Namun, untuk beberapa kepentingan, orang sering memutarbalikkan kebenaran. Pada suatu sore Anda menuntun sepeda motor keluar halaman. Tetangga memergoki lalu bertanya penuh basa-basi, "Mau ke mana, Mas?" Jawab Anda, "Mau diskusi di rumah teman."

Keduanya maklum dan saling tersenyum. Padahal, Anda mau menemui beberapa teman di jalan raya, juga naik motor, mau membegal.

Memang aneh kalau mau berbuat jahat mengaku terus terang. "Mau membegal." Itu baru kebenaran niat yang masih tersembunyi sangat dalam di hati. Belum menjadi kenyataan tindakan seperti kata kamus besar di atas. Coba kalau Anda berterus terang (kebenaran) kepada tetangga itu, mungkin juga akan ditertawakan habis-habisan. Tetangga normal seperti Anda mau membegal?

Kebenaran, dalam hal ini, adalah segala sesuatu yang sudah terjadi. Madam Chiang Kai Shek pernah berucap, "Kita belajar kebenaran dari masa lalu. Sesuatu itu benar atau salah, sejati atau palsu, kalau sesuatu  itu  telah menjadi kenyataan, sudah dilakukan. Siapa pun yang menolak kebenaran yang sudah terjadi itu sebagai bukan kebenaran, tak akan mengubah kebenaran itu sendiri."

Ketika istri mengetahui Anda selingkuh, Anda akan menolak sekeras-kerasnya. Namun, keselingkuhan itu tetap nyata dan tak terhapuskan dari hati nurani Anda. Itu kalau hati nurani Anda masih cukup peka.

Peselingkuh profesional  biasanya sudah tidak bisa membedakan lagi mana selingkuh dan mana tidak selingkuh, mana benar dan mana salah. Begitu pula para koruptor profesional. Mereka akan tertawa saja digiring dan diadili sebagai koruptor.

Memperkuat kehidupan

Kebenaran adalah kebaikan. Kebenaran selalu memperkuat kehidupan untuk tumbuh dan berkembang. Kebenaran tidak pernah mencemari kehidupan, yang akhirnya membunuh kehidupan. Kebenaran mengarah pada kesempurnaan.

Manusia yang manusiawi, bukan manusia hewani yang hanya peduli pada nafsu-nafsu sendiri. Menolak dan membenci kebenaran sama dengan menolak dan membenci kebaikan. Dengan demikian, pembenci kebenaran adalah kejahatan. Kejahatan orang-orang tidak benar ini biasanya baru terbuka kedoknya kemudian karena kebenaran atau kepalsuan baru terlihat pada tindakan atau akibat dari tindak kejahatan tersebut.

Itulah gunanya ada "setan" yang suka membohongi manusia dengan janji-janji setinggi langit kalau manusia bersedia berbuat salah, yang oleh "setan" dikatakan perbuatan benar.

Itulah sebabnya diperlukan kiat kecerdasan agar kebohongan dan kepalsuan tidak cepat terungkap sebelum dilakukan. Orang-orang cerdas yang jahat amat berbahaya bagi manusia. Kepalsuan dan kebohongan orang-orang tak
cerdas sungguh menggelikan. Menjengkelkannya bahwa si pembohong itu keras kepala bertahan pada kebohongannya, justru akibat kedunguannya.

Kaum sufi di Jawa Barat pada suatu masa mengembangkan cerita-cerita sufistik yang lucu-lucu, mirip cerita Abu Nawas dari Timur Tengah, Koja Nasrudin dari Persia, dan Mahasjodhak dari India, yaitu cerita si Kabayan, yang sebelumnya memakai berbagai nama, seperti si Kidul, Bapak Leco, si Buta-tuli, dan Bapa Lucung.

Mungkin cerita-cerita yang sama terdapat di Sumatera, misalnya Cerita Pak Pandir Lebai Malang atau Pak Belalang. Di Jawa juga ada Joko Bodo, Joko Dolog, Pak Lelur, dan Demang Kedangkrang. Di Batak ada Ama ni Pandir, Si Andingkir. Nenek moyang kita sudah lama mewanti-wanti kebodohan kebohongan ini.

Pada suatu hari si Kabayan mencuri nangka tetangganya dan dimakan di rumahnya. Sehabis makan nangka ia berjalan keluar rumah dan bertemu si Silah. Si Silah, tak seperti biasanya, terdiam sambil mengamati wajah Kabayan. Si Silah lalu langsung berkata, "Kabayan, kamu mencuri nangka saya ya?" "Ah, tidak!"

"Jangan mungkir, itu di bibirmu masih ada getah nangka!" "Ah, mana mungkin, tadi sudah saya olesi minyak!"

Cerita Kabayan yang lain sebagai berikut. Kabayan sedang jatuh cinta pada janda muda. Pada suatu malam, diam-diam ia memasuki rumah janda itu dari dapur. Namun, karena gelap, kepalanya membentur rak piring di dapur. Beberapa piring berjatuhan di lantai.

Janda muda yang sedang tidur kaget terbangun dan menyapa, "Siapa itu?" Si Kabayan ketakutan setengah mati dan menjawab, "Saya kucing… meong… meong."

Perlu argumentasi

Menolak kebenaran itu memerlukan argumentasi yang canggih dan kuat sehingga batas kebenaran dan kepalsuan menjadi begitu tipis dan samar. Akibatnya, manusia waras pun mampu tergugah keraguannya. Wah, masuk akal sekali! Padahal palsu tulen.

Ajaran-ajaran agama menyatakan dengan tegas: katakan yang benar itu benar, yang tidak benar itu tidak benar. Pertanyaannya bahwa sesuatu (kesaksian) itu benar atau tidak, hanya dua jawabannya, yaitu ya atau tidak.

Selebihnya dari itu kebohongan dan kejahatan. Yang benar dikatakan tidak benar, sedang yang tidak benar justru dikatakan dengan sangat yakin sebagai benar.

Kebenaran bersifat ilahiah. Kebenaran sebagai sesuai sebagaimana adanya akan abadi, siapa pun tak dapat mengubahnya. Teman sejati kebenaran adalah waktu. Musuh kebenaran adalah prasangka, sedangkan sahabat kebenaran adalah kerendahhatian.