Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 26 Juni 2019

KOLOM: Lelaki Pemabuk di Gare du Nord (TRIAS KUNCAHYONO)

Tiba-tiba seorang lelaki berkaus putih dan bercelana jins biru menghampiri kami yang tengah berdiri di depan "Consignes", penitipan koper di Stasiun Kereta Gare du Nord, Paris, Perancis. Kami menitipkan koper di tempat itu karena akan melanjutkan perjalanan ziarah ke Lourdes.
INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, wartawan Kompas 1988-2018





Tiba-tiba seorang lelaki berkaus putih dan bercelana jins biru menghampiri kami yang tengah berdiri di depan "Consignes", penitipan koper di Stasiun Kereta Gare du Nord, Paris, Perancis. Kami menitipkan koper di tempat itu karena akan melanjutkan perjalanan ziarah ke Lourdes.

Lelaki itu tiba-tiba mengulurkan tangan dan mengucapkan sesuatu. Dari mulutnya tercium bau minuman keras. Wajahnya kusam. Matanya merah. Bau badan sangat tajam menabrak indra pencium kami.

Saat itu, saya ingat pesan beberapa teman dan juga pemilik apartemen yang kami sewa. "Hati-hati di stasiun kereta, banyak pencopet dan juga pemabuk."

Dan sekarang saya berhadapan dengan pemabuk. Ia masih tetap mengulurkan tangan ke saya dan mengucapkan sesuatu yang tidak jelas. Tetapi, saya tahu maksudnya: minta uang. Karena itu, saya biarkan saja. Sikap diam saya ternyata membuatnya marah.

Tanpa saya duga, lelaki mabuk itu membuat gerakan akan memukul. Saya mundur selangkah dan berteriak memanggil petugas penitipan koper, seorang perempuan berkulit hitam, tinggi besar. Ia segera lari ke luar dan menghardik lelaki itu; lalu dengan HT-nya memanggil petugas keamanan.

Lelaki mabuk itu pergi sambil terus ngomong tidak jelas. Benar yang dikatakan Charlie Chaplin (1889-1977), aktor dan komikus kondang asal Inggris, "Karakter sejati seorang pria muncul ketika dia mabuk."

AFP/FRANCOIS GUILLOT

Suasana di Stasiun Utara atau Gare du Nord, Paris, Perancis, 12 Juni 2019.

Mabuk-mabukan memang merusak. Mabuk apa pun pasti merusak. Mabuk kekuasaan, misalnya. Mabuk kekuasaan artinya menginginkan kekuasaan lebih dari yang semestinya; melebihi kapasitas yang seharusnya didapatkan. Karena mabuk kekuasaan, akan melakukan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan itu.

Ernest Hemingway (1899-1961), sastrawan AS peraih Hadiah Nobel Sastra (1954), pernah mengatakan, orang cerdas terkadang terpaksa menghabiskan waktu untuk mabuk karena kebodohannya. Tetapi, apakah lelaki mabuk yang menyamperi kami itu adalah orang cerdas? Rasanya, bukan. Dia pemalas… dan pemabuk tulen.

Yang terjadi sekarang bukan seperti yang dikatakan Hewingway. Orang memang mabuk, tetapi bukan karena minuman, karena kekuasaan. Mabuk kekuasaan! Ada pula mabuk agama, yang dalam batas tertentu pemahaman dan praksis keagamaan dalam kemabukan itu bisa menjadi "politik identitas" dan bisa memunculkan masalah tersendiri ketika terlibat dalam pergumulan dan kontestasi politik di ruang publik.

Akan tetapi, para pemabuk agama ini bisa pula dijadikan obyek manipulasi politik, kepentingan politik para elite yang mabuk kekuasaan. Bisa juga digunakan para pemimpin agama yang mencium enaknya aroma politik.

Mengapa orang mabuk kekuasaan demikian? Karena kekuasaan memang memesona; menjanjikan banyak hal. Apalagi, mengutip pendapat Friedrich Nietzsche (1844 – 1900), bahwa dalam diri manusia ada kehendak untuk berkuasa (the will to power).‎

Secara umum ada banyak pandangan tentang kekuasaan. Strausz-Hupe (1903-2002), diplomat dan ahli teori geopolituk, misalnya, mengartikan kekuasaan sebagai kemampuan untuk memaksakan kehendak kendati orang lain menentangnya. Adapun Harold D Lasswell (1902-1978), ilmuwan politik dan ahli komunikasi, mengartikan kekuasaan tidak lain dan tidak bukan adalah penggunaan paksaan yang kuat.

Sementara itu, Talcott Parson (1902-1979), sosiolog terkemuka, memberikan pengartian yang sedikit berbeda. Parson mengartikan kekuasaan sebagai "kepemilikan fasilitas-fasilitas untuk mengawasi". Robert Staughton Lynd (1892-1970) mengartikan kekuasaan tak jauh berbeda dengan Parson.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Warga melintas di sekitar mural yang menggambarkan tentang orang yang berebut kekuasaan di pagar tembok di Penjaringan, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Menurut Lynd, kekuasaan merupakan suatu sumber sosial yang utama untuk melakukan pengawasan. Wujudnya bisa berupa suatu paksaan atau kerja sama sukarela dalam suatu masyarakat tertentu.

Masih banyak rumusan, pengertian tentang kekuasaan. Pada akhirnya kekuasaan bisa dikatakan merupakan identitas diri yang kadang-kadang dipoles, dipercantik, bahkan diperkuat dengan etnis, agama, ras, suku, dan simbol-simbol lain.

Dan, di lingkaran terakhir, kekuasaan dibingkai dengan tindakan politik untuk menguasai orang lain. Kata kunci kekuasaan dan politik adalah hegemoni terhadap orang lain; menaklukkan pihak lain, orang lain.

Pada ujungnya, orang yang mabuk kekuasaan akan menggunakan segala usaha dan cara, menghalalkan segala cara (meminjam istilah Machiavelli) untuk mendapatkan, merebut, dan mempertahankan kekuasaan.

Itulah yang terjadi sekarang di zaman yang barangkali oleh pujangga besar Ranggawarsita digambarkan sebagai "Zaman Edan". Yang ditulisnya demikian:

Amenangi zaman edan (Mengalami zaman edan/gila)
Ewuh aya ing pambudi (Serba sulit menentukan perilaku)
Melu edan nora tahan (Mau ikutan berbuat gila tak sampai hati)
Yen tan melu anglakoni (Kalau tak ikutan)
Boya keduman milik. (Tidak kebagian rezeki)
Kaliren wekasanipun (Jadinya kelaparan)
Dilalah karsa Allah (Sudah menjadi kehendak Tuhan)
Begja-begajne kang lali, luwih begja kang eling lan waspada (Seberapa pun untung yang didapat orang yang lagi lupa, masih lebih bahagia orang yang sadar dan waspada).

Mungkin, lelaki mabuk di Gare du Nord itu terbawa arus "Zaman Edan" seperti orang-orang di negeri ini yang mabuk atau pura-pura mabuk demi sebuah tujuan.***

Kompas, 26 Juni 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger