Namun, hal mengejutkan terjadi pada 1 Juli lalu saat berlangsung peringatan 22 tahun penyerahan kembali Hong Kong ke China. Sekelompok demonstran memisahkan diri dari barisan besar pengunjuk rasa damai. Mereka memaksa masuk ke gedung parlemen Hong Kong. Kaca-kaca dipecahkan, dinding-dinding ditulisi dengan berbagai slogan.

Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam menyatakan, terjadi dua aksi protes berbeda pada 1 Juli lalu. Ada demonstrasi seperti biasa yang berlangsung tertib, tetapi ada pula unjuk rasa dengan vandalisme dan kekerasan.

Beijing mendukung Lam. Menurut Pemerintah China, pendudukan selama beberapa jam dan perusakan kantor legislatif Hong Kong oleh pengunjuk rasa merupakan "tindakan ilegal serius" yang membahayakan tatanan sosial.

Ada analisis menyebutkan, kemunculan pengunjuk rasa yang melakukan vandalisme memperlihatkan telah terjadi "perpecahan" di antara kelompok prodemokrasi Hong Kong. Di luar kelompok besar yang memilih berdemonstrasi damai, ada kelompok lain yang memilih menduduki gedung parlemen. Mereka dilaporkan umumnya berusia belia.

Ada penilaian bahwa aksi itu ikut dipengaruhi kekecewaan kaum muda Hong Kong yang mendapati harga rumah dan biaya hidup naik setiap tahun dan ketersediaan lapangan kerja bagi mereka yang relatif stagnan. Rasa kecewa bertambah saat menyadari tuntutan demokratisasi semakin sulit terwujud, mengingat dominasi Beijing yang besar atas Hong Kong.

Lebih kurang dua minggu sebelumnya berlangsung demonstrasi besar menolak RUU Ekstradisi yang memungkinkan siapa pun dikirim ke China daratan jika melanggar hukum. Pembahasan RUU Ekstradisi pun ditunda hingga batas waktu yang tidak ditentukan.

Demonstrasi menolak RUU Ekstradisi dan perusakan gedung parlemen Hong Kong perlu dilihat sebagai rangkaian berurutan. Lebih mundur lagi, beberapa tahun sebelumnya, berlangsung demonstrasi besar menuntut hak penuh bagi warga untuk menentukan Pemimpin Eksekutif Hong Kong.

Semua ini bisa jadi merupakan gejala "eskalasi kegeraman", terutama di kalangan muda Hong Kong, terhadap Beijing. Dikombinasikan dengan kesulitan ekonomi yang dihadapi kaum muda, bukan tak mungkin demonstrasi lebih masif dan "melabrak" aturan akan terjadi lagi pada masa depan.