Meninggalkan kampung halaman tercinta, lalu melakukan perjalanan jauh tak menentu hingga ke negara asing, jelas tak menyenangkan. Terjebak dalam jerat penyelundup manusia, terkatung-katung di laut sepi serta hutan belantara, dialami para pengungsi dalam perjalanan. Sering kali para pengungsi sudah menyerahkan dana dalam jumlah besar kepada penyelundup manusia, tetapi janji hidup tenang dan mungkin sejahtera dari anggota kartel sama sekali tak terwujud.

Tidak sedikit dari pengungsi malah "terperangkap" di negara transit. Mereka tak bisa pergi ke mana-mana bertahun-tahun, tidak memiliki pekerjaan, hidup dari belas kasihan, dan tinggal di tempat tak layak. Penantian ditempatkan di negara tujuan pun tak jelas kapan terlaksana. Hidup suram tanpa masa depan. Demikian situasi para pengungsi saat berada di negara transit, termasuk Indonesia.

Berdasarkan data Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), hingga Mei 2019, ada 13.997 pengungsi di Indonesia. Separuh dari mereka berasal dari Afghanistan, negeri yang dilanda konflik serta kekerasan berkepanjangan. Dari hampir 14.000 pengungsi itu, hanya 556 orang telah diterima dan berangkat ke negara penempatan pada 2018.

Keberadaan pengungsi di Indonesia menyita perhatian kita akhir-akhir ini setelah DKI Jakarta menutup penampungan sementara di bangunan eks Kodim Kalideres, Jakarta Barat, 31 Agustus silam. Ada 1.152 orang yang tinggal di bangunan itu. Dilaporkan harian ini, Senin (2/9/2019), lebih kurang 500 orang di antara mereka berupaya bertahan karena menilai bantuan yang diberikan UNHCR tak cukup. Tiap keluarga pengungsi—terdiri atas 2-4 orang—mendapat Rp 1,3 juta.

UNHCR tampaknya hanya mampu memberikan jumlah itu. Seperti dalam wawancara dengan Kompas, Juli silam, Kepala Perwakilan UNHCR di Indonesia Thomas Vargas menyatakan, lembaga itu tengah mengalami kesulitan keuangan karena sumbangan yang diterima kurang dari separuh yang diperlukan. Di sisi lain, Indonesia tidak punya kewajiban menerima pengungsi. Penyebabnya, Indonesia belum meratifikasi Konvensi Internasional 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi.

Menyelesaikan akar masalah, yakni konflik di negara asal, memang ideal, tetapi memerlukan waktu sangat lama. Pada saat yang sama, ada puluhan juta orang meninggalkan kampung halaman, lari dari ancaman kematian serta penderitaan. Mereka sengsara di negara transit, hidup tanpa masa depan.