Bagaimana dengan lari maraton? Dari segi jarak, ini sudah masuk kategori maraton ultra karena jarak yang harus dilalui adalah 7,6 kali jarak maraton penuh yang "hanya" 42 kilometer. Sungguh tantangan yang luar biasa.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Para pelari ultramarathon Kompas Tambora Challenge 320 K 2019 dilepas di titik start di Poto Tano, Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Rabu (1/5/2019). Lari ultramarathon Kompas Tambora Challenge yang kelima kali diselenggarakan ini diikuti 55 pelari dari berbagai wilayah di Indonesia.

Inilah yang dijawab peserta lomba Tambora Challenge yang diselenggarakan harian Kompas. Program ini sudah berlangsung untuk kelima kali, dimulai tahun 2015 seiring dengan peringatan 200 tahun letusan mahadahsyat Gunung Tambora pada tahun 1815.

Sungguh hebat, untuk tahun ini ada 24 pelari individu (untuk jarak 320 km) dan 31 pelari estafet (untuk 2 x 160 km). Batas waktu yang diberikan untuk kategori individu 68 jam dan kategori estafet 64 jam. Para pelari memulai lomba di garis start di Lapangan Pototano, Kabupaten Sumbawa Barat, Rabu (1/5/2019) pukul 15.00 Wita, dan mengakhiri lomba di lapangan Doro Ncanga, Kabupaten Dompu, di kaki Gunung Tambora, Sabtu (4/5) pagi.

Seperti kita baca beritanya, sejumlah pelari tumbang di hari kedua lomba. Namun, kita terpesona bahwa akhirnya sejumlah pelari bisa mencapai garis finis dan memecahkan rekor. Sebagai juara adalah Hendra Siswanto (39) asal Jakarta yang menuntaskan Tambora Challenge tahun ini dengan waktu 55 jam 56 menit, merobohkan rekor tahun lalu 62 jam 26 menit yang dipegang oleh William Beanjay.

Kita salut dan memberikan penghargaan kepada peserta lomba ini. Pada mereka yang tergambar adalah sosok-sosok dengan fisik prima. Lebih dari itu, mereka juga sosok yang bersemangat baja: memiliki tekad amat kuat dan mampu menyatukan segenap daya kemampuan tubuh untuk mencapai satu cita-cita.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Para pelari ultramarathon Kompas Tambora Challenge 320 K 2019 melintas di jalan raya Trans Sumbawa, Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Rabu (1/5/2019). Lari ultramarathon Kompas Tambora Challenge yang kelima kali diselenggarakan ini diikuti 55 pelari dari berbagai wilayah di Indonesia.

Di era serba ilmiah, mungkin saja ada sains yang diterapkan untuk mempersiapkan diri, melengkapi diri dengan asupan berenergi, menghitung irama lari, dan sebagainya. Pelari juga niscaya mempersiapkan diri dengan penuh disiplin dan boleh jadi persiapan sudah dilakukan setahun di muka. Pola hidup sehari-hari pun pasti harus disesuaikan.

Di harian ini, Senin (6/5), Hendra meyakinkan kita bahwa sport science benar dan bisa diterapkan. Luar biasa proyeksinya, antara apa yang ia rencanakan dan apa yang ia capai hanya berselisih 1 menit.

Kita yang terinspirasi untuk meningkatkan prestasi olahraga pasca-Asian Games 2018 semestinya mempraktikkan sport science dalam menu latihan di berbagai cabang olahraga.

Bagi Kompas, Tambora Challenge juga memuat visi lain selain olahraga: menguatkan paham keindonesiaan. Setting di Tambora kuat mengumandangkan pesan, bangsa Indonesia harus selalu mengingat dirinya sebagai bangsa yang bermukim di wilayah Cincin Api, yang memberikan keindahan dan kesuburan, tetapi juga ancaman yang harus direspons dengan dukungan sains. Dengan ini, Tambora Challenge ingin berkontribusi dalam nation and character building.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO