaan kecerdasan buatan, misalnya.

Bidang-bidang seperti robotika, Internet Segala (IoT), yang ditopang oleh ilmu seperti matematika dan fisika, termasuk yang jadi tantangan. Tentu saja masih ada kebutuhan SDM untuk menggeluti bidang ekonomi yang masih belum memuaskan pembangunannya. Yang juga mendesak adalah kebutuhan akan ahli-ahli ilmu sosial dan politik, mengingat di area ini kita juga masih belum tercerahkan.

Kalau itu adalah SDM dewasa yang kita butuhkan, insan-insan cendekia tersebut sudah harus kita persiapkan kemampuannya semenjak usia dini. Dalam kaitan ini kita sepandangan bahwa literasi harus ditingkatkan. Jangan ragu pula untuk menambah anggarannya.