Nasihat masa lalu yang mendunia itu terasa mendapatkan tempat yang tepat saat DPR periode 2014-2019 memasuki masa akhir tugasnya. Di pengujung masa pengabdiannya, wakil rakyat berniat menuntaskan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) tersisa, termasuk RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Apalagi, pembahasan RKUHP berlangsung lama. Rancangannya dibahas sekitar 46 tahun.
Kompas memuat berita "Departemen Kehakiman Menyiapkan RUU KUHP" pada 5 Juni 1973. RUU itu disiapkan untuk menggantikan UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, yang menjadi kodifikasi hukum pidana (KUHP) dan berlaku hingga kini.
Penyusunan RKUHP terus dilakukan pemerintah, dari masa ke masa, tetapi pembahasannya di DPR baru berlangsung empat tahun terakhir. RKUHP bisa jadi RUU yang terlama dipersiapkan, serta dibahas pemerintah dan parlemen. Karena itu, DPR dan pemerintah menginginkan agar RKUHP dapat disepakati pada September 2019, sekaligus menandai akhir masa tugas wakil rakyat periode 2014-2019.
Namun, masih banyak masalah yang membelenggu RKUHP untuk bisa disepakati dan diundangkan. RUU itu pun dinilai masih jauh dari asa rakyat, terutama untuk menjamin kebebasan publik. Singkatnya, RKUHP mengancam kebebasan.
Kebebasan pers terancam, demikian dituliskan Kompas, Selasa (3/9/2019). Tak hanya mengancam kemerdekaan pers, baik langsung maupun tak langsung, substansi dalam RKUHP juga mengancam kebebasan pribadi, dapat melemahkan penegakan hukum atas kasus pelanggaran hak asasi manusia berat, dan masih memasukkan pasal-pasal karet. Lentur.
RKUHP masih mencantumkan pasal penghinaan terhadap presiden, atau pasal haatzaai artikelen (penyebar kebencian) yang pada 2006 dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Padahal, saat merancang KUHP baru, pemerintah pun pernah menyatakan tak akan mencantumkan pasal haatzaai artikelen dalam RUU Hukum Pidana yang baru (Kompas, 7/8/1974). Jika pasal itu tetap dicantumkan, publik pun menilai terjadi sebuah kemunduran dalam pengaturan hukum pidana di negeri ini.
RKUHP memang mendesak diundangkan, sebab UU yang kini berlaku masih bertumpu pada aturan era Hindia Belanda. Apalagi, kita sudah mempunyai UU Nomor 8/1981 tentang (Kitab) Hukum Acara Pidana. Selama ini masalah pidana banyak diatur dalam UU tersendiri, dan tanpa payung hukum pidana yang terkodifikasi. Jika RKUHP bisa diundangkan, hal itu akan menjadi karya monumental pemerintah-DPR.
Namun, lepaskan dahulu keinginan untuk mewariskan karya monumental. Kalau masih ada rakyat yang keberatan, berarti ada persoalan yang belum tuntas. Ingat, kepentingan rakyat menjadi hukum tertinggi. RKUHP perlu dibahas lagi dengan tenang, dan tidak perlu dipaksakan menjadi undang-undang. Biarkan rakyat terlibat lebih banyak lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar