KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Mural kampanye antihoaks di bawah jembatan layang Rawa Buntu, Serpong, Tangerang Selatan, Senin (11/3/2019).

 

Apakah media sosial masih berfungsi sosial? Guru Besar Media Digital dari Queensland University of Technology, Jean Burgess, pernah menggugat hal itu. Setelah kita semua sempat terenyak dan merasakan pembatasan sebagian layanan media sosial oleh pemerintah selama empat hari, 22-25 Mei 2019, gugatan itu patut juga direnungkan bersama.

Media sosial, yang awalnya hanya digunakan sebagai sarana komunikasi antarpersonal, belakangan memang kian banyak yang menggunakannya sebagai medium untuk kepentingan lain, seperti usaha bahkan politik. Persoalan menjadi bertambah pelik dengan semakin banyak pula yang menggunakannya untuk menebarkan konten negatif, baik berita palsu, rasialisme, kekerasan, maupun terorisme. Karena itu, di banyak negara maju, tren bermedia sosial mulai memudar. Banyak negara pun mulai membuat regulasi.

Alasan pemerintah, pekan lalu, melakukan pembatasan sementara layanan media sosial juga didasarkan pada sejumlah alasan. Selain merespons terjadinya bentrokan dan perusakan di sejumlah lokasi di Jakarta pascaunjuk rasa hasil pemilu, pemerintah mendapat informasi ada indikasi penyebaran konten di media sosial yang berpotensi mengganggu kondisi keamanan dan ketertiban umum. Catatan Kementerian Komunikasi dan Informatika, pada April 2019 ada 486 hoaks yang teridentifikasi. Rentang 21-23 Mei 2019 ditemukan 30 berita palsu yang dibuat.

Di tengah kondisi masih rendahnya literasi digital warga, kita mengapresiasi langkah antisipatif pemerintah. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik juga melarang penyebaran konten kekerasan, hasutan, serta ujaran kebencian bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan.

Di sisi lain, kebijakan pembatasan ini tentu menyulitkan banyak warga yang ingin mengunggah konten video, gambar, atau foto yang positif di media sosial. "Buru tikusnya dong, jangan bakar lumbungnya," begitu cuitan pengguna media sosial yang kecewa. Sejumlah aktivis prodemokrasi pun mengkhawatirkan langkah ini dan ke depan berharap ada aturan yang lebih rinci mengatur pembatasan media sosial.

Kini, setelah langkah darurat dilakukan, saatnya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyiapkan strategi lebih matang. Langkah yang baru saja diambil Australia layak dipertimbangkan. UU yang baru disahkan pada 4 April 2019 itu, misalnya, melarang tayangan video bernuansa kekerasan dan mengerikan di media sosial.

Perusahaan penyedia layanan media sosial yang tidak segera menghapus konten terlarang didenda 10 persen dari pendapatan globalnya, serta hukuman hingga 3 tahun penjara bagi pejabat eksekutifnya. Perusahaan juga diharuskan memberi tahu kepolisian dalam batas waktu tertentu apabila menemukan konten yang dilarang.