Saat masyarakat Papua di Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) bereaksi pasca-insiden penyerangan Asrama Papua di Surabaya, 16 Agustus 2019, semua perhatian negeri ini menoleh ke Papua. Kerusuhan terjadi di Manokwari, Sorong, dan Fakfak pada 19-20 Agustus. Rangkaian demonstrasi lain di Jayapura, Timika, Nabire, Merauke, dan kota lain di Papua, berlangsung damai.
"Yo, baru kam sekarang lihat kitong. Baru, Tragedi Paniai, Nduga, yang kam bikin kam anggap apa? (Ya, sekarang baru kalian lihat kita di Papua. Terus, Tragedi Paniai, Nduga, dan yang kalian lakukan, kalian anggap apa?)" ujar seorang teman di Manokwari lewat pesan singkat.
Ia melanjutkan, reaksi yang terjadi sekarang merupakan titik puncak dari kemarahan yang terpendam itu. Berbagai kasus kekerasan yang menimpa orang Papua di tanahnya sendiri, ataupun yang menimpa mahasiswa Papua di sejumlah daerah di Indonesia, menjadi salah satu pemicunya.
Dalam keseharian masyarakat Papua, hidup dan mati begitu tipis artinya di tanah kelahirannya sendiri. Mereka terpapar ancaman yang suatu saat mencabut hidup mereka.
Anak-anak sekolah di Paniai meregang nyawa akibat konflik bersenjata, gizi buruk di Asmat merenggut anak-anak Papua tanpa dosa, dan kita seolah memalingkan muka saat masyarakat Papua di Nduga mengungsi dan berjuang untuk hidup di tengah "perang tersembunyi" di kampungnya.
Bagi saya, selain kesejahteraan penghidupan, satu hal yang lebih penting artinya dalam kehidupan ini adalah kemerdekaan sebagai manusia. Itu artinya, kemerdekaan untuk berimajinasi tentang harkat dan martabat diri, kehidupan, mengekspresikan pendapat dan kebudayaan adalah mutlak. Inilah lubang menganga dari "dosa sejarah" negara ini memperlakukan masyarakat Papua.
Salah satu kesalahan besar negara ini adalah mengekang imajinasi orang Papua untuk menjadi dirinya sendiri. Yang kita lakukan adalah menjadikan masyarakat Papua seperti yang kita inginkan.
Jika kita bersedia becermin, kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 merupakan buah dari imajinasi yang diperjuangkan untuk merebut harkat dan martabat sebagai manusia yang ditindas penjajah.
Bagi saya, selain kesejahteraan penghidupan, satu hal yang lebih penting artinya dalam kehidupan ini adalah kemerdekaan sebagai manusia.
Hingga kini, kompleksitas masalah Papua salah satu akarnya adalah karena masalah ini. Kita mencoba untuk mengekang pikiran manusia dengan otoritas mengatur (mengarahkan) karena merasa lebih pintar dan perilaku kekerasan yang tak kunjung berakhir dari aparat keamanan negeri ini.
Teknokrasi negara dan kaum cerdik pandai mencipta berbagai rumus dan model untuk menangani Papua. Berbagai perangkat kepengaturan dipersiapkan untuk mengarahkan masyarakat Papua sesuai dengan keinginan yang dimaksud.
Mentalitas dan cara berpikir orang Papua dicoba untuk diubah tanpa menyelami kedalamannya.
Cara berpikir itu terlihat jelas dalam artikel "Papua, Segregasi Etnis dan Potensi Konflik" oleh Vidhyandika D Perkasa (Kompas, 9/8/2019). Ia menuliskan, "Pelatihan untuk meningkatkan kapasitas dan rasa percaya diri masyarakat asli Papua harus dilakukan secara kontinu dan sistematis, apalagi terkait upaya mengubah mentalitas dan cara berpikir mereka yang tidak kondusif terhadap perubahan zaman. Mengubah mentalitas memerlukan waktu yang lama".
Pertanyaannya, orang Papua-kah atau kita yang harus berubah? Saya meyakini kitalah yang harus berubah. Ya, kita. Kebebasan berimajinasi, tentu tanpa intimidasi dan kekerasan, akan dengan sendirinya membuat masyarakat Papua percaya diri dan sekaligus menemukan jalannya sendiri untuk merespons perubahan zaman.
Soalnya adalah kita tidak menanam benih untuk tumbuh suburnya imajinasi itu. Yang kita tanam justru rangkaian kekerasan dan diskriminasi yang kemudian jadi ingatan sosial penderitaan yang terwariskan dalam sejarah kehidupan masyarakat Papua.
Dengan enteng kemudian kita menyebut masyarakat Papua tidak percaya diri, mentalitasnya dan cara berpikirnya tidak sesuai dengan perubahan zaman (yang kita rancang).
Saya menduga, pembangunan (infrastruktur) yang kini digenjot pemerintah di Tanah Papua dilandasi cara berpikir di atas. Kita lupa, bukan jalan dan bangunan fisik lainnya yang utama. Yang terutama itu ialah mengembalikan harkat dan martabat warga Papua untuk berimajinasi tentang diri dan masa depannya. Ruang-ruang imajinasi inilah yang disumbat dengan berbagai macam stigma, perlakuan diskriminatif, rasisme, kekerasan.
Reflektif
Menjamin imajinasi berkembang dan saling bertemu adalah esensi dari pandangan reflektif. Salah satu masalah mendasar Papua adalah keengganan kita sebagai sebuah bangsa untuk "menjadi Papua" dengan mengubah diri kita sendiri.
Apa yang terjadi kini di Surabaya, Malang, dan seantero Tanah Papua kini merupakan cermin retak kebebalan kita tidak ikhlas mengubah diri "menjadi Papua". Kita hanya berkeinginan agar masyarakat Papua berubah sesuai dengan desain perubahan yang kita rancang.
Saya merasa, perspektif reflektif dan pendalamannya dalam sejarah kehidupan orang per orang, memberikan ruang yang luas untuk memahami sekaligus menyelami perasaan dan isi hati masyarakat Papua.
Pada sisi lain, kita bisa becermin tentang identitas diri kita dari rentang panjang kekerasan dan penderitaan yang dialami masyarakat Papua sendiri. Jika kita acuh, berarti sebenarnya kita telah membuat jarak dan keberbedaan dengan apa yang dirasakan masyarakat Papua.
Salah satu masalah mendasar Papua adalah keengganan kita sebagai sebuah bangsa untuk "menjadi Papua" dengan mengubah diri kita sendiri.
Itulah yang terjadi kini. Bagaimana memulainya? Olah hidup reflektif ini bekerja dalam metode pembelajaran antarbudaya. Melalui pembelajaran antarbudaya, kita akan diajak untuk menyelami perbedaan sebagai sebuah cermin diri kita sendiri.
Kita bisa menghayati ke dalam diri masing-masing betapa sering kita membentengi diri, menganggap diri sendiri yang paling baik, dan mengecilkan peran masyarakat dan budaya lain yang ada di luar kedirian kita (Laksono, 2009).
Hanya dengan diri yang reflektif dan inklusif kita mampu untuk menjelajahi sekaligus memahami relung-relung kehidupan orang lain. Melalui orang lainlah kita bisa becermin tentang diri kita.
Rasisme, diskriminasi, dan mental menjajah tersingkir oleh kuatnya fondasi kemanusiaan yang kita asah melalui perspektif reflektif antarbudaya. Kita akan selalu berubah dan mengubah diri bersama dengan orang-orang lain dengan identitas dan kebudayaannya, tidak terkecuali bersama masyarakat Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar