Kekuatan lain itu bisa masuk ke dalam KPK, baik sebagai komisioner, pejabat struktural, maupun pegawai biasa. Apalagi, mereka lalu berhasil memengaruhi, bahkan mengendalikan arah dan gerak dari KPK.
Masalahnya, adalah Kuda Troya bagi kepentingan siapa? Untuk kepentingan rezim yang tengah berkuasa (existing) atau untuk kepentingan kekuatan kontra rezim atau kepentingan lain di luar upaya pemberantas korupsi? Jawabannya tergantung pada kekuatan mana yang berhasil menyusup atau disusupkan sebagai Kuda Troya.
Jawabannya tergantung pada kekuatan mana yang berhasil menyusup atau disusupkan sebagai Kuda Troya.
Masalah berikutnya tentang Kuda Troya ini adalah bagaimana kita bisa menjamin tidak ada penyusupan dari pihak mana pun, baik rezim existingatau oposan atau pihak berkepentingan lainnya sehingga KPK bisa tetap pada jalurnya sebagai aparat penegak hukum pemberantas korupsi yang berani, independen, proper, dan profesional.
Semua itu harus berawal dari proses seleksi terhadap komisionernya sehingga bisa menghasilkan komisioner yang berani, independen, berintegritas, dan yang berkemampuan tinggi, baik secara teknis hukum maupun manajerial.
Hal itu seharusnya dilakukan lebih awal lagi, yaitu dimulai dari pemilihan sosok yang sepantasnya menjadi Panitia Seleksi (Pansel) Pimpinan KPK tersebut.
Beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan perseorangan pun telah berpendapat, polisi dan jaksa bahkan Aparat Sipil Negara (ASN) yang masuk menjadi pimpinan KPK periode 2019-2023, akan menjadi Kuda Troya dalam upaya pemberantasan korupsi.
Sudah bisa kita baca pula bahwa sesungguhnya para pihak, baik yang dituduh maupun yang menuduh, sudah memasukkan dan sedang berusaha memasukkan pionnya ke dalam tubuh KPK. Mereka berupaya pula untuk mencegah pion pihak lain untuk masuk ke KPK agar tidak bisa menghambat agenda mereka.
Friksi antarkelompok yang terjadi dalam tubuh KPK saat ini, seperti yang terungkap di media massa dan di masyarakat, bahwa ada "penyidik polisi" dan ada "penyidik garis keras" dalam KPK, walaupun istilahnya tidak terlalu pas, sudah menunjukkan bahwa sedang terjadi "pertarungan" dalam tubuh komisi antirasuah itu.
Mudah sekali membacanya, sesungguhnya faksi-faksi yang sedang bertarung di sana, dengan melihat siapa orang atau kelompok di luar KPK yang memberikan dukungan kepada "sejawatnya" yang sedang "bertarung" di dalam itu.
Namun, yang sering dilupakan oleh mereka yang kini sedang "memperjuangkan" kepentingannya dalam tubuh KPK, dan menjadikan KPK sebagai Kuda Troya, adalah ada juga kelompok lain dalam tubuh KPK yang tetap menginginkan agar komisi itu kembali kepada spirit awalnya. Bekerja diam, tanpa sesumbar, dan tanpa menimbulkan kegaduhan.
KPK tetap melangkah pasti dalam mengemban misinya. Kelompok inilah yang saya yakini masih banyak, tetapi mereka diam dan tetap bekerja.
Ingatlah, KPK adalah anak kandung reformasi yang justru diharapkan untuk mengawal pemerintahan pada era reformasi agar bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Oleh karena itu, semua pihak, terutama Presiden dan DPR, harus peduli dan memberik kritik pada proses seleksi dan meneliti kompetensi serta kredibilitas dari calon komisioner itu.
Ingatlah, KPK adalah anak kandung reformasi yang justru diharapkan untuk mengawal pemerintahan pada era reformasi agar bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Nurani yang bersih
Dari luar pertarungan kepentingan itu, sebagai orang yang pernah mengikuti proses pembentukan hingga kelahiran KPK, serta menjalani proses seleksi pimpinan KPK dan berupaya menjadikan KPK eksis dan mampu melaksanakan tugasnya tanpa gonjang-ganjing yang membikin gaduh negeri, saya berharap Pansel, Presiden, dan DPR betul-betul mampu menggunakan nurani yang bersih dan akal pikiran yang jernih.
Terutama, untuk melihat siapa calon pimpinan KPK yang tak mempunyai ambisi pribadi dan/atau agenda dan kepentingan kelompok. Sosok seperti ini hanya akan menjadikan jabatan pimpinan KPK sebagai kendaraan, atau batu loncatan untuk pencapaian ambisi dan agendanya tersebut.
Dari pengalaman dan pengamatan selama ini, pimpinan KPK dengan tipe yang demikian itu yang sesungguhnya akan menjadi Kuda Troya. Kemudian, diikuti dengan melahirkan faksi dalam tubuh KPK, serta menciptakan suasana dan pertarungan di antara faksi-faksi yang muncul. Pada gilirannya, mereka akan mendistorsi agenda pemberantasan korupsi di negeri ini.
Salah satu indikator dari sinyalemen di atas mudah saja membacanya. Perhatikan saja kandidat yang selama ini lebih banyak bicara tentang reputasi pribadi dan pendapat pribadi, serta program yang sesungguhnya imajiner tentang upaya pemberantas korupsi yang pernah, sedang, dan akan dilakukannya.
Perhatikan saja kandidat yang selama ini lebih banyak bicara tentang reputasi pribadi dan pendapat pribadi, serta program yang sesungguhnya imajiner tentang upaya pemberantas korupsi yang pernah, sedang, dan akan dilakukannya.
Untuk polisi, jaksa, atau ASN juga mudah mendeteksinya. Coba saja secara tersembunyi diwawancarai bawahan langsung mereka, ketika mereka masih yunior. Justru para bawahan yang lebih banyak mengetahui tentang reputasi, dan bahkan "jeroan" mereka sesungguhnya. Bukan dari atasan yang merasa mengetahui tentang bawahannya dan kemudian memberikan rekomendasi.
Dengan cara sederhana ini, sesungguhnya kita, khususnya Presiden dan DPR, dapat tetap menjaga KPK tak menjadi Kuda Troya bagi kepentingan lain, selain kepentingan pemberantasan korupsi dan mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersih dan bebas dari KKN.
Hal itulah amanat reformasi, yang ditegaskan dalam Ketetapan Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar