Siang itu, kami berdiri di depan sarkofagus—peti mati terbuat dari batu—warna merah marun bermotif putih. Peti mati batu marmer seberat 40 ton itu menjadi penanda makam Mustafa Kemal Atatürk, Bapak Bangsa Turki, pendiri Republik Turki, dan presiden pertama Turki.
Atatürk meninggal pada 10 November 1938 di Istana Dolmabahçe, Istabul. Tetapi, dia dimakamkan di Ankara pada 21 November 1938. Semula makam Atatürk berada di Museum Etnografi Ankara, tetapi pada 10 November 1953 dipindahkan ke mausoleum, tempat kami berdiri siang itu. Mausoleum terletak di pusat Kota Ankara, sekitar 2,5 kilometer sebelah barat-daya wilayah Kizilay (Trias Kuncahyono, Turki, Revolusi Tak Pernah Henti, 2018).
Walaupun meninggal di Istanbul, kota bersejarah dan berumur ratusan tahun, Atatürk memilih dimakamkan di kota yang dipilihnya sebagai ibu kota Turki. Ankara menjadi ibu kota baru bagi Turki, yang sejak 29 Oktober 1923 menjadi Republik Turki. Setahun sebelumnya, 1 November 1922, Kesultanan Ottoman (Kekhalifahan Utsmaniyah) yang sudah berusia enam abad, dihapuskan. Mengapa Atatürk memindahkan ibu kota dari Istanbul ke Ankara?
Begitu pertanyaan seorang teman wartawan yang sama-sama diundang pemerintah Turki untuk datang ke negeri itu setelah terjadi usaha kudeta, 2016. Bukankah Istanbul ibu kota Kekhalifahan Utsmaniyah, sejak 1453; bahkan Istanbul yang secara resmi bernama Nova Roma tetapi dikenal dengan nama Constantinopolis (Konstantinopel) sebelumnya adalah ibu kota Kekaisaran Romawi Timur (330) sampai ditaklukkan Sultan Mehmet II, 29 Mei 1453. Sebelumnya, di zaman sebelum Masehi, bernama Byzantium, sebuah Negara-Kota Yunani (John Freely, 1996).
Pada zaman Perang Dunia I bergolak, ada tiga kota penting di Turki: Istanbul di wilayah barat-laut, Ankara di utara tengah, dan Erzurum di timur laut. Tetapi, Erzurum direbut Rusia. Istanbul hampir direbut Inggris ketika Inggris menyerang Gallipoli. Kedua kota itu juga terancam ketika pecah Perang Kemerdekaan Turki. Di antara ketiga kota itu yang paling aman adalah Ankara. Karena itu, sangat logis kalau dipilih sebagai ibu kota.
Faktor situasi internasional juga diperkirakan mempengaruhi keputusan Atatürk memindahkan ibu kota dari Istanbul ke Ankara. Menurut Perjanjian Savres (20 Agustus 1920) yang ditandatangani kekuatan Sekutu dan Ottoman, benar-benar melemahkan Kekhalifahan Ottoman.
Perjanjian itu melikuidasi Kekaisaran Ottoman dan hampir menghapuskan kedaulatan Turki. Keputusan lainnya antara lain, Turki harus melepaskan kedaulatan atas Mesopotamia (Irak) dan Palestina (termasuk Transyordan), yang menjadi mandat Inggris; Suriah (termasuk Lebanon), yang menjadi mandat Perancis; dan kerajaan Hijaz. Daerah Turki diperkecil dan hanya tinggal kota Konstantinopel dan sekitarnya.
Dengan kondisi seperti itu, adalah tidak mungkin menjadikan Istanbul sebagai ibu kota bagi Republik Turki yang diperjuangkan Atatürk. Perjanjian itu diterima oleh pemerintah Sultan Muhammad VI di Konstantinopel tetapi ditolak oleh pemerintah nasionalis pimpinan Atatürk di Ankara. Akan, tetapi perjanjian itu tak terlaksana dan digantikan Perjanjian Lausanne (1923).
Hingga tahun 1923, ada dua pusat kekuatan: Istanbul (Kekhalifahan Utsmaniyah) dan Ankara (kaum nasional yang nantinya mendirikan Republik Turki). Ini berarti bahwa ada "dua pemerintahan" yang benar-benar berbeda dan "dua negara" yang memiliki ideologi yang berbeda.
Bagi Kekhalifahan Utsmaniyah (Ottoman), agama adalah aspek penting dari ideologi kekhalifahannya untuk melegitimasi kekuasaannya. Ini sama dengan Dinasti Habsburg di Eropa Tengah pada masa itu, di mana Kristianitas Katolik Roma berhubungan langsung dengan legitimasinya.
Atatürk berusaha menciptakan identitas nasional baru Turki. Revolusi Turki (1918-1927) bertujuan untuk mendekonstruksi rezim lama (Utsmaniyah/Ottoman) dan membagun sebuah nation-state(negara bangsa) baru.
Nasionalisasi dan modernisasi menjadi sasaran utama kaum Kemalis yang berkeinginan untuk menggantikan struktur sosial lama (kekhalifahan) dengan struktur sosial kontemporer (pada masa itu) yang sama dengan negara-negara Eropa.
Atatürk dan kaum Kemalis, setelah revolusi ingin mendirikan sebuahlaiklik nation-state (negara-bangsa sekularisme) lewat revolusi top-downyang dipimpin oleh para elite negara. Gagasan ini dicirikan oleh anti-klerikalisme, raionalisme, elitisme intelektual, dan nasionalisme. Rezim lama di Turki "didasarkan pada perkawinan antara monarki lama dan hegemoni religius yang dirasakan oleh elite sebagai rintangan terhadap rezim republik baru" . (Ahmet T Kuru:2009)
Karena itu, Atatürk ingin memutus ikatan antara zaman Ottoman dan Republik Turki. Salah satu bentuk untuk memutus ikatan dengan masa lalu itu adalah memindahkan ibu kota dari Istanbul ke Ankara. Itulah cita-cita Atatürk.
Pemindahan kota sebagai simbol meninggalkan masa lalu dan memasuki masa atau zaman baru.
Pemindahan kota sebagai simbol meninggalkan masa lalu dan memasuki masa atau zaman baru. Republik Turki yang didirikan oleh Atatürk mendasarkan pada Kemalisme: republikanisme, nasionalisme, populisme, statisme, sekularisme, dan revolusionisme. Dengan Kemalisme, Atatürk ingin mengubah Turki Ottoman, yang dianggap sebagai sick man of Europe, pada masa itu, menjadi negara Turki yang berdaulat, demokratis, percaya diri, sekuler, dan modern.
Atatürk ingin mengakhiri sejarah Kekhalifahan Utsmaniyah (Ottoman). Atatürk tidak ingin mentalitas monarkis yang berakar kuat di Istanbul pada waktu itu, kelas birokrat dan militer rezim Ottoman, mempengaruhi pemerintahan barunya. Ia juga ingin mengakhiri penggunaan simbol-simbol agama sebagai kekuatan politik, sebagai senjata untuk melawan kaum pembaharu dan menghalangi program-programnya (Feroz Ahmad,1993).
Sebagai bentuk untuk mengakhiri masa lalu, Atatürk lewat Majelis Nasional Agung, pada tanggal 3 Maret 1924, menurunkan Khalifah Abdülmecit II dan membubarkan kekhalifahan yang sudah berumur 600 tahun dan mengubah seluruh budaya Turki.
Meskipun Istanbul begitu indah, tetapi bagi Atatürk, keindahan itu adalah keindahan masa lalu. Ia ingin membawa Turki ke zaman keindahan baru. Istanbul adalah bagian masa lalu, dan Ankara adalah menjadi bagian masa depan Turki yang diimpikan sebagai negara dan bangsa modern.
Atatürk tidak memungkiri bahwa Istanbul sangat berperan dalam membawa Turki memasuki masa depan. Oleh karena, dalam masa sekarang didapati masa lampau, dan di masa sekarang pula akan didapati masa depan. Akan tetapi, Atatürk ingin menjadikan bangsa Turki setara dengan bangsa Eropa secara sosial, pendidikan, dan kultural, serta menjadikan Turki bagian dari komunitas internasional bangsa-bangsa moderen. Dengan kata lain, Atatürk ingin "menjadikan Turki negara Eropa" (Sina Akşin, 1999).
Dengan kata lain, Atatürk memikirkan masa depan Turki, karena zaman kebesaran Turki dengan Kekhalifahan Utsmaniyah sudah berlalu. Memang masa lalu, kebesaran Utsmaniyah sangat berguna sebagai kaca benggala bagi masa depan Turki. Akan tetapi, seperti dikatakan Abraham Lincoln (1809-1865), "Kalau kita tidak merencanakan masa depan karena kita hidup di zaman sekarang, maka kita akan tetap berada di masa lalu."
Karena itu, Atatürk melangkah meninggalkan Istanbul dengan seluruh kebesarannya di masa lalu, menuju Ankara yang memberikan harapan baru. Dengan memindahkan ibu kota dari Istanbul ke Ankara, Atatürk yakin telah membeli masa depan Turki. Sebab, bukankah mereka yang hanya mencari masa lalu atau masa kini, akan kehilangan masa depan.
Selamat tinggal Jakarta!
Kompas, 3 September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar