Peter Carey, 2013
Euforia perjalanan via jalan tol lintas Jawa dan Sumatera baru selesai mengiringi arus balik mudik Lebaran. Euforia itu menghadirkan kembali ingatan kita ke awal dua abad lalu ketika Gubernur Jenderal Belanda Marshal Herman Willem Daendels membuat proyek jalan pos.
Meskipun Daendles asli Belanda, ia datang di Jawa membawa aspirasi Pemerintah Perancis di bawah Napoleon Bonaparte; saat itu Belanda di bawah kekuasaan Perancis.
Daendels, mantan komandan perang Perancis dengan pangkat Letnan Jenderal, satu-satunya orang Belanda peringkat tertinggi di angkatan bersenjata Perancis. Dalam posisi seperti itu, ia datang di Jawa berinspirasikan tiga spirit utama: Revolusi Perancis dengan nasionalisme dan sekularisme keras; kebijakan Napoleon berupa modernisasi dengan tangan besi; dan penataan birokrasi modern dengan menundukkan feodalisme sebagaimana terjadi pada Revolusi Perancis.
Misi utama Daendels, di samping mempertahankan Jawa dari serangan Inggris, tak kalah tinggi: mengambil alih seluruh tanggung jawab VOC yang bangkrut dengan seluruh utang-utangnya serta tradisi korupsinya; membantu mengembalikan ekonomi Belanda yang karut-marut oleh perang; serta modernisasi pemerintah penjajahan Belanda di Jawa dengan menundukkan (saat itu relatif independen dari sentuhan VOC) para raja di Jawa.
Jadi, proyek Postweg Anyer di ujung barat Jawa hingga Panarukan di ujung timur Jawa sepanjang 1.000 km itu sebagian ahli menyebutnya sebagai jalan tol hanya salah satu proyek mercusuar Daendels mencapai tiga target tersebut.
Tidak mudah
Dengan rencana itu sesungguhnya di samping menyatukan secara fisik, Daendels sedang menyatukan sistem pemerintahan Jawa dengan pemerintahan modern ala Perancis yang saat itu masih di bawah kekuasaan berbagai kerajaan atau keraton yang berbeda-beda.
Namun, Daendels gagal mengoperasikan mesin pemerintahan modern bentukannya yang tanpa penyesuaian dengan tradisi Jawa, hubungan antara keraton/pejabat daerah dan masyarakat yang amat kuat. Kemudian Daendels justru menggunakan mesin tradisional untuk target yang tinggi itu.
Kebutuhan akan komoditas ekspor ke Eropa, seperti kopi, lada, dan gula mendorong Daendels memaksa rakyat menanam komoditas ekspor. Rakyat juga masih diwajibkan membayar pajak penghasilan di samping pajak tanah. Untuk mengontrol keberhasilan proyek itu, Daendels membatasi kekuasaan dan relasi raja dengan rakyat, tetapi dengan mengoperasikan para pejabat daerah sebagai penagih target komoditas ekspor dan pajak serta mengawasi perilaku rakyat.
Untuk menambah pemasukan, Daendels menyewakan tanah kepada orang-orang asing, khususnya Eropa dan Tionghoa. Untuk mengerjakan proyek raksasa seperti jalan tol, Daendels memberlakukan kerja paksa.
Dengan itu sesungguhnya tak ada modernisasi apa pun dari Daendels atas masyarakat Jawa kecuali wujud fisik, seperti jalan raya; rakyat justru menderita. Sementara itu, petani di desa dipaksa menanam jenis tanaman tertentu dan wajib bayar pa- jak di bawah kontrol para pejabat lokal yang sering tak semena-mena, sedangkan para pekerja atau buruh dipaksa kerja paksa.
Revitalisasi mudik
Harus diakui, baru setelah dua abad lebih rencana Daendels, jalan tol lintas Jawa jadi kenyataan di bawah Presiden Jokowi—juga jalan tol lintas Sumatera, Kalimantan, dan lainnya nanti. Tanyaan yang menyeruak kini, siapa yang diuntungkan dengan jalan tol itu? Bagi Daendels, pembangunan Postweg hanyalah bagian dari target-target kemakmuran rakyat Belanda, maka dengan segala cara difungsikan sebagai peningkatan ekonomi negaranya meski mengorbankan rakyat Jawa sendiri.
Tantangan saat ini jelas berbeda. Para pedagang kecil dan menengah di pinggir jalan reguler menjerit karena nyaris seluruh pembelinya pindah ke jalan tol. Karena itu, harus dipikirkan, jangan sampai fungsi jalan tol hanya dinikmati mereka pemilik mobil atau orang kaya yang berpelesiran, sedangkan masyarakat luas dirugikan.
Jalan tol harus berimplikasi langsung kepada kemakmuran rakyat sekitar, apakah petani atau buruh. Jalan tol, karena itu, harus ditempatkan dalam konteks pembangunan yang lebih luas.
Di samping pembangunan Postweg, Daendels juga telah memaksimalkan posisi desa, tempat sebagian besar penduduk berada, sebagai pusat produksi rakyat dan pemasukan negara dengan mendorong komoditas ekspor. Fungsi jalan raya terutama untuk mengangkut produk-produk tersebut. Dengan UU No 6/2014 tentang Desa kini posisi desa jauh lebih strategis. Namun, tidak seperti era Daendels dengan cara pemaksaan dan penindasan, kini motivasi kewirausahaan dengan penghargaan terhadap kreasi dan produksi masyarakat desa harus lebih nyata.
Salah satu cara menggairahkan kompetisi dan kreasi desa adalah ketika kreasi dan produksi mereka dihargai lebih-lebih jika dengan harga ekspor. Untuk itu, revitalisasi "mudik" mungkin salah satu cara strategis. Mudik selama ini hanya diartikan sebagai sesuatu yang musiman dan spontan pada hari-hari libur, seperti Idul Fitri dan Natal atau libur panjang lainnya. Mudik kini mungkin harus direvitalisasi sebagai suatu yang terencana, sistemik, dan berkelanjutan.
Pemudikan bahkan mungkin bisa diberi arti sebagai lawan kata urbanisasi dan bukan ruralisasi. Ruralisasi sering diartikan sebagai suatu perpindahan dari kota ke desa ketika kota sudah benar-benar penuh sehingga ruralisasi sebagai tindakan yang terpaksa tanpa rencana dan bersifat reaktif. Sementara pemudikan harus diberi arti bukan kembali ke desa hanya secara fisik dan spontan, melainkan suatu pola kolaborasi modal, investasi, dan kemampuan secara produktif dan kreatif antara mereka yang telanjur pindah ke kota atau bahkan orang kota dengan desa.
Dengan demikian, mengacu pada era digital, desa tak lagi terbatas pada produksi yang bersifat agraris, melainkan juga modern dan digital. Berulah jalan tol memiliki konteks pembangunan yang luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar