Di kalangan editor naskah atau redaktur bahasa di media massa dikenal istilah gaya selingkung, yakni konsensus bahasa yang eksklusif diterapkan di media masing-masing. Kesepakatan ini meliputi senarai diksi; pola standar sintaksis; bentukan kata serapan; penulisan istilah, gelar, nama negara, juga nama orang dari berbagai bangsa, khususnya yang tak menggunakan huruf Latin; kebijakan tentang akronim, dan lain-lain. Tak bisa disangkal bahwa gaya selingkung suatu media bisa saja lain dengan yang diterapkan pada media lain.
Gaya selingkung berfaedah membangun konsistensi penggunaan bahasa dalam lingkungan internal media, tetapi mengabaikan perbedaan yang selalu terjadi di antara berbagai media yang beredar. Misalnya, pembaca bisa menemukan kata skuad di media A danskuat di media B. Berdasarkan hakikat bahasa yang arbitrer seraya mengabaikan konsensus nasional tentang sistem penulisan unsur serapan, orang tak merasa perlu berdebat tentang benar dan salah.
Mungkin banyak orang beranggapan masih jauh jalan menuju kekompakan dalam penerapan pola standar bahasa Indonesia, terutama dalam pemakaian formal berskala nasional, seperti yang diterapkan di media massa. Padahal, pengaruh media massa sangat kuat dan relatif cepat, apalagi dengan dukungan teknologi digital, mendidik publik berbahasa.
Yang disebut gaya selingkung, diakui atau tidak, berekses gengsi identitas media, yang kadang kala terasa berlebihan dan kurang sehat untuk menggapai kesepakatan leksikografis. Tak mudah bagi tim editor suatu media membatalkan kata tertentu yang sudah lama mereka terapkan, lalu mengambil kata yang digunakan media lain meski argumentasi linguistik mereka lemah, sementara media lain dengan dasar ilmiah yang kuat.
Mengubah kebiasaan manusiawi ataupun kelembagaan kerap kali merupakan perkara psikologis ketimbang nalar. Mungkin redaktur dan editor naskah di media A tak pernah tahu argumentasi media B, apalagi mengkaji ulang, misalnya, unsur serapan. Mungkin juga mereka tahu beda pilihan kata itu beserta argumentasi media B, tapi tetap mempertahankan materi gaya selingkung mereka dengan alasan yang tak selalu diungkapkan secara terbuka. Dalam kasus semacam ini, suatu media tak berhak memaksakan gaya selingkungnya atas media lain. Sembari mengesampingkan tendensi mencemooh media masing-masing yang kukuh dengan gaya selingkung yang mereka terapkan secara konsisten, kita hanya dapat memaklumi fenomena tafsir atas bahasa yang bertolak dari hakikat bahasa yang arbitrer dan konsensual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar