Untuk menyiapkan itu, pemerintah sejak tiga tahun terakhir mencoba menerapkan sistem pembelajaran berbasis kemampuan nalar tingkat tinggi atau yang dikenal dengan higher order thinking of skills (HOTS). Sistem ini seiring dengan penerapan Kurikulum 2013 yang sangat akomodatif terhadap nalar yang logis serta berpikir kritis dan kreatif.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi tak cukup hanya mengandalkan kemampuan mengingat atau menghafal, seperti banyak dialami para pelajar kita saat ini. HOTS membutuhkan kemampuan lain yang lebih tinggi tingkatannya, yakni berpikir logis, kritis, analitis, serta kreatif dan inovatif dalam banyak hal.
Kemampuan ini sangat dibutuhkan di tengah ketatnya persaingan dalam berbagai aspek kehidupan di abad ke-21. Di sisi lain, kemampuan ini pun untuk memacu kualitas pendidikan kita yang tergolong masih rendah. Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2015, misalnya, kemampuan dasar siswa Indonesia berusia 15 tahun di bidang sains, membaca, dan matematika di bawah rata-rata negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Bahkan, di kawasan ASEAN, peringkat Indonesia di bawah Thailand dan Vietnam.
Hasil Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2016, hasilnya pun jauh dari memuaskan. Dari hasil asesmen tersebut, persentase pencapaian siswa yang kurang di bidang matematika sekitar 77,13 persen, kurang di bidang sains 73,61 persen, dan kurang di bidang kemampuan membaca sekitar 46,83 persen.
Melihat kondisi ini, upaya penerapan sistem pembelajaran berbasis kemampuan nalar tingkat tinggi tentu harus kita apresiasi. Meski demikian, dalam praktiknya tentu tidak mudah bagi kalangan guru untuk menerapkan pembelajaran HOTS yang relatif masih baru. Butuh perubahan paradigma dalam strategi pembelajaran yang asalnya berpusat pada guru (teacher centered) menjadi berpusat pada siswa (student centered) agar siswa lebih kritis, logis, dan kreatif.
Tak boleh diabaikan pula sosialisasi dan pelatihan terus-menerus terhadap guru. Pergantian kurikulum yang berulang kali, mulai dari Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004, dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006, tidak meningkatkan kualitas pendidikan secara signifikan karena minimnya pelatihan terhadap guru. Cara guru mengajar di depan kelas pun tidak banyak berubah. Kasus ini harus menjadi pelajaran berharga.
Karena itu, ke depan, tidak bijak rasanya jika guru dituntut untuk menerapkan pembelajaran berbasis kemampuan berpikir tingkat tinggi, tetapi tidak disertai dengan pelatihan yang memadai. Pelatihan yang efektif terhadap guru menjadi kunci keberhasilan dalam menciptakan siswa berkualitas tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar