
Masyarakat Punan Batu masih tinggal berpindah-pindah di gua-gua karst dan hutan di pedalaman Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, seperti terlihat, Senin (15/10/2018). Mereka merupakan penghuni awal Kalimantan yang kini semakin terdesak oleh pembukaan hutan yang masif, terutama untuk penambangan dan konversi perkebunan sawit. (Kompas/Ahmad Arif)
Akhirnya, ibukota negeri ini diputuskan pindah dari Jakarta ke Kalimantan, persisnya Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Di luar perdebatan tentang besarnya anggaran pemindahan ibukota yang mencapai Rp 466 triliun, rencana pemindahan ibukota dari Jakarta seharusnya dilakukan sejak dulu, sebelum Jakarta meraksasa dan akut masalahnya seperti sekarang.
Daya dukung lingkungan dan daya tampung Jakarta yang sangat terbatas, jelas tidak layak untuk menampung 10,37 juta jiwa penduduk dan menjadi pusat segala aktivitas negeri ini.
Sejak dibangun Jan Pieterszoon Coen pada tahun 1619 sebagai pusat operasi kongsi dagang Belanda (VOC), Jakarta selalu langganan kebanjiran.
Hingga kini, banjir masih menghantui Jakarta yang sejatinya cekungan banjir dan muara 13 sungai. Jakarta kini dihantui banjir rob seiring dengan penurunan tanah yang rata-rata mencapai 7,5 sentimeter (cm) per tahun. Bahkan, di beberapa bagian Jakarta Utara, daratannya turun hingga 20 cm per tahun.

Pedagang melintasi air yang menggenangi Jalan Jatinegara Barat, Jakarta, Jumat (26/4/2019). Air tersebut berasal dari luapan Sungai Ciliwung.
Kemacetan dan polusi udara menjadi beban tambahan yang tak teratasi, sekalipun berbagai upaya telah dilakukan. Belum lagi ancaman gempa bumi, yang menurut catatan sejarah pernah berulang mengguncang dan merusak kota ini.
Kajian Arthur Wichman (1918) menyebut, gempa kuat dirasakan di Jakarta pada 5 Januari 1699 dinihari. Selain meruntuhkan banyak bangunan, gempa memicu longsor di Gunung Gede Pangrango dan Salak. Pada 22 Januari 1780, gempa kuat yang guncangannya dirasakan sampai tenggara Sumatera, juga melanda Jakarta.
Pemilihan Kalimantan sebagai calon ibukota baru memiliki alasan yang kuat. Posisinya yang berada di jantung Indonesia pernah menjadi alasan Soekarno untuk memindahkan ibukota ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Wisatawan sedang bermain arung jeram di Sungai Mahakam di Desa Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, Jumat (3/5/2019). Batu-batu besar menjembul saat musim kemarau sehingga perahu tak bisa melintasi riam ini.
Secara geologi Kalimantan juga paling stabil dibandingkan daerah lain di negeri ini. Sekalipun memiliki sejumlah jalur sesar lokal, namun risiko gempa bumi di Kalimantan paling rendah, dibandingkan pulau besar lainnya, seperti Jawa, Sumatera Sulawesi, atau Papua.
Secara geologi Kalimantan juga paling stabil dibandingkan daerah lain di negeri ini.
Di era prasejarah, Kalimantan juga memiliki posisi penting. Jejak arkeologis menunjukkan, penghunian manusia modern pertama (Homo sapiens) di Kepulauan Asia Tenggara sejak 50.000 tahun lalu telah ditemukan di pulau ini, persisnya di Goa Niah di wilayah Serawak, Malaysia.
Jejak itu juga bisa ditemukan pada lukisan tangan di gua karst Sangkulirang Mangkalihat di Kalimantan Timur yang merekam perjalanan manusia dalam rentang 50.000 tahun lalu hingga 3.500 tahun lalu.

Para penari dan peserta dari berbagai daerah di Kalimantan Tengah mengikuti pawai budaya dalam rangkaian acara Festival Budaya Isen Mulang 2019 di Kota Palangkaraya, Selasa (18/6/2019). Pawai budaya tersebut menunjukkan berbagai kostum apik adat dan budaya Suku Dayak Kalimantan.
Jejak panjang penghunian di pulau terbesar ketiga di dunia–setelah Greenland dan Papua–ini menandai pentingnya posisi Kalimantan. Pulau ini menjadi jembatan strategis migrasi manusia sejak zaman purba, yang menghubungkan Kepulauan Filipina, Semenanjung Melayu, Sumatra, Sulawesi, dan Jawa.
Di awal era sejarah, Kalimantan tetap menempati posisi penting. Pulau ini termasuk yang paling awal dengan peradaban dari luar, ditandai dengan keberadaan Kerajaan Hindu tertua di Nusantara di Kutai Mulawarman sejak abad ke-5 Masehi.
Namun, pusat pertumbuhan di Nusantara kemudian bergeser ke pesisir timur Sumatera dan berikutnya ke pantai utara Jawa.

Kilang minyak Pertamina di Balikpapan, Kalimantan Timur, terlihat dari udara, Kamis (5/2/2015). PT Pertamina akan menaikkan kapasitas produksi lima kilang minyaknya dari 820.000 barrel per hari (bph) menjadi 1,6 juta bph dengan nilai investasi 25 miliar dollar AS melalui program pengembangan kilang Refinery Development Master Plan (RDMP) Program dengan menggandeng sejumlah perusahaan migas dari berbagai negara.
Sekalipun eksplotasi sumber daya alam di Kalimantan telah dimulai sejak era kolonial, yaitu ketika Sultan Kutai memberikan konsesi batubara dan minyak bumi kepada pengusaha Belanda, Jacobus Hubertus Menten pada 1888, namun pedalaman Kalimantan hingga saat itu belum terusik. Kalimantan lebih banyak dikisahkan sebagai rimba belantara yang dihuni para pemenggal kepala hingga "manusia berekor" (Carl Alfred Bock dalam The Head Hunters of Borneo, 1881).
Baru pada tahun 1904, hutan-hutan di hulu Sungai Barito mulai ditebang dan dihanyutkan melalui sungai hingga ke pantai, khususnya di sekitar Kutai (Potter, 1988). Eksploitasi besar-besaran hutan Kalimantan kemudian terjadi sejak era Orde Baru di penghujung tahun 1960-an, yang diikuti penambangan batu bara, pembukaan lahan gambut, dan konversi besar-besaran untuk kelapa sawit.
Kajian David Gaveau (jurnal PLOSE ONE, 2014) menyebutkan, lebih dari 30 persen hutan tropis Kalimantan menghilang selama periode 1973 – 2010. Padahal, hutan hujan tropis Kalimantan telah terbentuk sejak 130 juta tahun lalu, merupakan salah satu yang tertua di Bumi dan paling kaya keragaman hayatinya.

Kondisi hulu Sungai Paku di Desa Apar Batu, Kecamatan Awang, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah, Sabtu (30/3/2019) yang rusak akibat penimbunan jalan oleh perusahaan tambang. Sungai tersebut merupakan sumber kehidupan bagi sedikitnya tiga desa di Kecamatan Awang.
Hancurnya ekologi Kalimantan ini juga memicu bencana, terutama kebakaran hutan dan lahan, selain banjir yang semakin meluas. Sejak kebakaran dahsyat pada 1997/1998, kebakaran hutan dan lahan selalu terjadi di Kalimantan di musim kemarau.
Sejak kebakaran dahsyat pada 1997/1998, kebakaran hutan dan lahan selalu terjadi di Kalimantan di musim kemarau.
Salah satu yang juga terparah terjadi pada tahun 2015. Luasan lahan yang terbakar di seluruh Indoensia saat itu menurut data Bank Dunia mencapai 2,6 juta ha, 30 persennya adalah lahan gambut dan sebagian besar di Kalimantan. Kerugian ekonomi akibat kebakaran ini ditaksir Rp 221 triliun. Itu belum memperhitungkan dampak kerugian jangka panjang pada anak-anak yang menghirup kabut asap akibat kebakaran.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar