Presiden Joko Widodo baru saja mengangkat Prabowo Subianto sebagai menteri pertahanan dalam kabinet pemerintahannya. Langkah yang mengejutkan karena Prabowo adalah rival Jokowi dalam dua kali pemilu presiden. Banyak orang penasaran, bagaimana memahami lompatan keduanya dari "lawan" menjadi "kawan"?
"Kemudian Menteri Pertahanan, Bapak Prabowo Subianto," kata Jokowi sambil duduk berdampingan dengan Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin di tangga Istana Negara, Jakarta. Ada 34 menteri dan empat pejabat setingkat menteri yang diumumkan, Rabu (23/10/2019) pagi yang cerah itu. Semuanya mengenakan batik dan sama-sama duduk di tangga. Suasana santai.
Begitu namanya disebut, Prabowo berdiri, lantas memberi hormat. Jokowi melanjutkan sapaannya, "Selamat pagi, Pak. Saya kira (tentang) tugas beliau, saya tidak usah menyampaikan. Beliau lebih tahu daripada saya." Para hadirin tertawa kecil.
Pengumuman ini men-ta'kid-kan penjelasan Prabowo sehari sebelumnya, seusai memenuhi panggilan Jokowi di Istana Negara. "Saya baru saja menghadap Bapak Presiden RI… Saya diminta membantu beliau di bidang pertahanan," katanya, Senin (21/10/2019) sore.
Ketua Umum Partai Gerindra itu datang bersama kader Gerindra, Edhy Prabowo. Keduanya mengenakan baju putih dipadu celana hitam, busana khas menteri-menteri Jokowi. Esok harinya, Prabowo diumumkan menjadi menhan, sementara Edhy Prabowo menjadi menteri kelautan dan perikanan, menggantikan Susi Pudjiastuti.
Sebenarnya gejala Prabowo bakal berkoalisi dengan Jokowi sudah terdeteksi sejak beberapa waktu sebelumnya. Selepas pemilu, Jokowi-Prabowo janjian bertemu di Stasiun KRL Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Sabtu (12/7/2019). Keduanya mengobrol akrab dan berlanjut hingga makan siang bersama di FX Sudirman, Senayan, Jakarta.
Tak lama berselang, Prabowo bertandang ke rumah Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, di Jalan Teuku Umar, Jakarta, Rabu (24/7/2019). Keduanya menikmati nasi goreng buatan Megawati. Prabowo kemudian menemui Presiden Jokowi di Istana Negara, Jumat (11/10/2019). Saat Jokowi-Amin dilantik sebagai presiden-wapres di Gedung MPR, Jakarta, Minggu (20/10/2019) sore, Prabowo juga hadir.
Dalam beberapa pertemuan itu, Prabowo hampir selalu memberikan sinyal positif untuk mendukung dan bekerja sama dengan pemerintahan Jokowi. Sinyal itu akhirnya menjadi kenyataan saat Prabowo benar-benar diumumkan dan dilantik menjadi menteri pertahanan dalam Kabinet Indonesia Maju. Namun, tetap saja, koalisi ini terasa mengejutkan.
Mengagetkan, tapi pernah diramalkan
Sebagian publik memang kaget dengan masuknya Prabowo dalam kabinet Presiden Jokowi. Reaksi yang wajar. Maklum, masih hangat dalam ingatan kita, betapa keras kedua pemimpin itu bertarung dalam dua kali pemilu presiden, yaitu tahun 2014 dan 2019. Televisi menyiarkan secara langsung debat antarcapres yang sengit, adu data, dan saling serang gagasan.
Masyarakat pun terbelah dalam dua kubu dan masing-masing memiliki pendukung militan. Pergulatan tak hanya berlangsung di lapangan nyata, tetapi—yang lebih seru—juga di dunia maya (media sosial). Di medsos, tiap-tiap kubu menyerang kubu lawan dengan kiasan hewan: "cebong" untuk pendukung Jokowi, "kampret" untuk pendukung Prabowo.
Saking getol berkampanye demi keunggulan capres masing-masing, sejumlah pendukung tak segan menyerang lawan dengan menebarkan kabar bohong (hoaks), fitnah, dan ujaran kebencian di medsos. Akibatnya, sejumlah orang terjerat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Beberapa orang kemudian diadili, terbukti bersalah, dan dipenjara.
Dalam kehidupan nyata, tak sedikit hubungan pertemanan dan keluarga rusak gara-gara beda pilihan capres. Debat keras meletup dalam berbagai forum. Sebagian debat itu memicu pertengkaran, bahkan duel yang menyebabkan luka dan kematian.
