"Cuma patung kecil di pojokan gitu ajarame banget, ya." Itu komentar seorang sahabat lewat pesan singkatnya di telepon genggam.
Patung kecil, berwujud bocah laki-laki kencing yang dulu dikenal dengan nama Petit Julien, atau 'Little Julien' (Julian Kecil), memang kecil. Julian Kecil setinggi 63 sentimeter terbuat dari perunggu itu kini diberi nama Manneken Pis, Bocah Pipis.
Ada banyak cerita mengapa si "bocah" itu "pipis" di pojokan Rue de l'Étuve dan Rue du Chêne yang adalah daerah wisatawan. Yang pasti, orang selalu mengatakan, kalau ke Brussels tetapi tidak ke patung "bocah pipis", itu belumlah "sah".
Menurut sebuah kisah, dulu ada bocah kecil yang terpisah dari kedua orangtuanya ketika menonton festival di kawasan itu. Setelah dicari-cari, si bocah ditemukan di pojokan jalan sedang pipis. Ayah bocah itu seorang pedagang kaya. Lalu, ia memutuskan untuk menempatkan patung anaknya di pojokan jalan itu.
Cerita lain mengisahkan, si bocah itu adalah Duke Godfrey III muda dari Leuven. Ia lari keluar dari puri ayahnya karena ingin main dengan anak-anak rakyat jelata di Brussels. Dan, di tempat itulah dia ditemukan.
Karena itu, ada yang mengatakan patung bocah pipis itu—yang asli dibuat oleh Hiëronymus Duquesnoy, tetapi dihancurkan pada tahun 1817, lalu dibuat lagi tahun 1965—dianggap sebagai simbol kenakalan (pipis sembarang tempat). Tetapi, juga ada yang menyebut sebagai simbol kebebasan.
"Saya dengar, Indonesia sekarang sangat bebas, ya," kata Ma, seperti meminta konfirmasi.
Ma adalah seorang pengusaha dari Tibet yang sedang ada urusan bisnis di Brussels. Kami bersua di sebuah rumah makan tak jauh dari patung Manneken Pis. Di tempat itulah kami berkenalan. Dalam tempo singkat sudah berbincang tentang banyak hal, ya soal kebebasan, nasionalisme, ataupun agama.
Kami terlibat dalam obrolan yang sangat akrab, bagai kawan lama yang sekian waktu tak berjumpa. "Agama itu urusan hati," kata Ma. Karena itu, sulit disingkirkan sekalipun China yang menguasai Tibet sangat membatasinya dalam upaya untuk melemahkan identitas dan kekuatan Tibet.
"Buddhisme ada di dalam hati," kata Ma sambil menunjuk ke arah dirinya. Sementara yang ada di luar ada di bawah kekuasaan China. "Jangan bertanya bagaimana kondisinya. Jangan bertanya pula derita macam apa yang disandang rakyat Tibet," kata Ma lagi.
Sang Buddha, menurut Ma, pernah mengatakan, "Ini adalah penderitaan sejati; inilah penyebab sebenarnya; ini adalah penghentian sejati; ini adalah jalan yang benar. Ketahui penderitaannya meskipun tidak ada yang tahu; melepaskan penyebab kesengsaraan meskipun tidak ada yang bisa dilepaskan; bersungguh-sungguh dalam penghentian meskipun tidak ada yang berhenti; berlatihlah cara berhenti meskipun tidak ada yang bisa dilakukan."
Kebebasan beragama di banyak negara, di banyak tempat, memang masih menjadi masalah. Kerukunan, toleransi, saling menghomati, lebih mudah diucapkan ketimbang dilaksanakan.
Padahal, kebebasan beragama sangat penting untuk mencapai perdamaian dan stabilitas di negara-negara dan di antara bangsa-bangsa. Jika kebebasan beragama dilindungi, kebebasan lain—seperti kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul dengan damai—juga berkembang.
Perlindungan untuk kebebasan memeluk agama berkontribusi langsung pada kebebasan politik, pembangunan ekonomi, dan supremasi hukum. Itu karena kebebasan beragama adalah hak asasi manusia. Setiap orang di mana pun berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan agama.
Negara mempunyai kewajiban memenuhi hak warga negaranya atas beragama/keyakinan. Itu berarti negara harus berupaya sekuat tenaga untuk menjamin terwujudnya kebebasan itu.
Kewajiban negara tersebut termasuk untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak atas kebebasan beragama dan kepercayaan. Kewajiban negara melindungi dan memenuhi hak atas kebebasan beragama dan kepercayaan mengandung pengertian negara tidak mempunyai wewenang mencampuri urusan agama dan kepercayaan setiap warga negaranya.
Sebaliknya, negara harus memberikan perlindungan terhadap setiap warga negaranya untuk melaksanakan ibadah keagamaan/kepercayaan tanpa dibatasi dalam kondisi apa pun, bahkan ketika negara dalam keadaan darurat.
Dalam hal ini, kebebasan beragama harus dipahami sebagai kebebasan untuk memeluk agama, apa pun agamanya. Kebebasan yang demikian adalah kebebasan yang berpijak pada sikap manusia untuk menentukan secara bebas tanpa diintervensi oleh kekuatan apa pun, termasuk negara.
Ada yang mengatakan, kebebasan semacam itu hanya terjadi di negara sekuler. Yang berarti, tidak di Indonesia. Sebab, di Indonesia kebebasan itu dimaknai sebagai bebas untuk memilih dan memeluk agama/keyakinan tertentu.
Itu berarti negara harus menjalankan perlindungan secara hukum, tidak diskriminatif, utamanya dalam hal melindungi kelompok agama yang sering ditindas dan dimarjinalisasi karena minoritasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar