Pengalaman diskriminasi yang panjang yang dirasakan orang Papua menjadikan persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua yang terjadi di Jawa Timur merembet pada peristiwa kerusuhan di Papua (Papua dan Papua Barat). Bahkan, munculnya pernyataan "lahir sebagai Papua saja sudah salah" menunjukkan sangat mendalamnya perlakuan diskriminasi yang dialami masyarakat Papua, terutama pada masa pemerintahan Soeharto.
Meskipun demonstrasi yang berujung pada tindakan anarkistis ini sudah bisa diredam oleh aparat keamanan, sentral masalah diskriminasi tersebut masih ada dan semakin terasa. Tuntutan demonstrasi yang berawal dari rasisme dan persekusi kemudian berubah menjadi tuntutan referendum.
Meskipun demonstrasi yang berujung pada tindakan anarkistis ini sudah bisa diredam oleh aparat keamanan, sentral masalah diskriminasi tersebut masih ada dan semakin terasa.
Belum sentuh sumber persoalan
Masalah tersebut terjadi karena pemerintah belum menyentuh sumber masalah yang ada di Papua. Hasil penelitian Tim Kajian Papua LIPI, yang dipublikasikan di dalam Papua Road Map (2009), menunjukkan ada empat akar persoalan di Papua, yaitu persoalan diskriminasi dan marjinalisasi; kegagalan pembangunan; pelanggaran HAM; serta sejarah dan status politik.
Pemerintah masih parsial dalam menyelesaikan persoalan Papua melalui percepatan pembangunan di Papua. Hal ini diwujudkan dalam pembangunan infrastruktur dan konektivitas untuk Papua, seperti pembangunan jalan Trans-Papua, sekolah-sekolah, dan juga fasilitas kesehatan. Dalam pemikiran Jakarta (baca: pemerintah pusat), pemenuhan nilai kesejahteraan bagi orang Papua akan menyelesaikan konflik.
Pendekatan pembangunan memang penting bagi orang Papua, tetapi ada persoalan lain di Papua yang tidak bisa diselesaikan hanya menggunakan pendekatan ini. Kompleksnya persoalan di Papua harus disentuh oleh pemerintah secara simultan karena keterkaitan antara satu persoalan dan persoalan lainnya.
Kompleksnya persoalan di Papua harus disentuh oleh pemerintah secara simultan karena keterkaitan antara satu persoalan dan persoalan lainnya.
Persoalan HAM bukan berarti hanya persoalan kekerasan, melainkan juga persoalan tidak terpenuhinya hak kebutuhan dasar, seperti kesehatan yang bersinggungan dengan hak hidup orang Papua. Dengan kata lain, persoalan diskriminasi dan marjinalisasi ini tidak hanya pada aspek ekonomi, tetapi juga bersinggungan dengan aspek sosial, budaya, dan politik.
Kerusuhan yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa pemerintah lupa bahwa persoalan diskriminasi, pelanggaran HAM, dan perbedaan persepsi terkait sejarah di Papua ini merupakan persoalan yang juga harus diselesaikan. Pendekatan militeristik selama masa Soeharto harus menjadi catatan penting terjadinya pelanggaran ini.
Dampaknya, orang Papua memiliki trauma dan memori pahit (memoria passionis) atas pendekatan tersebut. Dalam persepsi orang Papua, persoalan pelanggaran HAM yang terjadi masih menjadi ganjalan untuk perbaikan hubungan antara Papua dan Jakarta.
Kerusuhan yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa pemerintah lupa bahwa persoalan diskriminasi, pelanggaran HAM, dan perbedaan persepsi terkait sejarah di Papua ini merupakan persoalan yang juga harus diselesaikan.
Selain itu, persoalan sejarah ini juga masih menghantui hubungan Papua-Jakarta. Hal ini tecermin dalam tuntutan para pendemo untuk meminta referendum. Situasi ini terjadi akibat adanya perbedaan cara pandang orang Papua dan pemerintah memaknai sejarah integrasi Papua. Perbedaan pemaknaan ini hanya bisa dijembatani dengan dialog di dalam rumah Indonesia yang demokratis.
Dialog merupakan jalan untuk mencari solusi bersama atas persoalan di Papua. Dialog memang tidak bisa menyelesaikan persoalan di Papua secara instan dan langsung. Banyak pihak yang harus dilibatkan dan diajak berdialog, termasuk kelompok pro-kemerdekaan. Hal ini membutuhkan proses panjang. Namun, dialog ini akan mampu menjembatani perbedaan-perbedaan persepsi antara Jakarta dan Papua selama ini. Selain itu, dialog ini juga akan mengurangi ketidakpercayaan dan rasa saling curiga antara Jakarta dan Papua secara perlahan-lahan.
Kunjungan Panglima bersama dengan Kapolri ke Biak, Timika, dan Manokwari untuk bertemu dan mendengarkan tokoh-tokoh Papua dapat menjadi awal dari proses dialog ini. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Presiden Jokowi yang akan segera mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh Papua. Jika dialog ini dilakukan secara simultan dan berkelanjutan dalam bingkai NKRI, proses penyelesaian konflik di Papua akan semakin terbuka. Namun, dialog ini juga dengan catatan bahwa pemerintah akan membahas semua persoalan di Papua secara komprehensif, tanpa membatasi hanya untuk persoalan ekonomi.
Pemerintah juga harus konsisten dalam penyelesaian persoalan di Papua.
Dialog merupakan jalan untuk mencari solusi bersama atas persoalan di Papua. Dialog memang tidak bisa menyelesaikan persoalan di Papua secara instan dan langsung. Banyak pihak yang harus dilibatkan dan diajak berdialog, termasuk kelompok pro-kemerdekaan.
Penegakan hukum yang tegas bagi yang melakukan tindak persekusi dan juga pelaku tindak anarkistis. Hal ini harus dilakukan secara konsisten oleh penegak hukum dan harus dilaksanakan segera. Konsistensi ini juga bukan sesuatu yang mudah. Inkonsistensi ini sering kita lihat dalam penanganan persoalan di Papua.
Inkonsistensi ini mempertajam ketidakpercayaan dan rasa curiga terhadap pemerintah. Kita bisa melihat dalam pelaksanaan otonomi khusus, misalnya.
Diawali dengan pemekaran Provinsi Papua Barat, lamanya proses pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP), persoalan penetapan simbol daerah, hingga rencana pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang belum terealisasi hingga saat ini merupakan bentuk inkonsistensi pemerintah dalam melaksanakan otonomi khusus Papua.
Selain itu, inkonsistensi ini juga sering terlihat dari kementerian/lembaga pemerintah dalam menangani Papua sehingga pemerintah terlihat kurang serius mengupayakan penyelesaian persoalan Papua. Kondisi ini sering diakibatkan karena koordinasi antarkementerian/lembaga tidak jalan, ego sektoral yang masih sangat tinggi dari setiap kementerian/lembaga; dan juga masih ada yang belum berubah cara pandangnya dalam melihat persoalan di Papua.
Inkonsistensi ini sering kita lihat dalam penanganan persoalan di Papua. Inkonsistensi ini mempertajam ketidakpercayaan dan rasa curiga terhadap pemerintah.
Penyelesaian kasus Nduga juga akan dilihat sebagai komitmen dan keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan konflik di Papua. Konflik Nduga yang sudah berlangsung sejak Desember tahun lalu juga menjadi catatan banyak pihak yang menilai ketidakseriusan pemerintah dalam menangani persoalan di Papua. Penanganan konflik Nduga ini tidak bisa hanya diselesaikan dengan pengiriman aparat keamanan untuk mengatasi kelompok Organisasi Papua Merdeka di bawah Egianus Kogoya.
Di sisi lain, pendekatan ini juga mengakibatkan ketakutan dan trauma masyarakat sipil yang ada di daerah tersebut. Masyarakat harus meninggalkan rumah mereka demi keselamatan mereka. Mereka menjadi pengungsi di beberapa distrik tetangga, tetapi para pengungsi ini juga belum tertangani secara baik oleh pemerintah.
Kehadiran negara
Penyelesaian kasus Nduga secara serius oleh pemerintah dapat menjadi catatan baik pemerintah dalam penyelesaian persoalan di Papua. Keberhasilan ini juga dapat menumbuhkan rasa percaya dan perlahan-lahan memupus rasa curiga orang Papua terhadap pemerintah.
Situasi ini bisa menjadi bahan pendukung proses dialog sebagai upaya untuk mencari solusi bersama penyelesaian persoalan Papua. Keberhasilan ini juga dapat menjadi bentuk kampanye pemerintah untuk meyakinkan forum internasional bahwa pemerintah serius menangani persoalan Papua.
Konflik Nduga yang sudah berlangsung sejak Desember tahun lalu juga menjadi catatan banyak pihak yang menilai ketidakseriusan pemerintah dalam menangani persoalan di Papua.
Selain itu, negara harus hadir di Papua bukan dalam bentuk keberadaan aparat keamanan, melainkan negara harus hadir dalam bentuk pelayanan-pelayanan publik, seperti fasilitas kesehatan dan pendidikan, yang memang sesuai dengan kebutuhan orang Papua.
Hal ini memang dapat dipenuhi oleh program-program pembangunan yang selama ini telah dilakukan pemerintah, tetapi dengan catatan orang Papua harus dilibatkan dalam proses pembangunan tersebut.
Pelibatan ini dapat dilaksanakan melalui dialog untuk menjadikan orang Papua sebagai subyek dari pembangunan di Papua. Dialog yang setara akan bisa menjembatani keinginan dan kebutuhan orang Papua dengan pemerintah.
Dialog merupakan kunci bagi proses penyelesaian persoalan Papua secara simultan dan komprehensif karena keterkaitan persoalan satu dengan yang lain, tanpa direduksi hanya pada persoalan ekonomi.
Presiden Jokowi dan administrasinya harus menempatkan dialog yang setara dalam kerangka Indonesia yang demokratis untuk menuju Papua Tanah Damai. Hal ini membutuhkan kemauan politik dari Presiden Jokowi untuk mencegah konflik berkelanjutan di Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar