Rekonsiliasi
Wacana rekonsiliasi yang muncul pasca-Pilpres 2019 akhirnya terwujud dengan pertemuan presiden terpilih 2019-2024 Joko Widodo dengan Prabowo Subianto, Sabtu (13/7/2019). Ketegangan politik diharapkan mencair dan semua kembali bersama membangun bangsa dan negara.
Sungguh suatu pertemuan yang melegakan, setelah melewati kontestasi politik yang panas, begitu menguras tenaga, pikiran, dan waktu. Semoga peristiwa ini dilanjutkan dengan duduk bersama untuk berdiskusi, bertukar pikiran, dan menjadi agenda baik untuk masyarakat.
Menanamkan pendidikan politik tentu menjadi tujuan rasional supaya ke depan rakyat Indonesia tak lagi larut dalam perdebatan emosional atas kemenangan dan kekalahan dari hasil Pemilu 2019.
Demokrasi politik bukan hanya soal pemilu dan pergantian pemimpin secara berkala, melainkan juga bicara pada aspek-aspek substansial yang terkait perilaku politik masyarakat, kebijakan dan aturan. Dalam implementasi demokrasi substansial kita perlu memikirkan tentang bagaimana agenda selanjutnya dari perjalanan demokrasi politik Indonesia setelah Pemilu 2019.
Seluruh rakyat Indonesia perlu bekerja sama untuk mengisi demokrasi politik Indonesia dalam mencapai tujuan bersama, yakni kesejahteraan bangsa Indonesia. Semoga kita dapat mewujudkannya.
Haris Zaky Mubarak, MA Peneliti Sejarah dan Eksekutif Jaringan Studi Indonesia, Cokrokusuman, Yogyakarta
"Little Netherlands"
Pada 29 Juni 2019 saya menonton siaran TV tentang kota lama Semarang, yang dinamai "Little Netherlands". Dahulu, pantai Jepara tempat masa kecil RA Kartini disebut Klein Scheveningen karena memang pantainya lebih kecil dari Pantai Scheveningen di Netherland (Belanda).
Kalau Little Netherlands, apanya yang sama dengan Nederland? Cuaca jelas beda. Saat musim dingin, di sana perlu tungku pemanas, kita tidak. Di sana ada molen (kincir angin), kita tidak. Di sana ada bunga tulip, kita anggrek, mawar, melati, kenanga, cempaka. Kalau ditanam dan dirawat baik, sungguh asri. Tidak perlu dinamai Little Netherlands.
Saya termasuk generasi yang mengalami langsung penjajahan Belanda. Dulu di kota lama Semarang ada toko buku Van Dorp. Ada kantor-kantor dagang Belanda, sarana untuk menjajah kita.
Pascakemerdekaan, gedung-gedung itu mangkrak dan akhir-akhir inidirevitalisasi sehingga menjadi kawasan cagar budaya nan cantik. Saya sangat mengapresiasi upaya tersebut. Tapi namanya jangan Little Netherlands. Rasanya pedih mengingat penjajahan Belanda 1600-1942.
Toh, bangunan-bangunan lama di beberapa kota juga tidak satu pun yang dinamai dengan kata Netherlands.
Titi Supratignyo Warga Semarang, Tinggal di Tangsel
KA Cepat
Saya berkhayal, stasiun kereta cepat Jakarta-Bandung diteruskan ke arah timur, paling tidak sampai Kertajati. Jadi, Stasiun Gedebage-Bandara Kertajati bisa dilayani kereta cepat juga. Jadwal kereta setidaknya dua jam sekali. Pelayanan city check-in (termasuk bagasi) di Stasiun Gedebage. Waktu tempuh Stasiun Gedebage-Bandara Kertajati bisa 15-30 menit.
Dengan adanya kereta cepat, warga Bandung dan sekitarnya punya tiga alternatif bandara dengan waktu tempuh yang cukup nyaman, yaitu Halim, Husen, dan Kertajati.
Dengan segala upaya, saya berharap ada upaya menyelipkan pembangunan kereta cepat Bandung-Kertajati ini, di tengah pembangunan Tol Cisumdawu dan infrastruktur kereta cepat Bandung-Jakarta. Upayakan jalur kereta mengikuti trase Tol Cisumdawu.
Jika bisa dilakukan, sepertinya biaya pembangunan kereta cepat Bandung-Kertajati akan lebih rendah daripada pembangunan setelah Tol Cisumdawau dan kereta cepat Bandung-Jakarta selesai.
Saya merasakan tingkat urgensi paling tinggi malah di kereta cepat Bandung-Kertajati. Alangkah indah khayalan saya jika ketiga proyek selesai hampir bersamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar