Hari Rabu (5/6/2019) lalu, pas hari Lebaran, saya mendapat kiriman video pendek berdurasi dua menit tiga detik dari Duta Besar RI untuk Takhta Suci Vatikan Agus Sriyono. Video itu menayangkan paduan suara spontan yang mendadak terbentuk di KBRI Vatikan. Paduan suara itu terdiri dari para suster (biarawati), pastor, awam, duta besar dan istri. Bahkan, ada dua perempuan Muslim berkerudung di tengah para pastor dan biarawati itu. Ini menegaskan bahwa musik adalah bahasa universal, yang merupakan simbol dari kehidupan.
Lagu itu, yang dinyanyikan dengan iringan drum, biola, gitar, saksofon, juga flute dan sungguh enak didengar serta sangat tepat dilatunkan pada saat ini, adalah lagu "Lebaran (Selamat Hari Lebaran)". Demikianlah potongan lagu yang mereka nyanyikan dengan penuh semangat itu:
Selamat hari lebaran,
Minal 'aidin wal-Faizin,
Mari bersalam-salaman,
Saling memaaf-maafkan,
Ikhlaskanlah dirimu,
Sucikanlah hatimu,
Sebulan berpuasa,
Jalankan perintah agama…
….
Lagu itu sederhana dan sangat akrab di telinga kita. Namun, dalam kesederhanaan lagu yang disebut sebagai karya M Jusuf pimpinan Orkes Widjaja Kusuma dan pertama kali dinyanyikan oleh Oslan Husein pada tahun 1960-an (ada yang menulis 1959), tersimpan pesan yang sangat mendalam. Pesan kemanusiaan, pesan persahabatan, pesan persaudaraan, bahkan pesan agama. Sebuah lagu syukur, bersyukur kepada Tuhan, "Mari mengucapkan syukur, Kehadirat Ilahi…"
Memang, Idul Fitri, dalam perspektif religiositas, menawarkan sebuah makna nilai kemanusiaan yang sejati. Bukankah agama menawarkan kecerdasan emosi agar manusia mewujudkan dalam kenyataan fitrah dirinya, di situ ada budi pekerti mulia yang menjadi dasar dari kesalehan sosial. Itu sebabnya, sikap batin penuh rasa kemanusiaan sudah seharusnya mewarnai suasana hari raya Idul Fitri.
Bahkan, Azyumardi Azra menulis, ibadah puasa yang ditunaikan kaum mukmin dan Muslim, seperti selalu diulang-ulang para guru Sufi, merupakan riyadhah jismaniyah wa ruhaniyah, latihan fisik dan spiritual ke arah penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs), yang pada gilirannya akan dan dapat mengembangkan unsur-unsurlahut (ketuhanan) dalam diri manusia. Jika hal itu bisa dicapai, manusia bukan hanya akan dapat membuka "tabir" (hijab) yang membatasi dirinya dengan Tuhan, tetapi sekaligus dapat memiliki ma'rifah (pengetahuan) yang memungkinkannya untuk lebih arif dalam memandang diri, masyarakat, dan lingkungan alamnya. Inilah kemanusiaan yang fitri (Kompas,Sabtu, 23/12/2000).
Tidak berlebihan kalau Lebaran (lebarartinya rampung, selesai. Selesai dari menguji diri kejujuran diri, kemampuan untuk menahan diri), Idul Fitri disebut sebagai hari istimewa. Sebab, pada hari itu tidak ada seorang pun merasa benar. Semua mengaku salah; dan yang lebih penting lagi berani mengakui kesalahan, meminta maaf. "Maafkanlah kesalahan saya, baik sengaja maupun tidak sengaja…"; "Mohon maaf lahir batin…".
Semua mengaku salah; dan yang lebih penting lagi berani mengakui kesalahan, meminta maaf.
Betapa damainya negeri ini kalau orang dengan tulus ikhlas mengakui kesalahannya dan meminta maaf dalam kehidupan sehari-hari. Yang kemarin dulu mencerca, menghina, memfitnah, mengadu domba, menyebarkan kabar bohong, dan juga mengumbar ujaran kebencian, dengan tulus ikhlas muncul dari relung hati paling dalam dan kesadaran penuh mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Bukankah, ajining diri soko lathi, harga diri seseorang ditentukan oleh tutur katanya (lathi = lidah).
Itulah, sebenarnya, roh dari Idul Fitri, yang semestinya bisa menjadi marwah dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah, di lingkungan pergaulan, lingkungan pekerjaan, bahkan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Apabila tidak demikian, benar yang diandaikan oleh Thomas Hobbes (1588-1679) filsuf asal Inggris bahwa manusia adalah makhluk yang kelakuannya semata-mata ditentukan oleh nafsu dan emosinya, bukan oleh akal budinya.
Padahal, Abd A'la menulis, dalam tataran nilai, agama sejak awal mengajarkan kebaikan dan moralitas luhur dan pada saat yang sama melarang segala perilaku jahat. Dalam Islam disebutkan, kehadirannya adalah rahmat bagi sekalian alam, dan dalam ajaran Kristiani ditegaskan Yesus turun ke dunia yang menyebarkan kasih (Kompas, 22/12/2000).
Akan tetapi, kita semua menyaksikan, dalam kehidupan nyata sehari-hari ternyata begitu banyak pernik-pernik yang tidak hanya membutakan mata, tetapi bahkan membutakan mata hati. Kebenaran semu menjadi acuan. Apalagi di zaman informasi dan teknologi canggih ini. Informasi telah menjadi komoditas yang dapat diatur menurut selera kekuasaan: kekuasaan ekonomi, kekuasaan politik, kekuasaan citra, bahkan kekuasaan palsu.
Baca juga: Thamrin Suatu Malam
Pembenaran demi pembenaran—yang sebenarnya dipaksakan—akhirnya diterima, bahkan menjadi semacam budaya. Itu berarti yang ada adalah kebenaran palsu. Hal itu tidak hanya terjadi di dunia politik praktis yang sangat terang-terangan, tetapi juga dalam setiap sisi kehidupan manusia. Di dalam kehidupan keseharian, tidak jarang yang berlaku adalah interpretasi orang per orang yang didasari oleh pemahaman siapa kuat, siapa nekat, siapa cerdik, siapa culas, siapa licik, dan juga siapa punya kekuatan.
Seperti contoh klasik dari Yunani. Orang-orang ini mirip kuda Troya yang berhasil menyusup ke dalam kota musuh. Dari luar, yang terlihat adalah sebuah patung kuda sangat besar, menarik, dan tidak berbahaya. Penduduk kota menemukan kuda ini di luar pintu gerbang kota lalu membawanya masuk tanpa mengetahui bahwa di dalam patung itu bersembunyi pasukan musuh yang bersenjata lengkap. Demikianlah kota Troya akhirnya jatuh ke tangan musuh.
Akan tetapi, mendengarkan lagu "Selamat Hari Lebaran" yang dinyanyikan para suster dan para pastor serta awam di Vatikan, kembali mengingatkan bahwa Idul Fitri menjadi asal dan orientasi kehidupan manusia ke hadirat Tuhan. Idul Fitri menjadi makna simbolik kehadiran Tuhan di tengah manusia dalam awal kehidupan baru, yang fitri, yang murni. Bukankah manusia diciptakan dalam keadaan suci? Karena itu, manusia dalam kehidupannya selalu merindukan apa yang baik, apa yang suci, apa yang benar; kebenaran yang sesungguhnya bukan kebenaran semu, bukan kebenaran palsu, atau merasa paling benar sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar