Suatu kali Nabi Muhammad menjumpai seseorang yang tengah memaki hamba sahaya, padahal ia berpuasa. Dengan santun, Nabi menyuruh yang bersangkutan untuk makan. Sang Muslim dengan percaya diri berkata, "Wahai Rasul, aku sedang berpuasa." Nabi kemudian bersabda, "Banyak orang berpuasa, tiada hasil puasanya kecuali lapar dan dahaga."
Kisah di atas adalah sepenggal ibrah (pelajaran rohani) betapa tidak mudah mewujudkan nilai puasa dalam perilaku yang seia-sekata di dunia nyata. Diperlukan pembongkaran sikap keberagamaan untuk setiap Muslim yang berpuasa. Adakah ritual ibadah yang setiap tahun ditunaikan secara rutin itu membentuk pribadi bertakwa sebagaimana tujuan berpuasa?
Boleh jadi banyak Muslim berpuasa dalam frekuensi tinggi seperti puasa Ramadhan, puasa Senin dan Kamis, puasa Dawud selang setiap satu hari, dan puasa sunah lainnya. Mereka juga menunaikan shalat wajib dan sunah secara intensif, bahkan dengan gerakan shalat berjemaah yang kian meluas. Membaca Al Quran setiap hari, bahkan tidak sedikit yang hafal kitab suci itu.
Kesemarakan beragama kian meluas di negeri ini. Haji dan umrah menjadi ritual ibadah massal, bahkan harus menunggu bertahun-tahun untuk berhaji. Semangat menampakkan identitas keislaman pun kian menggelora hingga ke atribut berpakaian. Diksi hijrah bertumbuh menjadi fenomena populisme beragama. Semua menunjukkan gairah beragama dalam intensitas verbal dan ritual yang semakin menguat dan meluas di tubuh umat.
Adakah nilai-nilai puasa dan segenap ritual ibadah keislaman itu telah membentuk pribadi-pribadi yang saleh? Saleh dalam makna religius nan otentik yang menghunjam di jiwa, pemikiran, sikap, ujaran, dan tindakan yang memancarkan kebaikan-kebaikan spiritual dan moral utama dalam kehidupan sehari-hari. Jawaban verbalnya tentu, ya. Mana mungkin orang yang secara lahir taat beragama berbuat sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Ironi perilaku
Dunia ternyata tidaklah linier dan sederhana. Tidak kecuali dalam kehidupan keberagamaan. Frekuensi dan intensitas keberagamaan yang demikian tinggi semestinya melahirkan kesalehan otentik yang signifikan di dunia nyata.
Baca Juga : Beragama Yang Mencerahkan
Namun, ironi masih nyata di depan mata bahwa negeri mayoritas Muslim terbesar di dunia ini masih terpapar penyakit korupsi, kegarangan, intoleransi, kekerasan, dan kedangkalan perilaku keagamaan.
Politik yang membawa muatan agama dan ideologi keagamaan pun belum menunjukkan uswah hasanah yang menggelorakan futuwah (kesatriaan), kedamaian, persatuan, persaudaraan, kasih sayang, dan kebajikan utama.
Dunia memang secara harfiah bermakna adna, sesuatu yang dekat dan tidak jarang menjadi hina atau rendahan. Di dunia yang fana ini segala perilaku anak cucu Adam hadir dalam ragam yang kompleks. Segala peristiwa terjadi dari yang dapat dipahami sampai mengandung sejuta rahasia.
Allah Yang Maha Pencipta bahkan menyebut dunia sebagai penuh permainan atau al-mata al-ghurur. Sosiolog Erving Goffman menyebut dunia yang ironi itu sebagai dramaturgi sebagaimana ditulis dalam Presentation of Self in Everyday Life (1959).
Dalam dunia dramaturgi manusia bermain sandiwara di panggung pertunjukan. Seseorang akan menampilkan presentasi diri di depan pentas (front stage) yang serba baik, heroik, religius, dan perkasa dengan segala aksesorinya yang memesona khalayak publik.
Namun, di belakang panggung (back stage) semua pentas kesempurnaan itu jauh panggang dari api. Publik tidak akan pernah tahu perangai para aktor yang sesungguhnya. Lain di pentas publik, lain pula di dunia nyata dalam arena realitas buatan sebagaimana disebut Jean Baudrillard sebagai simulakra.
Dramaturgi dan simulakra memasuki babak baru dalam dunia media sosial dan politik publik. Media daring dan politik menjadi arena permainan para aktor paling bebas, dari segala ujaran sampai aksi di dunia maya dan nyata. Perebutan kepentingan politik sampai tafsir keagamaan bertebaran masif sesuai selera masing-masing.
Baca Juga : Muhammadiyah di Tahun Politik
Hoaks, tajassus (mengorek kesalahan orang), ghibah (menggunjing), merendahkan sesama, memberikan julukan buruk, syak wasangka, dan politisasi segala hal menjadi konsumsi sehari-hari. Agama menjadi alat legitimasi paling absah untuk berebut kuasa dalam sakralisasi yang menggelora. Suara damai, toleran, dan welas asih dianggap absurd dan perlambang lembek.
Kewarasan publik diporak-porandakan oleh logika-logika sumbu pendek yang menghasut, menekan, menghujat, serta menebar aura marah dan permusuhan yang berubah menjadi perangai kolektif buruk di tubuh bangsa ini. Opini, prasangka, data dangkal, dan subyektivitas menjadi kebenaran publik yang dikonstruksi serbamutlak membenarkan era post-truth.
Sosok-sosok keras, demagog, dan kultus menjadi idola baru di tengah kultur publik yang mengalami pembodohan serta pendangkalan nalar dan nurani yang terstruktur, masif, dan sistematik. Nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan etika otentik pun jadi luruh dan terkalahkan oleh nalar demagogi dan segala imaji heroisme yang semu melawan kemungkaran yang dikonstruksi serba-subyektif.
Nilai cerah budi
Dalam dunia sarat ironi yang melumpuhkan fondasi dan nilai-nilai utama kehidupan sungguh diperlukan aktualisasi keberagamaan yang secara otentik mencerahkan akal budi insan beriman. Jadikan puasa dengan segala rangkaian ibadah Ramadhan dan Idul Fitri sebagai jalan rohani untuk mencerahkan akal budi berbingkai akhlak mulia untuk menebar rahmat bagi semesta alam.
Bukankah misi utama kerisalahan Nabi akhir zaman ialah "menyempurnakan akhlak mulia" dan menebar rahmatan lil-'alamin dalam kehidupan semesta.
Muhammad adalah role model paling aktual dan menyejarah dalam membuktikan nilai-nilai Islam sebagai sumber pencerahan akal budi manusia. Dia rendah hati, penyantun, welas asih, jujur, amanah, toleran, di samping cerdas dan ulul-azmi. Rasul, meskipun tegas dan sesekali keras, berakhlak agung (QS Al-Qalam: 4) dan menjadi suri teladan terbaik (QS Al-Ahzab: 21).
Nabi tidak pernah dendam terhadap pihak yang memusuhinya sehingga beliau memperingatkan dalam salah satu hadis yang artinya, "Orang yang paling dibenci Allah ialah yang bermusuh-musuhan dengan keji dan kejam." (HR Bukhari).
Dalam kehidupan yang dilanda krisis moral, sangat penting dan menentukan ajaran tentang pencerahan akal budi dalam bingkai al-akhlaq al-karimah dalam Islam, yang berwujud budi luhur dalam ujaran, sikap, dan perbuatan utama.
Pencerahan akal budi bermuatan nilai kejujuran, amanah, adil, ihsan, kasih sayang, dan akhlak mulia lainnya menjadi penting dalam kehidupan yang sering kali paradoks itu.
Dalam kenyataan antara Islam sebagai ajaran dan perilaku nyata sering tidak sepenuhnya menunjukkan konsistensi sehingga yang mengaktual ialah perangai-perangai jauh panggang dari api Islami. Kebenaran dan kebaikan lebih banyak dipakai mengukur derajat keagamaan pihak lain, sementara diri merasa paling bersih dan semuci yang praktiknya justru ironi.
Islam mengajarkan nilai adil, ihsan, damai, tetapi sebagian pemeluknya tidak jarang berbuat lalim, keburukan, dan permusuhan. Islam mengajarkan kasih sayang, ta'awun, dan ukhuwah, tetapi pemeluknya berbuat permusuhan dengan sesama ciptaan Allah, bahkan dengan sesama seiman.
Dalam narasi dan amalan orang Islam rajin shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lain secara intensif, tetapi sikap dan tindakannya diwarnai amarah, kasar, buruk kata, kebencian, dan perseteruan. Islam lalu menjadi hanya sebatas ilmu dan ajaran verbal, tetapi tidak dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Paradoks perilaku seperti itu termasuk beragama yang tidak mencerahkan dan tergolong perbuatan dimurkai Allah (QS Ash-Shaff: 3).
Pascapuasa Ramadhan dan Idul Fitri setiap Muslim penting meningkatkan kualitas iman, ihsan, dan akhlak mulia sebagai basis pencerahan akal budi kaum beriman untuk menebar kebaikan dan rahmat bagi semesta. Kemuliaan itu melebur dalam kebaikan perilaku yang membuahkan kebajikan yang serba melampaui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar