Jangan Lagi Ditunggangi
Sungguh prihatin mengikuti pemberitaan yang menyebutkan kerusuhan 22 Mei telah menimbulkan korban jiwa. Sangat disayangkan, di antara korban terdapat anak usia belasan tahun yang seharusnya berada di sekolah.
Betapa teganya mengerahkan anak berusia belasan untuk ikut dalam kerusuhan. Menyedihkan sekaligus memuakkan! Saya mohon pihak berwenang mengusut tuntas para provokator kerusuhan dengan slogan kosong people power.
Memang Kapolri sudah menyebutkan bahwa mayoritas korban jiwa dalam kerusuhan itu bukan dari pengunjuk rasa, melainkan para perusuh yang ditunggangi kaum radikalis. Mereka jelas sengaja membuat kerusuhan, terbukti mereka membawa batu dan bom molotov sehingga ada aparat keamanan yang terluka.
Mereka, seperti juga kaum radikalis, menyasar asrama Brimob dan membakar mobil. Menurut harian Irish dari Irlandia, kerusuhan tersebut mencederai demokrasi Indonesia yang dikenal dunia berkarakter baik. Itu bukan people power, melainkan bandits power. Apalagi ada anak usia sekolah yang menjadi korban.
Karena itu, kami sungguh berharap Polri dan jajarannya sukses mengungkap biang provokator kerusuhan 22 Mei 2019 secara tuntas. Tak ada WNI yang kebal hukum, siapa pun seret saja ke pengadilan supaya kejadian ini tidak terulang lagi pada masa depan dan demokrasi di Indonesia semakin matang demi NKRI dan Pancasila.
Suyadi Prawirosentono
Selakopi, Pasir Mulya, Bogor
Politik Cerdas AHY
Lupakan koalisi 02 Prabowo-Sandi. Lupakan sengketa Pilpres 2019 yang kini sedang berproses di Mahkamah Konstitusi!
Menjelang dan saat Idul Fitri 5-6 Juni 2019, ada peristiwa politik yang perlu dikomentari: silaturahmi politik yang dilakukan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) terhadap tokoh-tokoh senior, mulai dari Presiden Joko Widodo, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, dan mantan Presiden BJ Habibie, serta mantan Ibu Negara Sinta Nuriyah Wahid.
Langkah politik AHY ini mengingatkan kita pada permainan catur juara dunia genius dari Amerika Serikat, Bobby Fischer, yang begitu elegan dan indah menggerakkan bidak-bidak caturnya melawan pecatur Uni Soviet, Boris Spassky.
Dengan atau tanpa Partai Demokrat, Pangeran Cikeas ini akan diperhitungkan dalam peta percaturan politik Indonesia tahun 2024. Dengan bekal pendidikan yang cukup bahkan memadai dan ditunjang oleh usia masih muda (40 tahun) serta kesantunan serta tutur katanya yang baik, tanpa mengesampingkan calon presiden yang lain, AHY merupakan salah satu kandidat presiden yang sangat potensial dilirik partai-partai yang mendukung ataupun mengusungnya.
Sayang, pengalaman memimpin pada skala nasional masih minim. Oleh karena itu, langkah politik AHY itu sangat tepat dan harus dibaca sebagai usaha awal untuk masuk ke orbit percaturan politik Indonesia lima tahun ke depan. Syukur-syukur apabila Presiden Joko Widodo yang dalam pemilu terpilih untuk kedua kalinya memberikan kesempatan kepada AHY "magang" menjadi pemimpin skala nasional. Entah menjadi menteri atau kepala lembaga nonkementerian sehingga AHY mempunyai pengalaman memimpin sekaligus diuji kepemimpinannya dalam kementerian atau lembaga tersebut.
Ingat bahwa ayahnya, SBY, sebelum menjadi presiden selama dua periode, pernah menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral serta Menko Polhukam.
Sudah saatnya pada tahun 2024, bangsa ini dipimpin kaum milenial yang cerdas, berwawasan luas ke depan, santun, dan memperjuangkan kepentingan seluruh warga bangsa tanpa membedakan satu dengan yang lain. Tampaknya kriteria itu semua ada pada AHY.
Pramono Dwi Susetyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar