Ilustrasi _ Suasana belanja di supermarket ritel di Jakarta Selatan, Sabtu (9/11/2019). Perekonomian RI pada triwulan III-2019 tumbuh 5,02 persen. Konsumsi rumah tangga jadi penopang, dengan porsi 56,52 persen. Konsumsi rumah tangga tumbuh 5,01 persen.
Kinerja ekonomi Indonesia triwulan III-2019 makin pudar, hanya tumbuh 5,02 persen secara tahunan. Artinya, rata-rata pertumbuhan sampai triwulan III-2019 hanya mencapai 5,04 persen.
Tak dipungkiri, pelambatan pertumbuhan ekonomi memang dihadapi oleh hampir seluruh negara. Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) bahkan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global 2019 hanya akan mencapai 2,9 persen. Demikian juga pertumbuhan ekonomi kelompok negara anggota G-20 yang diprediksi hanya tumbuh 3,1 persen.
Tren penurunan global itu sering jadi justifikasi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di level 5 persen merupakan hal yang wajar. Ditambah lagi dampak perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Beratnya kondisi eksternal sering jadi kambing hitam stagnasi ekonomi domestik. Padahal, jelas keterbukaan ekonomi Indonesia hanya sekitar 20 persen, dan 80 persen disumbang oleh faktor domestik, yaitu konsumsi rumah tangga dan investasi.
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati
Selain itu, perang dagang tak selalu berdampak negatif, buktinya Vietnam justru mendapat berkah shifting investasi dari China, sekaligus menggantikan berbagai produk ekspor China ke AS. Sebaliknya, pertumbuhan investasi Indonesia justru turun dari 6,96 persen pada triwulan III-2018 menjadi 4,21 persen pada triwulan III-2019.
Apalagi, pertumbuhan ekspor anjlok dari 8,08 persen jadi 0,02 persen. Pasalnya, bukan ekspor Indonesia yang menggantikan produk China, tetapi pasar Indonesia yang jadi pelampung dan sasaran penetrasi produk China. Porsi impor dari China mencapai 29,46 persen, sementara ekspor ke China hanya 16,4 persen.
Tidak heran jika selama Januari-Oktober 2019 defisit neraca perdagangan Indonesia menembus angka 1,787 miliar dollar AS. Ironisnya, defisit perdagangan tak hanya disebabkan oleh penurunan ekspor (minus 7,8 persen), tetapi diikuti penurunan impor yang lebih besar (minus 9,94 persen).
Parahnya lagi, impor bahan baku dan penolong turun hingga 11,19 persen secara tahunan, dan impor barang modal turun 4,94 persen. Utamanya impor bahan kimia organik yang anjlok 15,52 persen dan impor serealia yang merosot 14,18 persen. Setidaknya, dua komoditas itu merupakan bahan baku industri makanan dan minuman yang porsinya hampir 30 persen dari industri nonmigas.
Jika pada triwulan III-2019 industri pengolahan tumbuh 4,15 persen, dengan turunnya impor bahan baku, ke depan industri niscaya makin anjlok. Terbukti, Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Oktober 2019 turun lagi ke level 47,7. PMI mencerminkan optimisme pelaku sektor bisnis terhadap prospek perekonomian ke depan. Angka PMI di atas 50 berarti manufaktur tengah ekspansi atau tumbuh, tetapi jika di bawah 50, berarti mengalami kontraksi. Sejak Juli 2019 PMI Indonesia ada di bawah 50, berturut-turut Juli (49,6), Agustus (49), dan September (49,1).

Lemahnya pertumbuhan industri manufaktur tentu bukan disebabkan oleh perang dagang. Namun, akibat menurunnya kualitas investasi serta masifnya pergeseran investasi ke sektor jasa. Dari data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) terlihat bahwa sekalipun ada pertumbuhan investasi, sektor yang diminati investor hanya jasa.
Sebagai perbandingan, pada akhir 2013, komposisi realisasi investasi pada sektor primer mencapai 22,6 persen, sekunder 55,4 persen, dan tersier 22 persen. Namun, pada tahun 2018, investasi ke sektor sekunder hanya 35,3 persen, primer 16,5 persen, dan tersier mencapai 48,2 persen. Bahkan, selama Januari–September 2019, porsi investasi ke sektor manufaktur tinggal 24,5 persen, sementara sektor jasa 59,0 persen.
Pergeseran minat investasi itu tak bisa dianggap remeh. Pasalnya, kepentingan nasional akan jadi pertaruhan jika tidak mampu meningkatkan produktivitas dan daya saing. Sebagai negara yang memiliki limpahan sumber daya, investasi yang dibutuhkan adalah investasi yang mengolah berbagai komoditas jadi produk yang bernilai tambah tinggi. Sekaligus mampu menyediakan lapangan kerja sebagai antisipasi bonus demografi. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan lebih terjamin, transformasi struktural yang menciptakan sektor-sektor produktif pun terjadi.
Baca juga: Pertumbuhan dan Produktivitas
Sebaliknya, jika investasi hanya masuk ke sektor jasa, terlebih jasa pengangkutan, telekomunikasi, dan perdagangan, niscaya hanya memicu eksploitasi sumber ekonomi domestik dan kesenjangan ekonomi. Jasa yang berkembang akan lebih memfasilitasi penetrasi produk impor yang jadi kanibal industri dalam negeri. Indonesia hanya akan jadi sumber bahan baku murah dan tidak akan dibiarkan berdaya saing.
Jauh lebih penting jika deindustrialisasi itu tak segera dimitigasi cepat dan tepat. Fundamen ekonomi niscaya jadi pertaruhan. Dengan kata lain, masifnya deindustrialisasi akan berdampak langsung terhadap ancaman pemutusan hubungan kerja secara masal.

Artinya, sekalipun angka pengangguran terbuka turun, bonus demografi hanya akan terlempar ke sektor informal. Akibatnya, pendapatan masyarakat, daya beli, konsumsi rumah tangga, dan pertumbuhan ekonomi akan menurun. Belum lagi dampak berbagai kenaikan harga/tarif, mulai tarif dasar listrik, iuran BPJS, dan harga elpiji, yang tentu akan memangkas daya beli.
Oleh karena itu, harus hati-hati dan mencermati angka pertumbuhan ekonomi secara detail. Tak hanya terpatok pada angka statistik, tetapi pada kualitas pertumbuhan. Jika elastisitas pertumbuhan terhadap penciptaan tenaga kerja di bawah 200.000, pasti tak akan cukup memenuhi tambahan angkatan kerja baru. Artinya, jika lapangan kerja sebagai penopang konsumsi masyarakat tak terpenuhi, resesi tentu tinggal menunggu waktu.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar