KOMPAS/AGUS SUSANTO

Ari Kuncoro

Sejak berakhirnya bonanza komoditas pada 2012, Indonesia selalu berusaha mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 3 tahun terakhir bertengger pada kisaran 5 persen. Model pertumbuhan Solow mengisyaratkan perekonomian akan mencapai pertumbuhan yang konstan jika rasio antara modal fisik (kapital) dan tenaga kerja sudah mencapai keseimbangan yang disebut balanced growth path (BGP). Jalur pertumbuhan ini merupakan jebakan jika terjadi pada tingkat pendapatan per kapita yang rendah. Penambahan faktor produksi modal fisik dan/atau tenaga kerja saja akan mubazir karena beroperasinya azas hasil marginal atau manfaat yang menurun (diminishing marginal return).

Untuk mengatasi jebakan itu, beberapa upaya dapat dilakukan. Pertama, meningkatkan rasio tabungan terhadap pendapatan nasional (PDB) untuk meningkatkan pendapatan di masa depan. Pada triwulan II-2019, rasio tabungan terhadap PDB di Indonesia adalah 34,2 persen, lebih rendah dari triwulan I-2019 yang 35,2 persen, sehingga masih ada ruang untuk ditingkatkan. Masalahnya, saat ini Indonesia sangat membutuhkan suntikan dari sisi permintaan masyarakat. Masyarakat Indonesia mencapai konsumsi gaya hidup seperti kuliner, perjalanan, dan menonton konser pada tingkat pendapatan per kapita yang lebih rendah dari negara-negara di Asia Timur, sehingga sukar menaikkan tingkat tabungan secara drastis. Sebagai gambaran, untuk mempertahankan gaya hidup, konsumen menurunkan saldo rata-rata tabungannya dari sekitar Rp 4,5 juta pada akhir 2012 menjadi Rp 3 juta pada triwulan II-2019.

Kedua, seandainya tingkat tabungan naik, maka pertumbuhan tinggi membutuhkan investasi yang efisien. Efisiensi investasi Indonesia tidak terlalu tinggi, yang dicerminkan dari angka ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang tinggi, sebagai akibat dari pungli, pembebasan lahan yang bertele-tele, peraturan yang berubah-berubah, dan perizinan berbeli-belit yang berdampak pada pembengkakan biaya proyek-proyek investasi. Angka ICOR Indonesia pada triwulan II-2019 sebesar 6,3. Adapun Vietnam 4,3. Sesuai ramalan model pertumbuhan Solow, dengan iklim usaha seperti ini, penambahan investasi tidak banyak menambah pertumbuhan, sehingga dibutuhkan upaya-upaya kreatif lain.

Reorganisasi produksi

Dalam model pertumbuhan Solow, perekonomian digambarkan dalam suatu fungsi produksi dengan kapital dan tenaga kerja sebagai faktor produksi utama. Jika perekonomian sudah mencapai keseimbangan BGP, maka untuk melepaskan diri ke jalur pertumbuhan yang lebih tinggi diperlukan perubahan lingkungan eksternal. Caranya, dengan mengubah parameter geser yang sering dilambangkan oleh parameter "A". Parameter geser A menangkap perbaikan iklim usaha seperti penyederhanaan perizinan, perbaikan kualitas tata pamong, peningkatan kualitas modal fisik, peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan, dan inovasi yang menimbulkan transformasi ekonomi.

Sebagai contoh, sektor pertanian tidak melulu untuk mencukupi kebutuhan sendiri dan menjual produk secara kecil-kecilan. Pekerjaan off-farm seperti pemilahan (sorting), pernyimpanan (wharehouse), pembenihan, dan penjualan produk -termasuk ekspor melalui platform digital- dapat dilakukan generasi petani yang lebih muda sehingga nilai tambah akan lebih lama berputar di daerah perdesaan.

Penambahan jumlah kelas menengah di perkotaan yang mengidamkan produk baru untuk mengaktualisasikan diri membuat model perekonomian inklusif dapat tumbuh di peedesaan. Produsen tas wanita seperti Gendhis dan Dowa serta kain premium Lurik Prasojo di Jawa Tengah merupakan model pertumbuhan inklusif yang memanfaatkan teknologi informasi. Metode dalam jaringan digunakan untuk pengenalan produk, pemasaran, dan penjualan.

Metode luar jaringan digunakan untuk menarik pelanggan agar datang ke lokasi produksi membeli produk-produk terpilih. Lokasi di Jawa Tengah/Yogyakarta membuat pelanggan dapat mengkombinasikan dengan wisata budaya, pemandangan, maupun kuliner. Akomodasi juga tersedia mulai dari hotel bintang lima sampai rumah inap. Lokasi juga mudah dicapai mulai dengan pesawat, kereta api, dan kendaraan melalui jalan tol Trans-Jawa. Reorganisasi produksi ini melipatgandakan nilai tambah dampak berganda dan inklusivitas kegiatan. Proses produksi didesentralisasikan ke rumah tangga di pelosok perdesaan sehingga ibu rumah tangga dapat memperoleh pendapatan untuk menopang pendapatan keluarga.

Sumber pertumbuhan baru tersebut tersebar di sektor pertanian, manufaktur (termasuk manufaktur ringan dan industri kerajinan rakyat), dan jasa-jasa umum (termasuk perdagangan dan pariwisata inklusif). Sektor-sektor tersebut mempunyai bagian yang berpotensi memanfaatkan ekonomi digital sebagai platform, yang di dalamnya termasuk pertanian organik, arsitektur, desain, mode, musik, media, film, seni drama, seni visual, dan budaya. Potensi kegiatan ekonomi tersebut ditaksir sekitar 19 persen dari PDB. Sebagai contoh, jika seandainya PDB tumbuh 5,1 persen per tahun secara tahunan, maka kira-kira yang berasal dari sektor-sektor tersebut 0,969 persen, yang berarti basis pertumbuhannya sekitar 4,1 persen. Jika perbaikan tata kelola dan perizinan dapat meningkatkan investasi sehingga menambah pertumbuhan 0,4 persen dari basis, maka pertumbuhan 5,5 sampai 5,6 persen dapat tercapai. Angka yang lebih tinggi dapat tercapai jika porsi sektor-sektor tersebut dalam PDB ditingkatkan.

Pesan tersirat dari Pidato Presiden RI Pengantar Nota Keuangan 2019, untuk meningkatkan peran sektor-sektor kreatif dibutuhkan fungsi produksi inovasi (Romer [1989]), yakni pendidikan berkualitas serta penelitian dan pengembangan menjadi dua pilar utama. Kurikulum di semua tingkat, baik pendidikan umum maupun vokasi, harus direorganisasi, sehingga menghasilkan lulusan yang memiliki 4 literasi agar mampu beradaptasi dan berkiprah dalam masyarakat. Keempat literasi itu adalah literasi dasar (membaca, menulis dan matematika), literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia.