Dimulai dari Tunisia, Desember 2010, Revolusi Musim Semi menyapu sejumlah negara di kawasan Timur Tengah. Dari Tunisia, badai revolusi itu menerjang Mesir, Suriah, Maroko, Libya, dan Yaman. Negara-negara lainnya di Timur Tengah segera "membenahi diri" dan "memperkokoh diri" sebelum disapu angin revolusi.
Revolusi di Tunisia disebut sebagai Jasmine Revolution, Revolusi Melati (thawrat al-yasmin). Sebenarnya, menurut Ludmila Torlakova (2014), menyandingkan antara thawrat(revolusi) dan al-yasmin (melati) adalah kontradiktif. Sebab, revolusi diasosiasikan sebagai tindakan menghancurkan tatanan yang mapan, kekerasan, dan merusak.
Sementara melati adalah bunga yang dalam budaya Arab—juga dalam budaya lainnya—secara tradisional diasosiasikan dengan wewangian yang menyenangkan, kecantikan, kelembutan, dan kehalusan. Bagi bangsa Tunisia, melati melambangkan "kemurniaan, keindahan hidup, dan toleransi".
Dengan demikian, bukankah "agak" aneh menyandingkan antara kata "revolusi" dan "melati". Akan tetapi, penyandingan kata "melati" tersebut ingin memberikan pesan bahwa revolusi bukanlah gerakan yang bermuatan "kekerasan dan merusak", melainkan "gerakan tanpa kekerasan" dan "tidak merusak".
Revolusi Melati ini juga secara umum dikategorikan sebagai colour revolution (revolusi warna). Ieva Bērziņa (2014) mengatakan, revolusi warna dapat didefinisikan sebagai protes massa tanpa kekerasan yang bertujuan untuk mengubah pemerintahan quasi-democratic yang ada lewat pemilu. Pada dasarnya, istilah revolusi warna adalah sebuah metafora yang digunakan untuk menjelaskan sebuah fenomena khas.
Asal muasal revolusi model ini bisa dilacak kembali ke tahun 1986 saat terjadi Revolusi Kekuatan Rakyat di Filipina. Revolusi damai ini juga dikenal dengan nama Revolusi Kuning, mengacu warna kuning—entah kaus atau baju yang dikenakan massa, bahkan bendera yang mereka kibarkan.
Model revolusi seperti ini yang kemudian terjadi di sejumlah republik bekas Uni Soviet dan negara-negara Balkan awal 2000-an. Pada 2000 terjadi revolusi di Georgia yang disebut sebagai Revolusi Mawar, lalu Revolusi Oranye di Ukraina (2004), disusul Revolusi Tulip di Kirgistan (2005).
Mereka memprotes para pemimpin dan para politisi yang menjanjikan transformasi pasca-Uni Soviet dan membawa negara mereka menuju ke negara modern. Akan tetapi, di tiga negara tersebut, janji-janji itu tidak pernah direalisasi: tidak ada demokrasi dan korupsi tetap merajalela.
Sebelumnya, tahun 5 Oktober 2000, terjadi revolusi di Yugoslavia menyusul pemilu presiden pada 24 September 2000. Sasaran revolusi yang disebut Bager Revolucija atau Revolusi Buldoser adalah menyingkirkan Slobodan Milošević. Di Timur Tengah pada 2005, pecah revolusi di Lebanon yang disebut sebagai Revolusi Cedar dan di Kuwait (2005) sebagai Revolusi Biru.
Di sebagian besar, tetapi tidak semua kasus, demonstrasi besar-besaran terjadi menyusul munculnya sengketa dalam pemilu atau munculnya tuntutan agar pemilu dilakukan secara adil, fair; dan berujung pada tuntutan pengunduran diri atau pendongkelan para pemimpin yang dipandang oleh lawan-lawan mereka sebagai pemimpin otoritarian.
Semua revolusi itu disebut sebagaicolour revolution, tetapi berbeda kasus dan karakteristik dasarnya. Orang Mesir, misalnya, lebih suka menyebut sebagai thawrat al-karama (Revolusi Martabat).
Revolusi-revolusi di negara-negara republik bekas Uni Soviet, juga Balkan, dan Timur Tengah memilih nama bunga untuk memberi nama revolusi mereka. Sebab, mereka menolak kekerasan, menolak pertumpahan darah, apalagi hilangnya nyawa. Mereka tidak mau menyakiti, baik dengan ucapan maupun tindakan. Mereka tidak menghendaki perpecahan bangsa dan negara hanya karena ambisi.
Sebab, bukankah bunga mempercantik dirinya sendiri dengan bersatu dengan bunga-bunga lainnya di pohon. Mereka tidak melukai satu sama lain. Bunga menciptakan lingkungan yang indah. Sebab, bunga adalah persaudaraan. Bunga adalah harmoni. Seperti dikatakan Zenkei Shibayama (1894-1974), seorang imam Rinzai Zen, bahwa bunga mengatakan kebenaran. Ia tidak pernah berpura-pura. Bunga adalah kejujuran. Ia tidak pernah menipu. Dan, bunga indah sejak awal mula.
Revolusi Tuk Tuk
Revolusi Cedar di Lebanon, salah satu contoh colour revolution yang memiliki ciri lain, yakni menentang campur tangan asing terhadap Lebanon. Gerakan rakyat ini yang juga disebut thawrat al-arz dipicu oleh pembunuhan terhadap mantan PM Rafik Hariri dan 20 orang lainnya pada 14 Februari 2005 dalam suatu serangan bom mobil. Pembunuhan terhadap Hariri tersebut memicu lahirnya revolusi yang kemudian disebut sebagai Revolusi Cedar.
Meskipun Lebanon memiliki sejarah politik yang berdarah-darah, Revolusi Cedar memilih jalan non-kekerasan. Tujuan revolusi adalah pengunduran diri pemerintah Lebanon, penarikan militer Suriah dari Lebanon, menuntut penyelidikan pembunuhan Hariri oleh pengadilan internasional PBB, dan pengunduran diri kepala dinas intelijen.
Yang membedakan revolusi Lebanon dengan revolusi di negara-negara lain adalah adanya tuntutan keluarnya kekuasaan asing (Suriah) dari Lebanon. Tuntutan mereka berhasil. Tanggal 2 Maret 2005, pemimpin Suriah Bashar al-Assad mengumumkan seluruh pasukan Suriah ditarik dari wilayah Lebanon. Ini mengakhiri lebih dari 30 tahun pendudukan Suriah atas Lebanon.
Yang terjadi di Lebanon kini terjadi di Irak. Selain masalah sosial dan politik, termasuk persatuan bangsa, yang dari waktu ke waktu semakin buruk, pengaruh Iran yang sangat besar dan kuat di Irak menjadi unsur pendorong pecahnya demonstrasi besar sejak Oktober lalu.
Demonstrasi di mana-mana itu kemudian disebut sebagai Revolusi Tuk Tuk. Disebut Revolusi Tuk Tuk karena digunakannya kendaraan roda tiga—bajaj—bikinan India itu sebagai sarana transportasi dalam demonstrasi: memasok logistik bagi para demonstran, termasuk membawa mereka yang terluka dari garis depan ke rumah sakit atau tempat-tempat aman.
Jenis kendaraan ini, tuk tuk atau bajaj, mulai terlihat beroperasi di jalanan Irak sejak empat atau lima tahun silam. Christoph Reuter dari laman Spiege, 22 November 2019, menyebutnya sebagai simbol dari penurunan perekonomian Irak. Tuk tuk adalah kendaraan rakyat kebanyakan; hanya orang kaya yang bisa naik kendaraan berpendingin. Dan, sekarang taksi bagi rakyat itu telah bertransformasi menjadi "kesatria revolusi".
Kondisi sosial, ekonomi, dan politik Irak sejak jatuhnya Saddam Hussein pada 2003 memang tidak menjadi lebih baik. Negara itu masih tetap "terpecah" seturut garis sektarian: Sunni, Syiah, dan Kurdi. Setelah Saddam jatuh, kaum Syiah yang merupakan mayoritas (65 persen dari sekitar 39,7 juta jiwa), sementara Sunni 35 persen, menjadi kekuatan dominan, baik secara politik maupun militer. Posisi mereka demikian kuat karena mendapat dukungan Iran.
Rakyat marah dan kecewa kepada para pemimpin mereka yang dianggapnya korup. Para pejabat menikmati hidup mewah dari hasil ekspor minyak, sementara rakyat hidup dalam kemiskinan. Menurut laporan Spiegel, tidak peduli siapa yang menjadi perdana menteri selama satu setengah dekade terakhir, tidak mampu menghentikan disintegrasi bangsa. Birokrasi korup. Obat-obatan tak tersedia di rumah sakit. Banyak pengangguran, termasuk dari kalangan terdidik, lulusan perguruan tinggi. Banyak orang dipenjara tanpa melalui proses pengadilan. Kekurangan listrik dan air bersih.
Kondisi tersebut telah menyulut kemarahan rakyat. Dan, pecahlah demonstrasi di berbagai kota di Irak sejak Oktober lalu. Gerakan perlawanan terhadap pemerintah—sama seperti di negara-negara Arab lainnya—yang dilakukan kaum muda itu tanpa pemimpin.
Gerakan perlawanan ini didukung para pengangguran, lelaki dan perempuan, tua dan muda, pegawai negeri bahkan tentara tanpa mengenakan seragam militer, dan kaum miskin. Yang menarik, protes-protes tidak hanya diarahkan kepada para elite politik yang dianggap tidak berbuat banyak, tetapi juga kepada para elite agama.
Berdasarkan data yang diungkapkan Armed Conflict Location & Event Data Project (ACLED) yang dirilis 23 Oktober 2019, lebih dari 90 persen demonstran kali ini tidak memiliki kaitan dengan organisasi atau aktor-aktor organisasi. Demonstrasi—yang sudah menelan korban jiwa lebih dari 350 orang ini—lebih merupakan ungkapan frustrasi kaum muda karena kesulitan hidup, sulit mendapat pekerjaan, sementara pemerintah korup.
Apa yang terjadi sekarang ini sebenarnya adalah kegagalan "impian besar AS" ketika menyingkirkan Saddam Hussein. AS bermimpi menjadikan Irak sebagai negara demokrasi terkemuka di kawasan Timur Tengah bagaikan "lampu di atas bukit" yang akan menyinari seluruh kawasan. Waktu itu, Presiden AS George W Bush menggambarkan datangnya demokrasi di Irak sebagai Revolusi Ungu. Demokrasi dibayangkan akan mendatangkan keamanan dan kemakmuran di negeri kaya minyak itu.
Bush bermimpi bahwa Revolusi Ungu akan menjadi titik bersejarah lahirnya kebebasan di Irak, seperti di Georgia dengan Revolusi Mawar, atau Ukraina dengan Revolusi Oranye. Namun, mimpi itu tidak menjadi kenyataan. Tuntutan sekarang ini adalah adanya reformasi politik, yang tidak memberi peluang bagi terus merajalelanya korupsi. Sebab, korupsi masih menjadi masalah utama di Irak, yang terutama didorong oleh jaringan patronase yang mengakar kuat antara partai politik dan pegawai negeri senior (Chatham House, 1 Oktober 2019). Apabila tuntutan itu tidak dipenuhi, kiranya, stabilitas politik dan keamanan Irak akan terus terganggu.
Apalagi, ditambah dengan tuntutan agar Irak terlepas dari pengaruh Iran, seperti dulu Lebanon terlepas dari pengaruh dan kendali Suriah. Pembakaran konsulat Iran di Najab, penyerangan kantor konsulat di Karbala serta pembakaran kantor-kantor partai-partai politik dan milisi yang ada hubungannya dengan Iran (Middle East Forum, 30 Oktober 2019), menjelaskan sikap rakyat terhadap Iran.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, kiranya mengharapkan akan segera tercipta perdamaian dan kedamaian serta reformasi politik di Irak adalah sebuah harapan yang berlebihan. Jalan masih panjang, berliku, dan terjal bagi Irak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar