KOMPAS/HERU SRI KUMORO

A Prasetyantoko
Rektor Unika Atma Jaya Jakarta
Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM)
12-09-2017

Beberapa tahun terakhir, pajak perusahaan digital menjadi diskusi hangat di banyak negara, termasuk Indonesia. Di Eropa, para otoritas pajak mempersoalkan, mengapa masyarakat biasa sulit menghindari pajak, sementara raksasa digital dengan leluasa melakukannya. Bahkan, Amazon, Facebook, Uber, eBay dan Google telah mempekerjakan ribuan ahli untuk melihat celah hukum agar bisa menghindari atau mengurangi pajak (The Guardian, 3/2/2019).

Keresahan tersebut mengerucut dalam pertemuan setingkat menteri G-20 di Fokuoka, Jepang, baru-baru ini dalam salah satu butir kesepakatan bersama. Pada 2020, ditargetkan sudah ada kebijakan pajak lintas negara bagi perusahaan digital. Jika terlaksana, tahun depan perusahaan digital akan menanggung beban lebih tinggi daripada sebelumnya.

Menteri Keuangan Inggris Philip Hammond bersama Menteri Keuangan Perancis Bruno Le Maire adalah tokoh yang paling getol memperjuangkan penerapan sistem perpajakan lintas negara perusahaan digital. Mereka dianggap sebagai bagian dari gelombang besar yang kritis terhadap industri digital. Sejak tahun lalu, majalah The Economist mengulas gejala techlash atau meningkatnya tekanan dari regulator dan masyarakat terhadap praktik bisnis raksasa digital.

Di Amerika Serikat, negara asal hampir semua raksasa digital, tengah bergulir proses penyelidikan dugaan monopoli terhadap Amazon dan Facebook oleh Komisi Perdagangan Federal (FTC). Sementara, Apple dituduh mematikan persaingan dan sedang dalam penyelidikan Departemen Kehakiman.

Koordinasi global

Kendati sikap kritis terhadap raksasa digital meningkat, bukan berarti kebijakan perpajakan akan mudah karena koordinasi global sedang di titik nadir. Terhadap proposal G-20, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin terlihat skeptis, khususnya terhadap sikap Inggris dan Perancis, karena berpotensi mengurangi penerimaan pajak di dalam negeri AS. Nampaknya, masih perlu beberapa langkah lagi, sebelum kebijakan pajak pada perusahaan digital ini menjadi kebijakan lintas negara, seperti yang terjadi pada masalah pertukaran data pajak secara otomatis (AEoI).

Pertemuan G-20 tahun ini menyadari perekonomian global tak terlalu menggairahkan. Kendati relatif stabil dan terlihat sedikit prospek perbaikan pada tahun depan, namun mendung ketidakpastian masih begitu tebal. Meskipun salah satu persoalan global terpenting, yakni ketidakseimbangan neraca pembayaran, khususnya antara China dan AS, sudah mengecil, namun konflik antarkeduanya justru meningkat.

Sebagaimana tertuang dalam 14 butir pernyataan bersama, perekonomian global memerlukan koordinasi kebijakan yang semakin intensif. Pada butir ke-11 tertuang kesepakatan meningkatkan koordinasi dalam sistem perpajakan perusahaan digital. Namun, kontroversi masih terjadi.

Mahir A Desai, ahli keuangan Harvard Business School, menyebut gagasan penerapan pajak bagi raksasa digital yang diprakarsai Inggris dan Prancis sebagai kebijakan yang berorientasi populis serta menjadi bagian dari strategi industri yang nasionalistis (Financial Times, 3/11/2018). Menurutnya, obsesi meningkatkan pajak (termasuk dari raksasa digital) di tengah lesunya perekonomian seperti sekarang ini, tak wajar. Hal ini bersifat pro-siklus yang berpotensi menghambat pemulihan global.

Sementara, penambahan beban pajak pada raksasa digital juga dianggap berlawanan dengan semangat untuk mengembangkannya. Presiden Emmanuel Macron beberapa waktu lalu mencanangkan Perancis sebagai basis sektor digital global. Akan tetapi, penerapan pajak ini dianggap langkah kontraproduktif.

Dilema ini berlaku di semua tempat, termasuk Indonesia. Beberapa waktu lalu, sempat terbit Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Namun, PMK ini segera ditarik setelah muncul polemik dan dianggap sebagai kebijakan tak populer yang meredupkan potensi sektor digital di Indonesia.

Terkait potensi pajak perusahaan raksasa digital, pemerintah Indonesia sudah bergerak maju dengan memaksa mereka untuk memiliki badan hukum di Indonesia sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Badan Usaha Tetap. Melalui aturan ini, semua unit usaha asing yang beroperasi di Indonesia harus tunduk pada aturan hukum Indonesia, termasuk di bidang perpajakan, yang ditunjukkan dengan kepemilikan nomor pokok wajib pajak (NPWP). Meski demikian, kebijakan ini masih merujuk pada aturan perpajakan konvensional. Padahal, model bisnis perusahaan digital tak lagi mengenal jurisdiksi fisik karena operasinya lintas negara.

Masalah ini lah yang dibahas dalam forum G-20 untuk ditindaklanjuti. Kesepakatan tersebut berbasis pada proposal yang sudah lama disiapkan lama oleh kelompok negara maju (OECD). Prinsipnya, mengembangkan kerangka inklusif dari Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) atau aturan perpajakan lintas negara yang memungkinkan entitas usaha menghindari beban pajak tinggi dengan cara mencari suaka pajak.

Bagi masyarakat Eropa, praktik ini merisaukan, karena banyak raksasa digital yang meraup keuntungan dari negara besar seperti Perancis dan Inggris, namun melaporkan pembukuan pajaknya di negara surga pajak seperti Irlandia dan Luksemberg. Maka, prinsip jurisdiksi fisik dianggap tak relevan lagi.

Ada dua pilar yang diajukan di pertemuan G-20. Pertama, penerapan tarif pajak minimal secara global, sehingga tak ada lagi negara suaka pajak. Kedua, pembagian hak pengenaan pajak bagi perusahaan yang tak memiliki kehadiran fisik.

Jika rezim pajak internasional ini diterapkan, kita termasuk yang diuntungkan. Sebagai negara dengan 260 juta penduduk, tentu saja transaksi barang/jasa berbasis digital sangat besar. Apalagi, jika mempertimbangkan penggunaan data sebagai motor penggerak utama bisnis digital. Jika pajak berbasis aktivitas ini bisa diterapkan, maka kehadiran fisik tak terlalu menjadi masalah.

Jalan masih terjal untuk sampai pada kebijakan teknis, namun prinsip dasarnya sudah disepakati. Soal pajak ini, Adam Smith pernah mengingatkan, tanggung jawab sosial perusahaan yang pertama dan utama adalah membayar pajak.

Sebab, pajak adalah satu-satunya kepastian dari begitu banyak ketidakpastian. Tak terkecuali dengan bisnis berbasis digital; pajak (yang adil) adalah keniscayaan.
A Prasetyantoko