"Teringat Tahrir dan sekitar Ittihadiah, waktu itu." Begitu tulis, Kadarisman, teman lama yang bertemu di Kairo, Mesir, tahun 2013 silam, lewat Whatsapp. Waktu itu, Kadarisman sedang menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, sebuah universitas tua yang sangat prestisius. Kadarisman kuliah di Kulliyah Lughah al-Arabiyah Qism Lughah (Fakultas Bahasa, Jurusan Bahasa).
Rasanya terlalu jauh membandingkan apa yang terjadi di sepenggal Jalan Thamrin hari Rabu lalu dengan yang terjadi di Tahrir Square (pusat Revolusi Musim Semi Arab, 2011) dan Istana Ittihadiah (pusat perlawanan rakyat terhadap rezim Muhammad Morsi dukungan Ihkwanul Muslimin, 2013). Yang terjadi di Thamrin—juga di dua-tiga tempat lainnya di Jakarta—lebih merupakan aksi anarki, kerusuhan.
Terma anarkisme memiliki akar kata dalam bahasa Yunani kuno, anarchos,yang berarti 'tanpa penguasa'. Ada yang mengartikan sebagai 'tanpa aturan'. Anarkis adalah orang-orang yang menolak semua bentuk pemerintahan atau kekuasaan koersif, semua bentuk hierarki dan dominasi. Bertindak anarki berarti bertindak tanpa memedulikan hukum dan tatanan.
Menurut Pierre-Joseph Proudhon (1809-1865), tokoh anarkisme Perancis, gerakan anarkisme haruslah disandarkan pada kekuatan gerakan massa. Dalam hal ini Proudhon memetik pelajaran berharga dari Revolusi 1848—rentetan pergolakan politik di seluruh Eropa yang dimulai di Perancis—bahwa massa merupakan sumber kekuatan revolusi.
Massa inilah yang digunakan oleh para demagog untuk mewujudkan kepentingannya. Demagogue secara harfiah berarti orang yang meminjamkan suaranya kepada rakyat. Di Indonesia fenomena demagogueseperti itu menghinggapi juga beberapa politikus, yakni politikus yang gemar mengaduk-aduk perasaan masyarakat, biasanya dengan menggunakan isu agama, untuk kepentingan politiknya, daripada mengajak berpikir secara obyektif dalam mencari jalan keluar (Haryatmoko: 2003).
Seorang demagog selalu mencari kambing hitam atas segala masalah. Argumen yang digunakan seorang demagog dan menjadi senjata utamanya biasanya ad hominem(menyerang pribadi orangnya) yang penuh kebencian. Itulah yang terjadi belakangan ini.
Terlepas dari semua itu, pertanyaan dasarnya adalah mengapa manusia melakukan kekerasan terhadap sesamanya? Segala bentuk tindakan kekerasan hampir pasti bersifat destruktif dan tidak mengindahkan rasionalitas pikiran manusia, yang menafikan sistem nilai yang ada.
Apabila kekerasan bukan bagian integral dari watak bangsa Indonesia, mengapa kekerasan selalu ada dan digunakan dalam praktik kegiatan berbangsa dan bernegara. Bahkan, lebih khususnya lagi, dilakukan untuk kepentingan politik.
Thomas Hobbes (1588-1679), misalnya, mengaitkan kekerasan dalam perspektif the nature of man—sifat dasar manusia sebagai homo sapiens, barbarianisme, anomie—suatu kondisi hilangnya orientasi masyarakat yang memengaruhi tindakan kekerasan. Itu menyebabkan para pelaku kekerasan bergerak terus tanpa rasa bersalah, dengan menafikan nilai-nilai kehidupan, yang kemudian mengaburkan motif dan tujuannya.
Hobbes menyebut hasil itu sebagaibellum omnium contra omnes (perang dari dan oleh semua). Dalam perang tersebut, manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus est). Apabila dikaitkan dengan perspektif wujud dan intensitas tindakan kekerasan ini, dan manakala tidak dapat dicari solusinya, bukan tidak mungkin kemudian menjurus ke arah tindakan kekerasan struktural dan kultural.
Apabila mengikuti dasar pemikiran itu, kekerasan bisa diartikan sebagai sebuah kelaziman. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya kalau dalam sebuah masyarakat muncul anggapan bahkan keyakinan bahwa kekerasan itu sebagai sesuatu yang lazim dilakukan.
Akan tetapi, boleh jadi pula bahwa karena anggapan seperti itu, "kelaziman" itu dimanfaatkan oleh para demagog untuk merealisasikan kepentingan atau nafsu diri mereka sendiri, dengan meminjam suara dan tangan-tangan orang lain.
Begitulah Thamrin pada malam itu. Terang benderang, tetapi terasa gelap gulita. Karena, keadaban sudah hilang. Anarki, amuk, kerusuhan telah merasuki hati dan pikiran sementara orang. Tindakan semacam itu adalah tindakan tidak menghormati negerinya. Padahal, orang yang tidak menghormati negerinya, berarti tidak menghormati dirinya sendiri.
Dan, melihat Thamrin malam itu, teringat yang pernah dinyatakan oleh filsuf kelahiran Swiss, Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), "Segala yang jahat berasal dari kelemahan." Kelemahan dalam segala-galanya. Untuk menutupi kelemahan itu, kejahatan dilakukan, bahkan cenderung kebrutalan. Kebrutalan tidak bisa dilawan. Tetapi, mereka yang berpandangan optimistis akan mengatakan, "Di mana ada kehidupan, masih ada harapan."
Harapan akan kehidupan, memang, masih ada, seperti Matahari pagi yang terbit di ufuk timur, ketika melihat aparat keamanan ada di Thamrin. Sebab, seperti ditulis oleh penyair dan ahli kaligrafi Jepang Mitsuo Aida (1924-1991) dalam puisinya, seperti dikutip Paulo Coelho (2006):
Andai tomat-tomat ingin menjadi melon,
Betapa menggelikannya,
Heran sungguh saya melihatnya,
Begitu banyak orang ingin menjadi yang bukan diri mereka;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar