HANDINING

Anastasia Joice Tauris Santi, wartawan Kompas

Pendidikan diyakini sebagai salah satu eskalator sosial ekonomi. Semakin tinggi pendidikan seseorang, diharapkan semakin mudah dia mendapatkan atau membuka lapangan pekerjaan karena jejaring yang diperolehnya di bangku sekolah.

Kondisi sosial ekonomi keluarga pun diharapkan membaik karena ada anak yang berpendidikan tinggi dan berpenghasilan baik.

Pada beberapa dekade lalu, hanya ada dua jenis sekolah umum, yakni sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah dan sekolah yang diselenggarakan swasta. Kurikulumnya tidak jauh berbeda, yang berbeda biayanya.

Seiring perkembangan, kini tersedia beberapa jenis status sekolah sesuai dengan kurikulum yang digunakan. Ada sekolah yang hanya menggunakan kurikulum dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

KOMPAS/NIKSON SINAGA

Para peneliti dari SMA Unggul Del beraktivitas di laboratorium sekolahnya di Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, Kamis (8/2/2018). Penelitian mereka tentang fermentasi biji kedelai pada gravitasi mendekati nol di Stasiun Luar Angkasa Internasional. Para siswa itu ingin mengangkat tempe sebagai makanan masa depan di luar angkasa.

Ada juga sekolah yang menggabungkan kurikulum Kemendikbud dengan kurikulum lain, seperti Cambridge International Examination (CIE) atau International Baccalaureate Organization (IBO). Sekolah seperti ini dulu menyematkan label internasional pada nama sekolahnya.

Kurikulumnya tidak jauh berbeda, yang berbeda biayanya.

Namun, dengan keluarnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 31 Tahun 2014, sekolah yang menggunakan dua kurikulum sekarang disebut sebagai satuan pendidikan kerja sama (SPK).

Sebutan sekolah internasional kini hanya untuk sekolah yang diselenggarakan oleh Korps Diplomatik. Diperuntukkan untuk warga negara asing dan tidak boleh menerima siswa warga negara Indonesia.

KOMPAS/ AGUS SUSANTO

Murid kelas 1 SD Negeri 01 Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (10/1/2013), mengikuti pelajaran komputer. Pengenalan komputer sejak dini kepada anak-anak sudah diberlakukan di beberapa sekolah.

Sekolah dengan status SPK wajib menyelenggarakan ujian nasional, seperti halnya sekolah yang menggunakan kurikulum Kemendikbud. Pelajaran Pendidikan Kebangsaan, Bahasa Indonesia, dan Agama merupakan pelajaran wajib di sekolah SPK.

Perbedaan kurikulum tersebut membawa banyak konsekuensi, antara lain penggunaan bahasa asing. Porsi penggunaan bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya lebih banyak di sekolah SPK ketimbang di sekolah berkurikulum Kemendikbud. Sekolah SPK pun memiliki guru asing yang tidak ditemukan di sekolah berkurikulum Kemendikbud.

Dari sisi finansial, sekolah SPK pada umumnya lebih mahal. Uang masuk dan uang bulanan sekolah hampir pasti lebih mahal dari sekolah berkurikulum Kemendiknas. Uang bulanannya bahkan lebih mahal dari upah minimum provinsi DKI Jakarta yang sebesar Rp 3,9 juta.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Siswa sekolah menyimak presentasi mengenai kinerja robot hidrolis dalam Indonesia Science Expo 2018 di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD, Tangerang, Banten, Sabtu (3/11/2018). Pameran tersebut menghadirkan beragam stan yang menyuguhkan hasil temuan penelitian dan ilmuwan dalam lomba karya ilmiah dan proyek teknologi di tingkat nasional dan internasional.

Aspek sosial

Iming-iming anak bisa cas-cis-cusberbahasa asing, diajar oleh guru ekspatriat, dan terlihat keren, bisa jadi membuat orangtua memaksakan anaknya masuk ke sekolah SPK.

Ternyata, masuk ke sekolah seperti itu tidak hanya membawa konsekuensi pada sisi finansial, tetapi juga sosial. Apakah orangtua siap dengan konsekuensi

Mengambil contoh yang sangat ekstrem, anak sekolah menengah pertama yang hanya memakai laptop tua lungsuran orangtuanya boleh jadi akan minder melihat temannya di sekolah menggunakan laptop Apple seri terbaru, padahal hanya untuk membuat presentasi.

Beberapa sekolah sampai melarang perayaan ulang tahun di sekolah karena melihat ada kecenderungan persaingan orangtua.

Contoh lain, ketika anak-anak kelas tiga sekolah dasar bercerita tentang serunya liburan akhir semester ke Disneyland Tokyo, sementara anak kita "hanya" diajak berlibur ke Keraton? Ada lho, anak yang ditolak main bersama oleh temannya karena dia belum pernah ke Disneyland.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Bermain layang-layang menjadi aktivitas sebagian anak-anak untuk mengisi musim liburan sekolah, seperti yang ditemui di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Jumat (23/6/2017). Layang-layang menjadi salah satu mainan tradisional yang hingga kini masih bertahan di tengah kemajuan zaman.

Belum lagi masalah ulang tahun. Anak-anak TK dan SD senang sekali merayakan ulang tahunnya. Tidak jarang orangtua jorjoran dalam memberikan isi bingkisan (goodie bag) ulang tahun kepada kawan-kawan anaknya. Beberapa sekolah sampai melarang perayaan ulang tahun di sekolah karena melihat ada kecenderungan persaingan orangtua.

Aspek sosial ini butuh perhatian. Mempersiapkan mental anak dengan sebaik-baiknya agar tidak gagap dengan pergaulan sosial di sekolah juga merupakan bagian penting. Bukan sekadar mempersiapkan biaya sekolahnya saja. Sudah siap?


Kompas, 22 Juni 2019