Dengan latar belakang demikian, maka kabar—yang kemudian menjadi kenyataan—koalisi Jokowi-Prabowo bikin penasaran. Reaksi ini terbaca jelas pada linimasa (timeline) medsos, terutama di Twitter, Facebook, dan Instagram.
Warga internet (internet citizen)bertanya-tanya, kok bisa dua capres yang asalnya berhadapan sebagai lawan dalam dua kali pilpres tetiba bisa berkawan dalam satu koalisi pemerintahan? Bagaimana bisa Prabowo, yang awalnya merupakan lawan tanding dan kalah dalam pemilu, kemudian bersedia menjadi menteri yang merupakan pembantu atau bawahan Presiden Jokowi?
Saat Prabowo menghadap Presiden Jokowi, Senin sore, kata kunci "Menhan" dan "Pak Prabowo" menjaditrending topic (obrolan hangat yang memuncaki percakapan) di Twitter, mengiringi tagar populer seperti #KabinetJokowi dan #KabinetIndonesiaMaju. Linimasa dipenuhi berbagai komentar.
Pemain film Kirana Larasati, misalnya, menilai koalisi Jokowi-Prabowo sebagai sesuatu yang aneh. Lewat akun @_kiranalara, dia mencatat, "Melihat pak Prabowo jadi anak buahnya pak Jokowi tuh rasanya lucu lucu gimana gitu.."
Warganet lantas mengunggah kembali video yang pernah viral pada Mei 2016, saat Presiden Jokowi mengunjungi pondok pesantren di Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah. Video memperlihatkan dialog antara Jokowi dan seorang santri.
Kata Presiden, "Sebutkan tiga saja nama menteri, nama pendeknya gak papa, boleh." Santri menyahut dengan suara keras, "Nomor 3, Prabowo…" Forum itu pun langsung pecah, termasuk Jokowi sendiri yang terkekeh-kekeh. Sambil terus tertawa dan memeluk pundak santri itu, dia lantas menunjuk. "Sudah, ambil sepedanya…."
Profesor statistik Institut Pertanian Bogor (IPB), Khairil Anwar Notodiputro, mengunggah kembali potongan video itu di akun Twitter-nya, @kh_notodiputro. "Rupanya nasib pak Prabowo akan menjadi menteri itu sudah diramal oleh santri cilik ini…. Ahli polling yang masyhur Dr @BurhanMuhtadi saja nampaknya belum sempat memprediksinya," catatnya.
Akun @Nugarislucu mentranskrip video itu. "Sebutkan 3 nama menteri…." "….3. Prabowo" dan tawapun meledak. "Kalian pikir ini guyonan?" Kata malaikat. Kicauan ini mendapatkan ribuan retweets, likes,dan komentar.
Video itu pun sontak menyebar ke kelompok-kelompok percakapan di grup Whatsapp. Publik menangkapnya dengan rasa geli, heran, sekaligus takjub. Saat video itu viral tiga tahun silam, omongan santri itu dianggap menggelikan karena jelas-jelas salah. Kini, tiba-tiba jawaban yang "aneh" dari santri itu bak ramalan antah-berantah yang terbukti menjadi kenyataan.
Kini, tiba-tiba jawaban yang aneh dari santri itu bak ramalan antah-berantah yang terbukti menjadi kenyataan.
Pengasuh Ponpes API Tegalrejo, Kabupaten Magelang, KH M Yusuf Chudlory merespons dengan menyitir lirik lagu yang lagi tenar. "Entah apa yg merasuki dirimu ….?" catatnya lewat akun @yusuf_ch.
Soal ramalan, ternyata ada juga rekaman percakapan politisi PDI-P, Adian Napitupulu, yang pernah menyindir, tampaknya Prabowo lebih pas menjadi menteri ketimbang presiden.
Video ini diunggah kembali oleh akun @GuritnaPramana, "Adian Napitupulu ternyata Jago terawang kelas wahid dan pengamat politik tingkat Dewa. Siapa bisa bayangin sebelumnya, kalau omongannya menjadi kenyataan bahwa Prabowo akan menjadi menteri Jokowi."
Kecewa vs senang
Setelah kaget, bagaimana respons warganet selanjutnya atas koalisi Jokowi-Prabowo? Sebagian warganet cenderung mengkritik langkah tersebut. Bagi mereka, pemilu presiden adalah proses demokrasi untuk menentukan pemimpin nasional selama lima tahun berikutnya. Siapa pun pemenang pilpres berkesempatan menyusun kabinet dan menjalankan pemerintahan tanpa mesti melibatkan capres yang kalah. Sebaliknya, pihak yang kalah didorong memfungsikan diri sebagai oposisi yang mengontrol pemerintah.
Pengurus Cabang Istimewa NU (PCINU) Amerika, Akhmad Sahal, menganggap keputusan Jokowi mengakomodasi Prabowo sebagai langkah yang membuat proses pemilu seakan sia-sia belaka. Lewat akun @sahaL_AS, dia mencuit, "Pemilu itu untuk mencegah yang terburuk berkuasa. Dan itu artinya, setelah pemilu pun, yang terburuk tak usah diajak berkuasa. Kalau yang terburuk diajak berkuasa juga, berarti pemilunya sia-sia, karena tidak bisa mencegah yang terburuk berkuasa. Muspro!!"
Profesor peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, menyebut koalisi itu sebagai ironi. Melalui akun @sy_haris di Twitter, dia bilang, "Pemilu 2019 habiskan dana puluhan triliun rupiah. Ratusan petugas pemilu dan aparat jadi korban tewas. Tak terhitung yang terluka secara fisik dan juga tersakiti karena perbedaan pilihan. Tapi seusai pemilu, kekuasaan akhirnya dibagi-bagi antara yang menang dan yang kalah. Ironis."
Bagi Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya, terlalu berlebihan jika menilai langkah Jokowi dan Prabowo sebagai sikap kenegarawanan. Koalisi itu, setidaknya untuk saat ini, masih terlihat sebagai transaksi politik belaka.
"Jokowi mau merangkul prabowo disebut negarawan, Prabowo mau menjadi menteri jokowi juga disebut negarawan… Itu namanya transaksi politik woiiiii…." katanya melalui akun @yunartowijaya.
Reaksi beragam diperlihatkan pendukung Jokowi ataupun Prabowo. Ada yang terus terang menyatakan kecewa, sebagian lagi senang, sebagian lain berusaha untuk memahaminya.
Pegiat medsos Denny Siregar, yang selama ini dikenal getol mendukung kampanye Jokowi, mencoba menenangkan pendukung Jokowi yang kecewa. Dalam akun @Dennysiregar7, dia bilang, "Teman-teman pendukung @jokowi, gak usah berwajah kesal gitu lihat pak @prabowo mau jadi Menteri di kabinet kerja. Tolong jaga dong perasaan @fadlizon @rockygerung @Dahnilanzar @TofaLemonTofa yang belum terima kenyataan bahwa Capresnya mau jadi Menteri dari orang yang dulu mereka hina-hina."
Akun @mas__piyuuu, yang selama ini aktif menyokong Prabowo, melihat perkembangan politik terbaru sebagai kabar gembira. "Prabowo Bisa Buat Pertahanan Indonesia Disegani Dunia."
Ada juga warganet yang mencoba melihat situasi ini dengan cara unik. Apa yang dilakukan Jokowi dan Prabowo dianggap sebagai bagian dari proses rekonsiliasi di antara dua orang yang pernah berkompetisi keras dalam politik. Semangat kerja sama keduanya diharapkan juga merembes ke akar rumput sehingga masyarakat yang sempat terbelah selama pemilu dapat bersatu kembali sebagai sesama warga negara.
Akun @Dwiyana_DKM, contohnya, menyoroti kesulitan Prabowo dalam menempatkan diri sekarang. Bayangkan saja, awalnya menjadi rival yang setara dengan Jokowi, kini dia menjadi bawahan presiden tersebut. Ini seperti membuktikan komentar KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pernah menyebut Prabowo sebagai orang paling ikhlas.
Dalam video yang diunggah @Dwiyana_DKM, Gus Dur bilang, bahwa orang yang paling ikhlas kepada rakyat Indonesia itu Prabowo. "Banyaklah yang dia bikin yang menunjukkan betapa dia ikhlas betul kepada rakyat Indonesia."
Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Masyarakat Indonesia Singapura (FKMIS) Ericssen Wen mengandaikan langkah Jokowi bagai strategi permainan catur. Dia juga menyitir teori lama bahwa dalam politik tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Hanya kepentinganlah yang abadi.
"Jokowi is playing 4D Chess. He is a true Machiavellian Javanese King. This is quite a game, politics, no permanent friends, no permanent enemies, only permanent interests," katanya lewat akun @EricssenWen.
Tweet penggiat stand up komedi Pandji Pragiwaksono, yang menyindir Jokowi sebagai sahabat sejati Prabowo, dapat ribuan retweets dan likes. "Pak Prabowo jadi Menteri membuat beliau jadi masih relevan untuk 2024 nanti. Udah mah kalau nyapres jaminan dapat suara 40-an%, namanya bakal kesebut-sebut terus sampai akhir periode ini. Plus: jadi punya rekam jejak kepemimpinan sipil. Pak Jokowi memang sahabat sejati," ungkapnya pada akun @pandji.
Teater politik
Dari banyak percakapan di medsos, ada satu komentar yang menyitir "teater" politik. Adalah Saiful Mujani, pendiri Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), yang menyindir koalisi Jokowi-Prabowo itu dengan menyebut karya Clifford Geertz,Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali (1980). Dalam akun @saiful_mujani, dia mencuit, "Kaya Geertz's Negara: the theatre state di bali abad 19? Negara itu teater ya? ampuuun."
Kita tahu, Clifford Geertz, antropolog asal Amerika Serikat, pernah mengkaji kehidupan negara di Bali sebelum masa pendudukan kolonial tahun 1906. Dia menyimpulkan, pemerintahan lokal di Bali saat itu tak dapat dimengerti dengan teori pemerintahan modern, tetapi dipahami sebagai suatu teater yang diorganisasi untuk mendramatisasi obsesi-obsesi kelas penguasa.
Tidak persis sama dengan fenomena kerajaan di Bali, tapi setidaknya manuver Jokowi-Prabowo juga mempertontonkan pentas teater. Ada pemain dengan watak yang bisa bergeser, plot, tegangan yang berujung klimaks atau antiklimaks, dan hubungan yang berubah-ubah di antara dua tokoh itu. Semua itu menggambarkan rekam jejak hubungan kedua tokoh tersebut dalam menjalani "akrobat politik" yang luwes.
Ingat saja, pada Pilkada 2012, Prabowo bersama Megawati menyokong Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk maju memperebutkan kursi gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta. Menang. Dua tahun kemudian, dalam Pemilu Presiden 2014, Jokowi berbalik melawan Prabowo. Melalui pertarungan sengit, Jokowi menang.
Jokowi menuntaskan kekuasaannya sebagai presiden selama lima tahun. Pada Pemilu Presiden 2019, dia kembali berhadapan dengan Prabowo dan memenangi kompetisi politik itu untuk kali kedua. Laga juga berlangsung keras. Namun, seusai kemenangannya, Jokowi malah mengajak Prabowo—yang kalah dalam pilpres—untuk bergabung dalam kabinet pemerintahannya.
Bukankah perilaku Jokowi-Prabowo bagai pertunjukan teater? Suatu saat mereka berkoalisi, kali lain berkompetisi, lantas berkompetisi lagi, tetapi kemudian malah berkoalisi kembali.
Bukankah perilaku Jokowi-Prabowo bagai pertunjukan teater? Suatu saat mereka berkoalisi, kali lain berkompetisi, lantas berkompetisi lagi, tetapi kemudian malah berkoalisi kembali. Bersamaan dengan hubungan yang dinamis itu, keduanya menampilkan gerak dan gestur yang bermacam-macam: senang, tegang, sedih, dingin, tertawa, dan datar-datar saja. Semua itu diperagakan di atas panggung politik nasional dengan akhir sulit ditebak.
Lakon Jokowi-Prabowo ini ditangkap dan diungkapkan warganet, Daniel Giovanni, lewat akun @qronoz. Dia lampirkan foto-foto hubungan keduanya itu dengan catatan, "Prabowo dari masa ke masa."
Pertanyaan lanjutan, siapa paling diuntungkan oleh koalisi ini? Sejauh ini, keduanya sama-sama menangguk untung. Bagi Prabowo, jabatan menteri memungkinkannya untuk mendapatkan panggung sebagai pejabat publik. Jika mampu bekerja apik, dia bakal memperoleh penilaian positif dari publik. Ini tentu menjadi modal berharga jika dia hendak maju lagi dalam Pemilu Presiden 2024.
Saat bersamaan, Jokowi juga meraih energi positif. Dengan Prabowo di jajaran kabinet, maka koalisi pemerintahannya kian kokoh dan kekuatan oposisi terhadap pemerintah berkurang. Jika pun Prabowo masih dianggap "lawan", setidaknya lawan itu kini berada dalam jangkauan kontrol Jokowi. Ini selaras dengan teori strategi militer lama (yang identik dengan pesan Jenderal China Sun Tzu), keep your friends close but keep your enemies closer…. Dekati teman-temanmu, tapi lebih dekati lagi musuh-musuhmu.
Lalu, apakah koalisi ini bakal bertahan hingga pemerintahan Jokowi kelar 2024? Atau jangan-jangan koalisi dapat direkatkan lagi pada Pemilu 2024? Masih sulit dipastikan. Bisa jadi koalisi berlanjut dengan beberapa skenario yang melibatkan Partai Gerindra dan PDI-P karena Jokowi sudah tidak mungkin lagi maju sebagai capres. Tak tertutup kemungkinan, situasi politik berubah dan keduanya "berpisah" lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar