Bupati Kudus Muhammad Tamzil mengenakan rompi tahananseusai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (27/7/2019). Tamzil ditetapkan sebagai tersangka setelah tertangkap tangan KPK terkait dugaan menerima hadiah atau janji pengisian jabatan di Pemda Kudus 2019. Selain Tamzil, KPK juga menetapkan staf khusus Tamzil, Agus Suranto dan Plt Sekeretaris Dinas DPPPKAD Kudus Akhmad Sofyan sebagai tersangka. KPK menyita uang Rp 170 juta dalam OTT tersebut.
Kesempatan tidak datang dua kali. Begitulah pesan bijak, agar siapa pun yang mempunyai kesempatan kedua untuk berbuat baik tidaklah menyia-nyiakannya.
Kesadaran memberikan kesempatan kedua, agar seseorang yang pernah bersalah bisa bertobat, memperbaiki diri, berbuat lebih baik, dan berbakti untuk negeri, itulah yang membuat DPR dan pemerintah pada 2016 bersepakat mengubah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur/Bupati/Wali Kota. Lahirlah UU Nomor 10 Tahun 2016, yang pada Pasal 7 Ayat (2) Huruf (g) menyatakan, terpidana tetap boleh mencalonkan diri sebagai kepala daerah asalkan secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan bekas terpidana.
UU Pemilihan Kepala Daerah itu juga mensyaratkan, calon kepala daerah tidak memiliki tanggungan utang perseorangan dan/atau badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara.
Mungkin semangat memberikan kesempatan kedua itu tak dipahami Bupati Kudus, Jawa Tengah, M Tamzil, yang minggu lalu diamankan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tamzil, serta staf khususnya, Agus Soeranto, kembali terjerat korupsi. Kali ini terkait suap untuk pengisian jabatan di Pemerintah Kabupaten Kudus. Tamzil meminta Agus untuk dicarikan uang Rp 250 juta, untuk membayar utang pribadi. Pengisian jabatan di Pemkab Kudus menjadi momentum.
Sebenarnya tidak banyak sosok yang berkesempatan menjadi kepala daerah kembali setelah terjerembab korupsi pada masa lalu. Tamzil, yang menjadi Bupati Kudus periode 2003-2008, pernah terjerat korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus tahun 2004-2005. Ia tahun 2015 dijatuhi hukuman satu tahun 10 bulan penjara.
Ia kini terjerat korupsi kembali sehingga KPK pun mengelompokkannya sebagai residivis (Kompas, 28/7/2019). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan residivis sebagai 'orang yang pernah dihukum mengulangi tindak kejahatan yang serupa; penjahat kambuhan'.
Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kudus 2018 Tamzil kembali mencalonkan diri. Kita percaya ia memenuhi syarat pencalonan, termasuk mengumumkan status sebagai bekas terpidana dan tidak memiliki utang yang berpotensi merugikan keuangan negara. Untuk kasus korupsi kedua yang menjeratnya, Tamzil memang belum diadili. Namun, kali ini ia tertangkap tangan oleh KPK pada Jumat (26/7).
Pasal 2 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menegaskan, korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu bisa dijatuhi hukuman mati. Penjelasan pasal itu menyebut, keadaan tertentu adalah ketika negara dalam keadaan bahaya, negara sedang krisis, terjadi bencana alam nasional, atau sebagai pengulangan pidana korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar