Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 24 Juni 2019

Zonasi dan Setan Gundul//Narapidana Keluar Masuk Lapas//Ikuti Pengadilan Korupsi Pertamina (Surat Pembaca Kompas)


Zonasi dan Setan Gundul

Penerimaan siswa—dikenal sebagai PPDB (penerimaan peserta didik baru)—kali ini sangat tidak adil dan merugikan generasi muda kita di Republik dengan sistem zonasi sebesar 90 persen yang berlaku saat ini.

Rinciannya: 55 persen zonasi murni (berdasarkan jarak rumah ke lokasi sekolah), 15 persen zonasi kombinasi (berdasarkan jarak dan nilai UN), 20 persen zonasi KETM (berdasarkan surat keterangan tidak mampu), serta 10 persen nirzonasi.

Dengan sistem zonasi seperti ini, setan gundul akan menikmati dan memperoleh tempat di suatu SMA negeri. Setan gundul adalah kiasan untuk mereka yang selama ini di sekolah suka bikin onar, malas belajar, bernilai UN rendah, dan banyak di antara mereka suka merokok di luar sekolah.

Sistem zonasi kali ini sangat tidak adil bagi anak didik yang belajar siang malam sungguh-sungguh meraih nilai UN yang baik demi mengejar cita-citanya, tetapi mubazir meskipun telah diberi jatah 15 persen pada sistem zonasi kombinasi.

Persentase pembagian zonasi ini sungguh tidak pantas dan tidak berkeadilan bagi anak didik generasi muda kita serta melenceng dari nilai-nilai Pancasila. Hasil UN diabaikan, padahal UN dibiayai negara dan didasarkan pada undang-undang.

Banyak warga masyarakat yang kecewa dengan ketidakadilan ini. Akan lebih bijak dan berkeadilan apabila Mendikbud mengambil sistem zonasi murni 5 persen dan sistem kombinasi 65 persen, sedangkan persentase lainnya tetap. Jika begini, ada keadilan sebab nilai hasil UN tidak diabaikan.

WR John Bogor, Jawa Barat

Narapidana Keluar Masuk Lapas

Dalam Kompas (20/6/2019) tersua artikel "Para Narapidana Istimewa" oleh Saifur Rohman yang menjelaskan terpenjara 15 tahun Setya Novanto bisa berjalan-jalan di pusat belanja di Bandung dengan dalih sakit. Kejadian itu mengulang ulah Gayus Tambunan, terpidana korupsi 30 tahun, pada 2010 yang bisa menonton pertandingan tenis di Bali. Terpidana korupsi Tubagus Chaeri Wardana bisa menyewa kamar hotel di Bandung. Diduga TCW berkali-kali bisa berjalan-jalan bebas.

Patut diduga bahwa banyak terpidana dapat melakukan hal serupa. Tentu saja mereka bisa keluar dari lapas secara tak gratis. Bagaimana mencegahnya?

KPK sudah mengeluarkan wacana bahwa para terpidana korupsi akan dipindahkan ke lapas di Nusakambangan, tetapi Menkumham tak setuju dengan berbagai alasan. Padahal, jika punya niat baik, apa salahnya mengubah status lapas demi terlaksananya keadilan?

Saya usul supaya Kemenkumham membuat rancangan undang-undang yang materinya "jika seorang terpidana ketahuan berada di luar lapas dengan cara melanggar undang-undang, masa hukumannya otomatis bertambah satu tahun untuk setiap hari yang dilanggar".

Petugas lapas yang tersangkut harus dipidana pula. Masalahnya, adakah kemauan politik untuk menegakkan hukum dan keadilan? Rakyat tak yakin, apalagi RUU itu harus disahkan DPR.

Suyadi Prawirosentono Selakopi, Pasir Mulya, Bogor, Jawa Barat

Ikuti Pengadilan Korupsi Pertamina

Saya terenyak membaca surat Yes Sugimo, "Korupsi Pertamina", di Kompas (18/6/2019) tentang kerugian negara sebesar Rp 568 miliar oleh kesalahan Pertamina.

Jumlah kerugian negara itu berasal dari perhitungan kualitas aktiva produktif yang ditunjuk sendiri oleh pihak jaksa. Padahal, undang-undang sudah mengatur ketentuan tentang hal ini.

Agar tidak terenyak, sebaiknya kita ikuti pengadilan selengkapnya. Kebetulan terdakwa banding. Wartawan menulis jujur dan berimbang.

Baharuddin Aritonang Benhil, Jakarta Pusat

Kompas, 24 Juni 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger