KELVIN HIANUSA UNTUK KOMPAS

Enny Sri

Tradisi mudik Lebaran di Indonesia semestinya bisa jadi kekuatan mengakselerasi kegiatan ekonomi. Pasalnya, ada lebih dari 22 juta orang yang diprediksi melakukan mobilitas serentak, bahkan ditambah dari luar negeri. Pergerakan orang yang cukup besar ini tak sekadar bernuansa budaya, tetapi juga ekonomi.

Apalagi pemerintah menggelontorkan Rp 20 triliun tunjangan hari raya (THR) bagi aparatur sipil negara, TNI/Polri, dan pensiunan. Angka itu belum termasuk THR bagi karyawan swasta. Selain itu, Lebaran 2019 jatuh awal bulan. Artinya, selain THR, pegawai dan pekerja menerima gaji bulanan. Bank Indonesia memperkirakan kebutuhan uang untuk transaksi masyarakat selama Lebaran lebih dari Rp 217 triliun.

Proyeksi itu dikonfirmasi oleh survei Litbang Kompas. Hanya 8 persen responden yang menyiapkan biaya mudik kurang dari Rp 500.000. Jumlah terbesar, antara Rp 500.000 sampai Rp 3 juta, mencapai 34,9 persen. Sementara responden yang menyiapkan biaya mudik lebih dari Rp 5 juta sebanyak 26,3 persen, sekitar Rp 2-5 juta mencapai 23,8 persen, dan yang tidak menjawab 6,2 persen. Artinya, mayoritas pemudik mengeluarkan biaya lebih dari Rp 1 juta. Jika total ada 22 juta pemudik, jelas perputaran uang selama Lebaran lebih dari Rp 220 triliun.

Jumlah itu tentu tak dapat dibilang kecil. Lebih dari cukup sebagai amunisi untuk mendorong, bahkan mengakselerasi, kerja roda perekonomian. Persoalannya, apakah tumpahan berkah mudik Lebaran ini hanya seperti air hujan sesaat dan serentak, lalu mengering lagi, atau mampu ditampung untuk mengisi cawan-cawan air yang kosong atau tidak. Selanjutnya mampu menyimpan air yang akan menjadi pelumas kekeringan sumber penggerak ekonomi di berbagai daerah.

Tentu ada dua faktor utama yang akan menjadi penentunya. Pertama, ketersediaan dan kesiapan cawan air di masing-masing daerah.  Cawan air akan semakin terisi jika berbagai daerah banyak memiliki potensi daerah yang dihasilkan, mulai dari produk makanan yang jadi ajang kuliner, buah tangan khas daerah, maupun kerajinan yang jadi suvenir pemudik.

Jika banyak kegiatan produktif yang prospektif, tentu dengan mudah akan menggugah masuknya investor putra daerah yang berhasil di kota. Apalagi jika Pemerintah daerah mampu menggerakkan sektor pariwisata daerah, tentu tidak hanya restribusi, tapi juga banyak kegiatan ekonomi yang akan mendapatkan dampak berganda (multiplier effect).

Namun, jika daerah hanya pasif, tidak mampu melakukan kreativitas ekonomi, seluruh pengeluaran pemudik akan kembali lagi ke kota. Sekalipun libur panjang 10 hari, hampir semua barang yang dikonsumsi tetap barang-barang yang mengalir dari kota. Karenanya, dana desa diharapkan mampu menggerakkan dan memberi nilai tambah berbagai potensi ekonomi desa untuk layak dikonsumsi dan menjadi daya tarik investasi pemudik.

Faktor kedua, potensi sisa dana pemudik yang riil mengalir ke daerah dan ke sektor produktif. Sekalipun jumlah perputaran uang selama Lebaran sangat besar, namun kemana dominasi air itu mengalir? Jika menelisik  proporsi pengeluaran pemudik, kebutuhan mendasar dan cukup besar adalah untuk transportasi.

Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan mayoritas pemudik 54,3 persen masih "rela" menggunakan kendaraan pribadi, dimana mobil pribadi/sewaan 38,9 persen, dan motor pribadi/sewaan 15,4 persen.  Sementara bus/travel 17,7 persen, kereta api 10,6 persen, pesawat 10,4 persen, dan kapal laut 3,9 persen. Hal yang menarik,  alasan utama pemudik memilih kendaraan pribadi adalah karena lebih praktis 32,6 persen dan menghemat biaya 20,6 persen. Sementara pemudik yang memilih kendaraan umum pertimbangan yang paling banyak adalah menghemat waktu dan tenaga 32,5 persen.

ABDULLAH FIKRI ASHRI

Kendaraan mengantre menjelang Gerbang Tol Palimanan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (1/6/2019). Hari ini diprediksi merupakan puncak arus mudik di Jalan Tol Cikopo-Palimanan.

Artinya, hasil survei itu mengindikasikan bahwa preferensi pemudik menggunakan kendaraan pribadi karena transportasi umum masih belum mampu memenuhi kebutuhan transportasi pemudik dan dirasa masih mahal. Terutama kesulitan ketersediaan transportasi umum ketika mereka menuju dan berada di daerah tujuan pemudik dan kenaikan harga tiket setiap menjelang lebaran yang cukup tinggi.

Apalagi kenaikan harga tiket pesawat, yang diluar batas kemampuan daya beli rata-rata masyarakat. Masih beruntung pemudik di Jawa dapat menggunakan alternatif jalan darat melalui tol yang telah tersambung. Tentu pemudik yang berasal dari dan ke luar Jawa, tidak banyak pilihan. Sebagai contoh, harga tiket ekonomi pulang pergi untuk tujuan Medan sekitar Rp 4 juta per orang. Jika satu keluarga terdiri 5 orang saja, alokasi untuk transportasi sudah Rp 20 juta sendiri.

Dengan demikian, jangan kan mampu mengisi cawan di daerah, bahkan tabungan satu tahun pun ludes untuk memenuhi kebutuhan mudik. Karenanya, sebagian masyarakat daripada mudik berat diongkos, terpaksa memilih tidak bersilaturohmi dengan sanak saudara di kampung.

Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok selama Lebaran, tentu juga akan mempengaruhi sisa alokasi angaran yang dapat mengisi cawan-cawan air untuk kegiatan produktif.  Memang inflasi pangan masih terkendali karena contributor utama volatile food yaitu harga beras cukup stabil. Namun, konsumen dihadapkan kenaikan harga bawang putih, cabe, daging dan kebutuhan pokok lain. Alhasil, banyak ibu-ibu rumah tangga yang berseloroh  bahwa uang THR hanya numpang lewat saja.

Jika keluhan ibu-ibu tersebut sebatas hanya seloroh tentu tidak menjadi masalah. Nyatanya punya dampak yang signifikan terhadap total pertumbuhan penjualan ritel. Secara historis, biasanya satu bulan yang ada momen Lebaran diharapkan mampu menyumbang sekitar 35 persen dari total omzet penjualan ritel selama satu tahun. Namun, sejak 2017 dan berlanjut tahun 2018, penjualan ritel terus mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Indikasi ini kelihatannya masih akan berlanjut di Lebaran 2019.