Dipilihnya Nadiem Makarim menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memunculkan reaksi beragam. Sebagian menganggap ini pilihan genial. Namun, tidak sedikit yang ragu, bahkan memandang sinis pilihan itu.
Memilih Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebenarnya Jokowi banget. Kita sempat terkaget-kaget. Namun, bukankah sudah beberapa tahun ini kita sering melihat cara dan pilihan Jokowi yang "tidak biasa" (out of the box)? Bukankah cara dan pilihan yang tidak biasa ini menunjukkan betapa sesungguhnya kita telah lama tidak menyadari keterjebakan kehidupan berbangsa yang mandek?
Seperti pidato pertama setelah dilantik menjadi presiden periode kedua, kita sering melakukan hal yang sama, berulang, hingga tanpa sadar dibekukan olehnya. Cara Jokowi yang tidak biasa ini mengajak kita mengoreksi kemampuan kita menghayati hidup dari perspektif dan cara yang lain.
Cara Jokowi yang tidak biasa ini mengajak kita mengoreksi kemampuan kita menghayati hidup dari perspektif dan cara yang lain.
Bagaimanapun harus kita akui, sebagai presiden, Jokowi melihat negeri ini lebih banyak dan lebih utuh. Para pengamat, bahkan para menteri dan pembisiknya, hanya melihat sebagian. Penulis bayangkan, ada saat-saat Jokowi berkontemplasi atas segala hal yang ia lihat dan dengar, baik secara pribadi maupun informasi orang-orang kepercayaannya.
Saat kontemplasi itulah Jokowi melihat kotak-kotak pembeku dinamika kehidupan bangsa ini. Salah satu pembeku kehidupan bangsa ini adalah birokrasi yang gemuk, bertingkat, dan berbelit-belit.
Birokrasi di negeri ini telah menciptakan suatu perumitan kehidupan. Tak heran jika program-program para menteri dan pejabat eselon, meski dilaksanakan dengan baik, dana operasional dicairkan tuntas, tidak dirasakan oleh rakyat. Itulah tema "terkirim" dan "diterima" dalam pidato Jokowi. Maka, ia berpikir keras menciptakan birokrasi yang efektif dan efisien agar rakyat sungguh mendapat hak yang berkeadilan sosial.
Salah satu pembeku kehidupan bangsa ini adalah birokrasi yang gemuk, bertingkat, dan berbelit-belit.
Pembeku lain dalam kehidupan bangsa ini adalah tema "jatah". Kita masih ingat, jauh sebelum pengumuman para menteri, sejumlah petinggi partai berujar tentang jatah menteri. Dalam bincang-bincang para pakar di sejumlah televisi swasta menanggapi susunan kabinet pilihan Jokowi, beberapa hari lalu juga tersua ungkapan bahwa selama ini Kementerian Agama jatah kelompok A dan Kementerian Pendidikan jatah kelompok B.
Tidakkah hal-hal ini menggambarkan apa yang dirasakan Jokowi bahwa kita memang cenderung mandek, tidak cair/dinamis, dan mementingkan kepentingan diri sendiri/kelompok? Tidakkah kini kita paham mengapa meski digelontor begitu banyak dana, kehidupan kita di banyak sektor tidak maju-maju juga. Kita cenderung asyik mengurusi kepentingan diri atau kelompok sendiri.
Kita cenderung asyik mengurusi kepentingan diri atau kelompok sendiri.
Kembali pada hakikat
Tak sedikit yang mengatakan keputusan Jokowi memilih para menteri Kabinet Indonesia Maju adalah pilihan yang berani. Itu bukan hanya berani, melainkan juga buah kontemplasi aktual. Pada pilihan itu tersirat ikhtiar untuk kembali pada dinamika berbangsa dan bernegara yang makmur dan berkeadilan sosial.
Setidaknya suasana semacam itu tersua pada ungkapan Nadiem Makarim. Setelah dilantik, kepada para wartawan ia mengatakan akan menciptakan pendidikan yang berbasis kompetensi dan berbasis karakter. Bukan atas dasar jatah, unsur primordial, ataupun kepentingan kelompok.
Nadiem Makarim telah membuktikan niatnya untuk dunia pendidikan itu pada Gojek. Lewat kegigihan, ketekunan, dan kecerdasannya; pada Gojek Nadiem menciptakan arena yang memungkinkan orang menentukan nasib atas dasar karakter dan kompetensi. Siapa saja boleh masuk dan berdinamika dalam Gojek. Tidak peduli agama, golongan, suku. Asal berkarakter dan berkompetensi, ia akan berhasil bersama Gojek.
Setelah dilantik, kepada para wartawan ia mengatakan akan menciptakan pendidikan yang berbasis kompetensi dan berbasis karakter.
Itulah yang dibutuhkan bagi kehidupan bangsa yang lama beku, terkotak-kotak oleh kebiasaan tidak unggul dan tidak menjunjung nilai-nilai universal. Termasuk di dalamnya dinamika pendidikan kita. Itulah mengapa bertahun-tahun pendidikan kita jalan di tempat.
Apakah pilihan Nadiem Makarim sebagai Mendikbud sebuah pilihan yang tepat? Jangan lupa. Kita punya pengalaman PT KAI bersama Ignasius Jonan, dan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar