Sumpah Pemuda
Tanggal 28 Oktober 1928, tepat 91 tahun lebih 1 hari, terjadi peristiwa bersejarah yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Saat itu, para pemuda mengucapkan suatu pernyataan resmi disertai tekad untuk mewujudkan cita-cita: memiliki satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa, Indonesia.
Semua itu harus senantiasa dijaga dan dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Namun, sekarang, mengapa banyak di antara kita—tanpa rasa malu—latah mengganti kata-kata yang lazim dipakai dan sudah ada dalam kosakata bahasa Indonesia dengan kosakata baru yang berasal dari bahasa asing.
Misalnya, berprasangka buruk berubah menjadi suudzon, melayat menjadi takziah, ulang tahun menjadi milad, berdamai menjadi islah. Ada juga kata asing lain seperti memantau jadi monitoring, perumahan jadi real estate, dan masih banyak lagi. Tidak apa menggunakan unsur serapan sepanjang bahasa Indonesia belum memiliki padanannya. Namun, dalam berbagai contoh di atas, kata asing menggantikan apa yang sudah kita miliki.
Bukankah ini berarti, dalam berbahasa nasional, kerukunan dan persatuan bangsa hanya retorika belaka?
Marilah kita tunjukkan persatuan kita, bukan hanya dengan memperingati Hari Sumpah Pemuda, melainkan juga dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam berbahasa (persatuan) Indonesia, baik lisan maupun tulisan. Dengan demikian, dari tanah Aceh hingga tanah Papua, bangsa Indonesia memiliki satu kesamaan arti dan makna dalam berkomunikasi.
FX WIBISONO
Jalan Kumudasmoro Utara, Semarang 50148
Pendidikan Karakter
Korupsi, kekerasan, persekusi, pelecehan, penghinaan, perendahan martabat orang lain, termasuk perusakan properti publik, adalah masalah moral. Bukan sekadar kriminalitas biasa. Maka, apa yang marak belakangan ini adalah masalah moral.
Bersyukur gelombang unjuk rasa sudah berhenti saat ini. Namun, apa yang diperlihatkan oleh demonstran adalah masalah moral. Unjuk rasa berseri diikuti perusakan dan pembakaran. Sepenuhnya mengabaikan kepentingan pengguna fasilitas umum.
Mereka yang "mendukung" demonstran, dengan menyediakan peralatan untuk merusak dan konsumsi agar demonstran mampu bertahan, juga punya masalah moral.
Mereka tidak memikirkan orang lain terganggu memenuhi nafkah diri dan keluarganya. Mereka tidak peduli betapa biaya perbaikan atas pelbagai kerusakan mengurangi dana yang sebenarnya bermanfaat untuk sesama yang butuh bantuan negara.
Mereka tak berpikir bahkan tak peduli pada kepentingan orang lain dan kepentingan bersama. Yang lebih parah lagi, mereka tidak merasa bersalah, bahkan beranggapan apa yang mereka lakukan itu heroik, entah demi apa.
Semua itu menunjukkan bahwa kita—sebagai masyarakat dan bangsa—tengah dilanda masalah moral yang semakin parah. Ini masalah besar bagi pendidikan di negeri kita yang didengung-dengungkan pendidikan karakter.
Saya kira, keinginan pemimpin negara untuk memampukan SDM kita, untuk menghadapi tantangan zaman, mau tak mau harus disertai kesungguhan dan upaya konkret yang intensif untuk membangun karakter manusia-manusia Indonesia.
Caranya melalui berbagai pendekatan demi kepentingan bersama dan masa depan bangsa. Pekerjaan rumah kita adalah membangun generasi muda yang mampu berpikir luas, memperhatikan dampak perbuatan kita pada diri orang lain, peduli terhadap kepentingan bersama, dan punya hati nurani yang dapat membantu kita memilah baik-buruknya perbuatan.
Semua ini menjadi bekal untuk mengendalikan diri dari hal-hal yang bersifat merusak, termasuk dari kepentingan sesaat untuk diri sendiri dan kelompoknya.
Zainoel B Biran
Perumahan Dosen UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar