Kedua, hal itu juga sekaligus membuktikan bahwa MK sebagai lembaga penegak konstitusi dan pelindung hak asasi warga negara berdasarkan UUD masih tetap medapatkan kepercayaan. Dengan komposisi hakim MK yang berasal dari kelembagaan Mahkamah Agung tiga orang, kelembagaan DPR tiga orang, dan kelembagaan presiden tiga orang, tidak mudah untuk mengatakan hakim MK kehilangan independensinya. Meski dalam sejarah perjalanan MK ada dua hakim MK yang terkena kasus korupsi, tak sedikit pula putusan MK yang dinilai konsisten dan tetap berpihak pada keadilan.
Harus kita akui, penyelenggaraan pemilu serentak 2019 ini adalah pemilu yang paling bising dan melelahkan. Mulai dari perkembangan teknologi informasi yang berdampak pada mudahnya menggerakkan dan menyulut emosi massa, hingga penggunaan narasi-narasi identitas agama yang semakin menguat sejak 2015 dan memiliki daya gerak massa yang begitu besar dan irasional.
Dalam hitungan detik informasi dapat tersebar hampir di seluruh penjuru negeri, dan dalam hitungan menit dapat memunculkan respons dari berbagai pihak penerima. Pergerakan massa yang mulai tak rasional ini mencapai klimaksnya beberapa saat setelah pencoblosan, yaitu penolakan atas hasil hitung cepat yang dinilai direkayasa pihak tertentu.
Gerakan ini kemudian menjalar menjadi sikap tak percaya terhadap lembaga penyelenggara pemilu dan lembaga negara lain, dengan narasi menolak hasil pemilu yang dinilai penuh kecurangan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif, melibatkan aktor negara. Dalam kondisi seperti itu, jalan konstitusional apa pun yang ditempuh tidak akan pernah berhasil sehingga satu-satunya jalan adalah ajakan people power, kedaulatan rakyat, atau frasa apa pun dengan maksud sama.
Mengakhiri polemik
Meninggalnya lebih dari 500 petugas pemilu, bentrokan antara massa dan aparat pada 22 Mei lalu yang juga menyisakan korban jiwa, adalah catatan tersendiri bagi perjalanan politik dan pergulatan demokrasi di Indonesia. Tentu harus ada sikap dan tindak lanjut atas peristiwa itu, baik dalam bentuk perbaikan sistem, perubahan regulasi, termasuk pengadilan hukum. Namun, yang jauh lebih penting adalah mengakhiri polemik pasca-pemilu yang membelah bangsa Indonesia menjadi 01, 02, dan negara. Padahal, ketiganya adalah satu kesatuan sebagai syarat berdirinya negara Indonesia.
Peluang untuk mengakhiri polemik berdarah ini telah terbuka lebar dengan diajukannya permohonan ke MK. Agar putusan MK menjadi putusan bersama semua pihak, ada tiga syarat yang menjadi tanggung jawab kita semua. Pertama, kontestan pemilu, termasuk para pendukungnya, harus menerima apa pun putusan MK dengan lapang dada. Bukankah pemilu hanya agenda lima tahunan yang sama sekali tak sepadan jika ditukar dengan darah warga negara Indonesia?
Kedua, negara memberikan akses sebesar-besarnya kepada para pihak yang terlibat sengketa di MK, termasuk tak melakukan tindakan apa pun yang dapat memengaruhi independensi hakim MK.
Ketiga, hakim dan kelembagaan MK membuka akses sebesar-besarnya agar semua orang dapat menyaksikan semua proses persidangan. Putusan yang dikeluarkan kelak juga putusan yang mengandung keadilan substantif, yang membongkar semua proses penyelenggaraan pemilu yang dituding memengaruhi hasil pemilu, baik karena kesalahan maupun kecurangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar