KOMPAS/ARYO WISANGGENI GENTHONG

Wartawan foto Kadir van Lohuizen menggelar pameran tunggal "Ke Mana Kita akan Pergi?" di Eramsus Huis, Jakarta, 14 Desember – 4 Februari 2017. Pameran foto jurnalistik itu menghadirkan cerita tentang para warga dunia yang didera kenaikan permukaan air laut, dampak dari pemanasan global yang terus mencairkan es di Greenland dan Antartika dan menambah volume air laut Bumi.

Berbagai negara di berbagai belahan dunia bergegas. Ke berbagai arah dan tujuan. Sebagian bergegas mengejar target penurunan emisi sebagai upaya menyelamatkan bumi-planet rumah bagi segala mahluk. Sebagian bergegas mengejar kesejahteraan dengan membangun. Membangun insfrastruktur, membangun jaringan perdagangan.

Di tengah ramainya perang dagang antara dua raksasa dunia, Amerika Serikat  dan China, serta dinamika pembangunan infrastruktur dan jalur perdagangan di Tanah Air, akan berlangsung ajang tebar janji untuk mengatasi perubahan iklim. Pekan terakhir bulan ini, 23 September, akan berlangsung Pertemuan Puncak Aksi Iklim 2019 (Climate Action Summit 2019) di Kantor Pusat PBB, New York. Sebuah pertemuan krusial, amat penting.

Bumi seisinya telah merasakan dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Setiap bulan dan setiap tahun. Emisi gas rumah kaca yang disetarakan dengan CO2terus meningkat. Juni lalu, emisi karbon telah mencapai 414,40 ppm (bagian per juta). Lebih dari dua pertiganya berasal dari 15 negara. Indonesia masuk dalam jajaran 10 negara pengemisi terbesar.

Emisi gas rumah kaca yang disetarakan dengan CO2terus meningkat. Juni lalu, emisi karbon telah mencapai 414,40 ppm (bagian per juta).

Kapan puncak emisi hingga akhirnya akan terus turun? Tidak jelas. Suhu Arktik naik 3 derajat celsius dibandingkan tahun 1990. Permukaan air laut terus meningkat, terumbu karang sekarat, Empat tahun terakhir adalah tahun terpanas dengan peningkatan tiap tahun.

Tanggal 23 September ini Sekjen PBB Antonio Guterres sebagai tuan rumah meminta para pemimpin perusahaan dan kepala negara/pemimpin pemerintahan datang dengan membawa rencana konkret dan realistis untuk meningkatkan kontribusi nasional pada 2020. Kontribusi ini harus seiring sejalan dengan target penurunan emisi gas rumah kaca 45 persen pada sepuluh tahun mendatang, dan emisi karbon nol pada 2050.

Guterres meminta empat komitmen, yaitu tak ada pendanaan dan konstruksi fasilitas berbahan bakar batubara mulai 2020; karbon netral atau emisi nol pada 2050; menghentikan subsidi 4,7 triliun dollar AS (Rp 68.150 triliun dengan kurs Rp 14.500) per tahun untuk bahan bakar fosil; bebankan pajak pada pelaku polusi atau pengemisi gas rumah kaca dan kurangi pajak masyarakat.

Permintaan ini pantas dilayangkan karena di New York bakal berkumpul para pemimpin dunia, sektor swasta, pemerintah daerah, organisasi internasional, masyarakat sipil. Selain itu ada setidaknya lima sektor yang disasar untuk mencapai target, yaitu transisi ke energi terbarukan; infrastruktur dan kota yang berkelanjutan dan berketahanan; pertanian dan tata kelola hutan dan laut yang berkelanjutan; ketahanan dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim; dan penyelarasan pendanaan publik dan swasta dengan ekonomi karbon netral.

Disadari benar bahwa peran swasta amat besar karena dampak ekonomi dan sosialnya besar, yaitu sebagai penyedia pekerjaan, dan penggerak bagi ekonomi inklusif, 84 persen Produk Domestik Brutto (PDB) dan 90 persen lapangan pekerjaan di negara berkembang. Sektor swasta tak boleh lagi dipandang sebagai penyebab emisi dan perusak lingkungan karena mengejar keuntungan.

Sektor swasta adalah pemilik teknologi. Saat ini telah tersedia teknologi baru rendah emisi dengan harga rendah. Energi surya dan kincir angin telah dikembangkan untuk penyediaan energi dan harganya pun terus menurun seiring perkembangan bisnisnya. Indonesia masih berkutat dengan angka di bawah 10 persen energi terbarukan untuk 2025.

Sektor swasta adalah pemilik teknologi. Saat ini telah tersedia teknologi baru rendah emisi dengan harga rendah.

Komitmen tertunda

Dalam Konferensi Perubahan Iklim Pertemuan Para Pihak (COP) ke-24 di Katowice, Polandia tahun lalu, Direktur Eksekutif  UN Global Compact Lise Kingo meminta para pelaku swasta dari berbagai sektor dan wilayah untuk memasang target pengembangan berbasis iptek untuk memenuhi ambisi, sejalan dengan target menahan kenaikan suhu global 1,5 derajat celsius – dibanding suhu era pra-industri.

DOK FRIENDS OF THE EARTH INTERNATIONAL

Para aktivis beraksi di lokasi Konferensi Perubahan Iklim ke-24 di Katowice Polandia (COP-24 UNFCCC), Sabtu (8/12/2018). Dalam aksi March for Climate "Wake up! It's Time to Save Our Home" ini mereka meminta negara-negara untuk menjalankan aksi serius mengingat kondisi bumi yang sudah darurat akibat pemanasan global.

Organisasi UN Global Compact merupakan jaringan terdiri dari 9.500 perusahaan swasta besar dan kecil. Menurut catatan Global Compact, sekitar separoh dari perusahaan dalam daftar Fortune 500 – daftar perusahaan-perusahaan besar AS. Tahun 2016, 190 perusahaan bisa berhemat 3,7 miliar dollar AS karena melakukan langkah-langkah pengurangan emisi.

Ketika pencapaian komitmen pelaku bisnis besar belum diketahui, di sisi lain mesin pembangunan terus memanas dengan diluncurkannya.

Di sisi lain, perkembangan pembangunan infrastruktur seperti yang terjadi di Indonesia dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, belum jelas dihitung berapa emisi yang dilepaskan karena hilangnya tutupan hijau baik dari hutan yang hilang atau lahan pertanian, terutama di Papua dan Kalimantan, juga Sumatera.

Perkembangan pembangunan infrastruktur seperti yang terjadi di Indonesia dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, belum jelas dihitung berapa emisi yang dilepaskan karena hilangnya tutupan hijau.

Selain itu Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) China bernilai triliunan dollar AS, Indonesia dijanjikan 40 miliar dollar AS, diperkirakan bakal menggagalkan target batas kenaikan 2 derajat celsius dari Kesepakatan Paris 2015. Hal ini terutama jika tak ada upaya pencegahan polusi dan emisi.

Sebanyak 126 negara yang masuk dalam lintasan BRI  mengemisikan 28 persen emisi global. Dengan kecenderungan yang ada saat ini, diperkirakan pada 2050 akan mencapai 66 persen emisi global. Penelitian tentang ini dilakukan sekelompok peneliti dipimpin Ma Jun, penasihat khusus China Central Bank.

"Jika BRI mengikuti kecenderungan historis pertambahan intensitas emisi karbon,.. kenaikan ini cukup untuk menaikkan suhu global hingga 2,7 derajat celsius.