Jika Brussels menolak, Inggris akan keluar dari blok itu pada 31 Oktober, tanpa kesepakatan. Inggris juga tidak bersedia membayar biaya perceraian sebesar 39 miliar pound, jika tak terjadi kesepakatan dalam hal perdagangan bebas.
Mereka yang mengikuti sepak terjang Boris Johnson tidak akan terkejut dengan retorika seperti itu. Ada yang menyebut Johnson sebagai "Trump-nya Inggris". Tak heran jika Presiden Amerika Serikat Donald Trump gembira Johnson menjadi PM. Trump, yang hubungannya tak hangat dengan UE, menilai Theresa May terlalu lembek menghadapi Brussels.
Namun, banyak juga yang khawatir dengan terpilihnya Johnson, terutama mereka yang mengenal manuver pria ini di dunia politik. Menengok referendum Brexit tahun 2016, Johnson saat itu menjadi salah satu sosok terdepan yang mengampanyekan Brexit. Sebagai orator ulung, banyak pemilih yang memercayai kampanye Johnson dan kawan-kawan meski banyak penjelasan yang tak didasari bukti valid.
Alhasil, ketika kubu pro-Brexit memenangi referendum 2016 (yang menyebabkan PM David Cameron mundur), Inggris tak siap di meja perundingan dengan Brussels. Inggris (kubu Brexit) tidak memiliki cetak biru tentang rencana ataupun risiko di masa depan jika keluar dari UE.
Proses perundingan yang berlangsung selama dua tahun di bawah PM Inggris Theresa May menjadi tarik-menarik yang alot dan emosional bagi kedua pihak. Kerja berat itu berakhir pada November 2018 saat Inggris-UE menandatangani Kesepakatan Brexit. Namun, kesepakatan itu gagal diratifikasi parlemen yang berujung pada pengunduran diri May.
Seberapa jauh peran Johnson? Hampir tidak ada. Meskipun ia sempat dua tahun menjadi menteri luar negeri di kabinet May, kinerjanya tak menonjol. Johnson mundur dari kabinet dengan alasan "tak cocok" dengan arah negosiasi May dan kemudian menjadi pengkritik May yang sangat vokal.
Pada dasarnya Johnson tidak memiliki ruang manuver yang cukup lebar. Kendala nyata yang dihadapinya, antara lain, mayoritas anggota parlemen menolak opsi tanpa kesepakatan. Partai Konservatif tidak menjadi mayoritas di parlemen. Berbagai jajak pendapat juga menunjukkan mayoritas rakyat Inggris tidak mendukung opsi tanpa kesepakatan.
Yang paling krusial, UE menegaskan tak bersedia menegosiasikan kembali Kesepakatan Brexit dan ancaman yang dilakukan Johnson tidak akan membuat mereka berkompromi. Alhasil, cara yang mungkin dilakukan Johnson adalah membangkitkan semangat patriotisme rakyat Inggris agar mendukung opsi tanpa kesepakatan dan menggalang sentimen "anti-UE", seperti yang dilakukannya pada referendum 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar