Jokowi dilantik untuk jabatan periode kedua di tengah kabut asap yang masih menyelimuti sebagian Sumatera.
Ini membawa kita pada pelantikannya yang pertama di 2014. Pada 2015, kebakaran hutan dan lahan hebat membakar 2,6 juta hektar lahan dengan kerugian Rp 200 triliun lebih. Proses perubahan nomenklatur sektor lingkungan hidup dan kehutanan yang masih berjalan ditambah El Nino yang cukup intensif membuat Indonesia tak siap menghadapinya.
Untungnya, kesigapan Presiden membentuk Badan Restorasi Gambut serta memperkuat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan penegakan hukum yang mumpuni memberikan dampak positif. Moratorium izin baru pelepasan wilayah hutan dan lahan gambut serta moratorium perluasan perkebunan sawit juga memberikan dampak positif pada pelambatan kerusakan hutan. Bahkan, moratorium ini baru saja dibuat "permanen" (sebetulnya hanya membuat batas akhir moratorium jadi open ended.) Sampai tahun lalu, kebakaran dan kabut asap berkurang sangat drastis.
Untuk masa bakti kedua ini, Presiden harus memperhatikan risiko ini saat melakukan bongkar pasang nomenklatur sektor lingkungan hidup di kabinetnya. Proses penyesuaian harus memperhatikan gejala alam dan sosial di luar yang membutuhkan respons institusional yang tepat. Jangan sampai saat mesti merespons, lembaga tak siap. Mengapa nomenklatur harus dibongkar pasang? Karena kesederhanaan penggabungan sektor lingkungan hidup dan kehutanan ternyata membawa permasalahannya sendiri.
Untuk masa bakti kedua ini, Presiden harus memperhatikan risiko ini saat melakukan bongkar pasang nomenklatur sektor lingkungan hidup di kabinetnya.
Seperti apa pembongkarpasangan ini semestinya? Pertama, urusan izin lahan. UU Kehutanan mendefinisikan "wilayah hutan" melalui keputusan menteri, termasuk perubahan yang terjadi sesudahnya. UU ini dikoreksi oleh MK pada 2012 untuk mengeluarkan lahan adat dari wilayah hutan. Aturan ini membuat dua pertiga wilayah darat Indonesia dikuasai KLHK dalam bentuk konsesi.
Hanya sepertiga sisanya, yang oleh aturan kehutanan secara ironis disebut "area penggunaan lain" (APL), dikuasai Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Bagaimana bisa menteri yang mengurusi lingkungan hidup juga mengurusi bagi-bagi lahan? Untungnya, di periode Jokowi, hampir tak ada wilayah hutan yang diberikan kepada korporasi besar.
Kedua, urusan perkebunan dan hutan produksi. Untuk maksud pembukaan lahan untuk berkebun, ada dua cara. Pertama, seperti yang terjadi dengan kebun sawit, lahan itu dikeluarkan dari wilayah hutan jadi APL. Wilayah ini lalu dikelola swasta di bawah aturan Kementerian Pertanian. Kedua, seperti terjadi dengan kebun akasia atau eukaliptus untuk bahan kertas atau untuk diambil kayunya, lahan itu dipinjamkan dan dikelola swasta tetapi di bawah aturan KLHK. Ini juga bermasalah. Bagaimana bisa menteri yang mengurusi lingkungan hidup mengurusi penebangan hutan dan pengalihan hutan jadi kebun?
Ini juga bermasalah. Bagaimana bisa menteri yang mengurusi lingkungan hidup mengurusi penebangan hutan dan pengalihan hutan jadi kebun?
Ketiga, pengelolaan isu lingkungan hidup global penting seperti perubahan iklim. Pada nomenklatur yang ada sekarang, posisi kepemimpinan hubungan luar negeri untuk isu perubahan iklim memperlihatkan overlap antara Menteri LHK dan Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim (UKP-PPI). Walaupun ke luar dua lembaga ini mengesankan penguatan yang signifikan, koordinasi ke dalam ternyata menimbulkan gesekan. Padahal, perubahan iklim, atau krisis iklim, adalah isu yang juga harus diperkuat di dalam negeri. Siapa yang bertugas ke luar dan siapa yang ke dalam, dan bagaimana koordinasinya, mestinya bisa dilakukan dengan lebih baik.
Terakhir, masalah restorasi dan pengelolaan lahan gambut. Lahan gambut adalah sebuah ekosistem strategis yang sangat unik dan penting. Dia harus dipelihara agar tetap basah dan tertutup pepohonan karena jika kering dan terdegradasi, risiko kebakaran sangat tinggi. Ada 15 juta hektar lahan gambut di Indonesia, sekitar 7 juta hektar di antaranya sudah terdegradasi, termasuk yang terbakar pada peristiwa kebakaran hebat tahun 2015. Lebih dari 2,6 juta hektar saat ini dimasukkan ke dalam wilayah yang dimandatkan restorasinya kepada BRG.
Sekitar 1,5 juta hektar di antaranya telah terbebani izin konsesi, dengan demikian berada di bawah pengawasan KLHK, dan dengan demikian otoritas BRG terbatas oleh otoritas pengawasan konsesi oleh KLHK. Hanya sisanya 1,1 juta hektar yang dapat diintervensi langsung oleh BRG.
Pada nomenklatur yang ada sekarang, posisi kepemimpinan hubungan luar negeri untuk isu perubahan iklim memperlihatkan overlap antara Menteri LHK dan Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim (UKP-PPI).
Perubahan nomenklatur
Agar isu lingkungan hidup bisa dikelola baik, perlu perubahan nomenklatur sektor lingkungan hidup di periode kedua Jokowi. Pertama, izin lahan mesti dikeluarkan dari portofolio KLHK. Seluruh izin lahan mesti di bawah satu atap, ATR/BPN adalah atap paling tepat untuk mengelolanya. Pada masa lalu, izin lahan memiliki moral hazard tinggi dan dianggap tempat "basah" yang mengundang korupsi. Dengan ditempatkan di satu atap, pengawasan jadi lebih mudah.
Kedua, pengelolaan kebijakan dan aturan perkebunan dan hutan produksi digabungkan jadi satu, mungkin di bawah Kementan. Bisa jadi, perlu dibentuk ditjen baru di bawahnya, Ditjen Hutan Produksi. Dari sisi pengelolaan perkebunan dan kehutanan, pengelolaan perkebunan sawit dan akasia tak banyak bedanya.
Ketiga, "moratorium permanen" diperkuat jadi "perlindungan permanen". Ini termasuk wilayah yang saat ini ada di peta moratorium dan wilayah lahan gambut yang harus dilindungi. Beberapa mungkin overlap. Wilayah perlindungan permanen ini juga ditambah wilayah nonpermanen tetapi memiliki fungsi restorasi ekosistem dan konservasi (melalui izin restorasi ekosistem, penyerapan dan penyimpanan karbon, serta izin layanan ekosistem selain pariwisata). Semua wilayah ini tetap di bawah KLHK.
Seluruh izin lahan mesti di bawah satu atap, ATR/BPN adalah atap paling tepat untuk mengelolanya. Pada masa lalu, izin lahan memiliki moral hazard tinggi dan dianggap tempat "basah" yang mengundang korupsi.
Keempat, peran BRG mesti diperluas dan diperkuat jadi sebuah otoritas pengelola lahan gambut yang memiliki kewenangan koordinasi, kebijakan dan peraturan, serta anggaran dan pengelolaan pendanaan. Wilayah pengelolaan lahan gambut yang jadi portofolionya harus mencakup seluruh 15 juta ha lahan gambut di Indonesia. Posisi kepala BRG jika lembaga independen mesti langsung di bawah Presiden dengan kewenangan independen. Perangkapan jabatan dengan Menteri LHK bisa menjadi pertimbangan.
Kelima, jika peran UKP-PPI tak digabungkan dengan KLHK, pembagian perannya harus jelas, dengan pertimbangan Menteri LHK mengelola isu perubahan iklim pada cakupan domestik, sementara UKP-PPI pada cakupan internasional. Koordinasi kedua pejabat negara ini harus lebih terdefinisi jelas. Dengan banyaknya portofolio kegiatan pengendalian lingkungan, perubahan iklim, dan pengelolaan lahan gambut, dan dengan kemungkinan penggabungan jabatan negara ini, dapat dipertimbangkan dibuatnya posisi wakil menteri di KLHK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar