ARSIP PRIBADI

Samsuridjal Djauzi

Saya penderita darah tinggi. Setiap bulan saya kontrol ke dokter langganan di rumah sakit tak jauh dari rumah. Saya sudah ditangani oleh dokter ini lebih dari 5 tahun. Tekanan darah tinggi saya terkendali sekitar 130/85, tetapi saya harus minum obat penurun darah tinggi setiap hari. Kata dokter, jantung saya sedikit membengkak, tetapi pembuluh darah koroner cukup baik.

Saya berumur 55 tahun dan tahun depan akan pensiun dari perusahaan swasta tempat saya bekerja. Dokter saya cukup ramah meski cenderung pendiam. Dia memberi penjelasan yang mudah dimengerti, tak segan menegur saya jika tak minum obat hipertensi. Saya memahami bahwa hipertensi yang tak dikendalikan dapat mengakibatkan gangguan ginjal, pembuluh darah mata, otak, dan jantung. Saya sendiri punya alat pengukur tekanan darah dan memang jika saya tidak minum obat satu minggu saja, tekanan darah saya mulai naik kembali.

Saya merasa cukup puas berkonsultasi dengan dokter saya ini, tetapi saya merasakan perubahan sikap beliau dalam memberikan surat sakit. Terus terang, jika merasa kelelahan atau saya sibuk bantu istri berdagang, saya membolos kerja. Biasanya saya mudah mendapat surat keterangan sakit dari dokter saya dengan alasan saya sakit. Biasanya dokter saya hanya memberi surat keterangan sakit satu atau dua hari saja.

Namun, belakangan ini dokter saya tidak mau lagi memberi surat keterangan sakit jika saya minta. Beliau hanya bersedia memberikan jika beliau memang memeriksa saya dalam keadaan sakit dan dianjurkan untuk istirahat rumah. Dokter saya menjelaskan bahwa sekarang surat keterangan sakit yang diberikan dokter harus diberikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Meski sudah jadi langganan dokter cukup lama, dokter tak dapat begitu saja mengeluarkan surat keterangan sakit. Dokter harus yakin, kalau mungkin, menyaksikan sendiri pasiennya memang sakit. Lama surat sakit juga sekarang diperhatikan, tak boleh melebihi ketentuan.

Saya kurang paham mengapa dokter saya sekarang kurang bersahabat dengan pasien. Apakah memang ada aturan yang mengharuskan dokter berhati-hati dalam mengeluarkan surat keterangan sakit? Terima kasih atas penjelasan Dokter.

M di J

Seorang dokter sebelum menjalankan praktik kedokteran harus mengucapkan sumpah yang menjadi pegangan baginya menjalankan praktik kedokteran. Di antara isi sumpah dokter tersebut adalah sumpah untuk menghormati kehidupan, membaktikan diri untuk kemanusiaan, menjaga kerahasiaan, menjalankan praktik kedokteran secara berintegritas, menghormati hak-hak pasien, dan memperlakukan pasien dengan baik. Latar belakang agama, kedudukan sosial, serta ras pasien tidak menjadi penghalang untuk melakukan pelayan yang baik.

Dokter juga bersumpah untuk menghormati guru dan memperlakukan sesama dokter sebagai saudara kandung. Dokter juga harus mengemukakan kebenaran sehingga segala sesuatu yang dilakukannya hendaklah berdasarkan kebenaran. Termasuk dalam hal memberi surat keterangan sakit, dokter hanya dapat memberikan surat keterangan tersebut jika pasien benar-benar sakit.

Masyarakat akan memercayai dokter karena masyarakat memahami dokter menjalankan praktik kedokteran didasari oleh sumpah dokter yang luhur. Masyarakat termasuk pasien perlu menjaga agar dokter tidak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan sumpahnya tersebut. Jika pasien berhalangan kerja atas alasan sesuatu, janganlah minta surat sakit ke dokter karena ini akan menyebabkan dokter memberi keterangan palsu.

Sebaliknya, jika benar sakit, adalah kewajiban dokter untuk menganjurkan pasien beristirahat. Jika dokter memberi keterangan sakit bukan pada keadaan pasien sakit, secara tak langsung surat tersebut merugikan perusahaan atau instansi tempat pasien bekerja. Begitu juga jika dokter menegur pasien yang tak minum obat, teguran tersebut bertujuan agar keberhasilan pengobatan dapat dicapai. Masyarakat sering beranggapan, dokter yang tidak pernah marah merupakan dokter yang baik.

Namun, untuk kepentingan pasien, dokter akan menegur pasien agar meminum obatnya secara teratur. Dewasa ini banyak penyakit kronik seperti diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit jantung koroner yang memerlukan kepatuhan minum obat. Keberhasilan pengendalian penyakit-penyakit tersebut dipengaruhi oleh ketaatan pasien mengonsumsi obat secara teratur.

Adakalanya perusahaan yang membiayai pengobatan pasien menanyakan diagnosis penyakit karyawannya. Atasan pasien atau bagian personalia merasa wajar mengetahui diagnosis penyakit karyawannya karena kepentingan penugasan, juga karena perusahaan merasa telah membiayai pengobatan. Namun, dokter berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan penyakit pasiennya.

Kewajiban untuk menjaga kerahasiaan inilah yang mendorong pasien berani mengungkapkan perilaku yang dirahasiakannya hanya kepada dokter. Pasien percaya bahwa dokter tak akan membuka rahasia penyakitnya. Hendaknya sebagai atasan kita memahami kewajiban tersebut. Sudah tentu untuk kepentingan tugas bersama dapat ditanyakan berapa hari kira-kira perawatan atau istirahat di rumah diperlukan, tetapi bukan diagnosis penyakitnya.

Apakah orang terdekat pasien, pasangan hidup, atau keluarga boleh mengetahui diagnosis penyakit pasien? Dokter tetap harus merahasiakan diagnosis penyakit pasien kecuali pasien sendiri tak keberatan untuk dibuka.

Memang tak semua pekerjaan dokter dipahami oleh masyarakat sehingga dapat timbul salah persepsi tentang sikap dokter tersebut. Wartawan biasanya gencar bertanya tentang penyakit seseorang, terutama selebritas. Mereka berharap sang dokter dapat memberi keterangan lengkap, termasuk hal-hal yang sebenarnya harus dirahasiakan. Wartawan sering beranggapan, dokter merupakan sumber berita yang tertutup, kecuali wartawan yang memahami kewajiban dokter untuk menjaga kerahasiaan.

Ada tiga hal yang sering kurang dipahami masyarakat mengenai kewajiban dokter, yaitu persetujuan tindak medis, rekam medis, dan rahasia kedokteran. Untuk melakukan tindak medis, seperti melakukan operasi, dokter harus meminta persetujuan tindak medis. Pasien dan keluarga mendapat penjelasan mengapa perlu dilakukan tindak medis tersebut, manfaat, serta risikonya.

Setelah memahami, barulah pasien memberikan persetujuannya. Rekam medis berisi catatan medis mengenai penyakit pasien, hasil laboratorium, obat-obatan, dan lain-lain. Adakalanya untuk memudahkan kunjungan berikut pasien membawa pulang rekam medis. Ini tak dibolehkan. Isi rekam medis memang merupakan hak pasien, tetapi buku rekam medis adalah kepunyaan rumah sakit dan harus disimpan rumah sakit secara baik.

Dalam era kesadaran akan hak pasien serta hak masyarakat, dokter harus semakin hati-hati dalam menjalankan tugasnya. Dokter tidak boleh membuat surat keterangan yang tidak benar meski untuk kepentingan pasiennya. Sebaliknya, dokter juga harus menghargai bahkan membela hak-hak pasiennya sehingga pasien, didampingi dokternya, dapat mencapai kesembuhan.